Thursday, February 19, 2009

Potret Secercah dari Puisi Sultan

Refleksi Seklumit Baca Puisi Sultan;
Kita Menjawab-berkoar-Kampanye untuk Siapa(?)


Sebelumnya, mohon maaf. Saya kurang memahami titik point puisi yang sangat sarat makna itu. Dalam dari segi subtansi, hati-hati ketika memilih kata. Setidaknya itu pengertian minimal yang bisa aku ambil. Aku serap. Sesuai pesan yang ingin dicapai yang memosting, “semoga bermanfaat”, kata bung Mus’ab.

Lepas dari Konteks puisi, untuk hal yang dilakukan Sultan, minimal ketika memimpin Keraton Jogja, sungguh sangat bisa dijadikan ‘titik’ untuk perubahan Positif Di jogja. Keratin Ngayogjokarto Hadiningrat. Sultan bisa secara konkrit meng-elaborasi secara lebih dalam-luas antara tradisi, budaya dan seni lokal tanpa melupakan kebutuhan kekinian. Terbukti, Sultan masih bisa mempertahankan tradisi lokal, seperti sekatenan. Lain sisi, Jogja juga menjadi Kota Pendidikan. Banyak Profesor, politikus, guru bangsa lahir dari Jogja. Paling penting, Sultan tidak POligami; menurut saya.

Dalam ranah Politik, Sultan terkenal Santun-sopan dan elegan dalam menghadapi problema. Baik issue sensitive, semisal dibatasinya jabatan Gubernur, juga issu dia ‘lengket’ dengan partai lain; republican.” Lha wong saya didukung, ya gpp terima saja, silakan aja. Tapi saya kan masih kader Golkar, maka saya harus taat pada peraturan(AD/ART)”, ungkap Beliau.

Jalan liku, setidaknya kata itu ketika yang bisa ditulis untuk menggambarkan langkah Sultan menuju RI-1. alias presiden(Calon Presiden; capres). Hal ini bukan dikarenakan kurang credible, atau kualitas Sultan dipertanyakan, tapi lebih teknis partai. Di samping baying-bayang “Jusuf kalla” yang kuat Di Golkar. Pertimbangan lain, dan ini diamini semua partai: menunggu hasil pemilu legislatif.

Jusuf kalla: menjadi baying-banyang bukan, menurut saya, karena ingin menggencet. Tapi memang wapres kita ini selain kuat secara karakter, juga sudah teruji. Hal ini didukung komunikasi politik dia yang bagus: bukti konkrit perdamaian untuk Aceh, stabilnya perekonomian secara makro dan mikro itu juga tidak lepas dari dia. Selain memang sudah menjadi kontrak POlitik antara Presiden Yudoyono dan Jusuf Kalla—segi keamanan, politik dan pertahanan nasional Itu presiden, wapres Ekonomi, Kesejahteraan, kesehatan dan bahan Tambang( kurang lebih seperti ini). Sedang untuk segi Mitos: untuk men-cairkan Mitos Presiden tidak harus Dari Jawa. Tercatat: presiden Soekarno sampai sekarang semua dari Jawa.

Bagaimana jalan Sultan ke depan? Masih berliku. Di samping, sepertinya, memang semua partai tidak Pe-De untuk memproklamirkan calon resmi Presiden dari partai. Secara resmi(selain PDI perjuangan). Bukan hanya deklarasi. Belum lagi ada koalisi “Agak” Poros Tengah, koalisi Pelangi, dan komunikasi Politik yang, terkadang, kalo terus diAmati, dicermati: hanya bisa berkata “menjemukan”.

Bagaimana Tidak(?) coba perhatikan, Banteng didekati Padi dan bulan sabit. Beringin “disowani” Ka’bah, ‘bumi bintang sembilan’ sempalan menggagas Koalisi Lokal. Belum lagi perang Iklan. Partai ‘putih’ gasak-rata semua partai. Oposisi menonjolkan kegagalan pemerintah (secara Ekonomi, khususnya), partai Pemerintah meng-counter. Sekilas terlihat biasa saja. Tapi kalo kita Tanya lagi, menurut Sultan” terkadang di kala sepi, pernahkan kita ditegur oleh batin seraya berkata, apakah itu sudah benar”. Berfikir dengan hati lebih cerdas dari apapun”. Belum lagi caleg ‘melempem’ ngakunya super. Caleg kader ngaku-nya untuk rakyat. Dan celakanya semua ngaku “bisa”. Secara sah-nyata keliahatan Pragmatis; Yang penting kepilih dulu, realisasi program pinggiran entar dulu.

Sedang, hemat saya, tidak cukup berhenti dengan berkoar “saya bisa”, apalagi ngaku bisa. Saya siap tapilebih dari itu. Mana program kerja partai untuk menyejahterakan Indonesia. Sejahtera secara fisik, ekonomi, politik, sosio-budaya(menjamin tidak akan terancam budaya transfer yang tidak senafas dengan Indonesia, meski ini klise) dan secara mental-rohani-psikis. Apa program menjamin UUD pasal 33 sepakat kata “Menguasai” atau “Memiliki”. Re-strukturisasi apakah berani dilakukan. Bagaimana Ekonomi ber-pihak pada rakyat. Sekali lagi berpihak pada rakyat. Rakyat kecil. Bagaimana membina stabilitas politik di Indonesia dengan diiringi pertumbuhan ekonomi yang Mumpuni: pemilihan Bupati, Gubernur, walikota tapi kok yang miskin tetap miskin. Kaya semakin rakus- beringas menindas. Menggurita. Timpang jadinya(?)

Sedang Untuk Ideologi partai yang jelas. Yang Nasionalis gmn coraknya, Yang Islam bagaimana Etikanya, Sosialis-NasionaliS-Religius apakah sudah Egaliter-ber-agama. Bukan bermaksud meng-kotak-kotakkan, tapi memang konsekuensi. Apalagi partai dakwah—buat iklan ‘panas’ lain pihak, dikritik jangan terlalu re-aktif dong(?). Etika nya harus jelas; menurut saya. Ideologi Islam pun juga harus jelas, Islam yang seperti apa, madzhab mana. Bagaimana sikap terhadap Impor beras, EKonomi pasar, apakah Ideologi ini akan “disusupkan” alias akan bisa merubah Ideologi Negara: dari pancasila(pakai ‘P’ kecil) menjadi islam(dengan ‘I’ kecil juga).

Apalagi caleg. Apakah mencukupkan diri dengan membagi kalender berselorok, contreng nomor ini ya. Atas bawah sama. Yang sejuk, bisa dipakai tidur dikala siang, “pohonnya” rindang. Atau, yang ada “kyainya” biar berkah: urip mujur rejeki lancar ndoyo akherot. Tidak cukup pula dengan sombako, serangan farar, bahkan dikader untuk memilih partai tertentu. Tapi lebih dari itu. Dengan standart minimal, apakah dia(caleg) tahu betul fungsi-manfaat-konsekuensi lageslatif. Apa kebutuhan rakyat pada Distrik pemilihannya? Apa metode dan ‘fungsi control’ ketika dia terpilih nanti ketika menjadi DPR/DPRD apalagi Presiden. Dan, bersihkah uang caleg untuk kampanye(?)

Saya salut pada Muetia Hafidz(caleg dari golkar, sayang bukan daerah Luar Negri): secara vulgar-terbuka dia jujur kalau sampai sekarang sudah habis 200 juta. Ini belum apa-apa. Zulkifle(wagub Banten yang gagal) dari PKS lebih dari itu. (Ini bisa diceck langsung di today’s dialog minggu ini). Dan secara sepakat, semua caleg yang hadir kalkulasi Uang untuk kampanye secara ideal—terlepas uang itu dari mana, baik dari perusahaan, keluarga, saudara, “bola liar”—itu satu milyar. Satu milyar. Sekali lagi satu milyar. Pikirkan satu orang satu milyar, sedang jumlah caleg 11.000. berapa uang yang hilang, kabur dan mubazir. Sedang rakyat kita masih banyak yang kurang mampu. Sekolah masih mahal. Pendidikan yang katanya digratiskan sampai Universitas nyata masih juga banyar. Masih ada biaya, mahal lagi(?) ketua komisi pendidikan(?) sungguh masih timpang. Kemudian, apakah kita bagian dari solusi atau menambah ruyam(?) solusi: buka lobang tutup lubang, atau yang bisa membuat desa menjadi kekuatan(?) bagaimana rekan?




No comments: