Saturday, January 24, 2009

Sekelumit Bingkisan Opini Tentang Ulang-Tahun;

Spesial Untuk Alfien Qorrina, Sebermula-Seberhingga


Lahir —kata ini saya khususkan pada manusia; bukan yang lain—suatu kata yang penuh misteri. Kata itu yang tak jarang, kita harus merenung. Dengan awal kata Tanya, untuk apa kita lahir? Dan kenapa kita harus dilahirkan? Atau kita lahir tak lain hanya hasil dari syahwat baik yang berlindung di-legalitas agama(baca; pernikahan), bahkan tak jarang untuk sebuah proses “kolonialisme agama”; re-generasi, atau dengan ketidaksengajaan; “kecelakaan” dalam bahasa saya. Dan mungkin banyak kata “atau “ lain, dalam bahasa arab “law”, yang bisa kita, barangkali, seharusnya, lontarkan secara verbal melingkup jadi sebuah Tanya? Syahdan, semua tak ada jawaban konkrit-pasti-memuaskan selain “syukuri aja” !!! Lalu lakukan sesuatu untuk hidup, menurut Chairil Anwar, “sekali Hidup berarti kemudian Mati”. Pun Fals menyambut dengan bahasa, “sekali ‘Hidup’ tak mau Mati dengan Keraguan”. Betul.

Ulang Tahun, menurut aku, adalah sebuah istilah, gabungan dari dua kata, atau pengulangan makna dari sebuah kata:‘lahir’. Secara literal mungkin itu. Tegasnya sebuah repetitif dari makna kata, lahir, dan itu akan datang setiap tahun; kemudian dikenal dengan lebih familiar dengan Istilah ‘Ulang tahun’. Kata itu tindak lanjut dari jawaban yang harus diterima tadi, ‘syukuri aja’, meski Ber-syukur itu bisa kapan saja; setiap saat. Namun, setidaknya, menurut Gunawan Muhammad (GM) dan Pramoedya Ananta Toer, di hari ini: ulang tahun, di saat inilah kita harus sadar untuk membuat revolusi. Revolusi pada diri sendiri. Revolusi adalah “menjebol” dan “membangun”. Menjebol kolonialisme Jiwa: borok, dosa dalam bahasa Islam, kemudian “membangun” di “hari ini” dan kemudian yang terbaik; terbaik untuk kita persembahkan pada hidup. Khususnya “Revolusi Jiwa”. Jika GM dan Pram membuat misal, diwaktu hari kemerdekaan, 17 Agustus 1945, adalah “revolusi besar Jiwa—dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa yang merdeka…” . Meski sering di-tikam ‘cinta’ dan dilempar ‘badai’, bahasa Fals, yang kemudian mengakibatkan ‘keterasingan’; namun harus tetap berdiri.

Sedikit tentang aku dan dia; Alfien Qorrina. Entah kata Alfien Qorrina itu “nama pena” atau identitas dia, sebuah nama, katakanlah, yang mempunyai filosofi ‘penting’ kemudian dijadikan standart minimal dalam hidup; aku tak tahu. Sungguh. Dan aku tak perlu menanyakan itu, karena itu privasi dia —sebagai yang mempunyai hak cipta—dan orang tuanya; yang mencipta nama itu.

Ternyata dia, perempuan yang yang aku kenal secara ‘jelas’ dan ‘bernas’ pada 8 Agustus kemarin—meski sebelumnya sempat kenalan; dan aku lupa—; meski hanya lewat chating. Dan itu pun tak ada kesengajaan, kemarin itu hari jadinya. Tepat 24 Oktober 2008, dua puluh dua tahun (red;22) setelah kelahiran-nya; aku pun baru tahu saat itu, kemarin; bahkan tulisan ini terlambat aku kirim sesuai permintaan dan janji aku. Jika ayah Rangga (dalam film AADC, ada apa dengan cinta?) memuji Cinta dengan nama yang bagus, Izinkan aku, penulis, memuji yang berkaitan dengan angka, bulan dan tahun lahir kamu; meski meleset.

Dua puluh empat (24; red) suatu angka yang bagus, meski orang tua-mu tak pernah menginginkannya, tapi pasti ada ‘tanda’-nya; minimal kata Derrida dari Prancis dan Nasir Hamid Abu Zaid dari Mesir. Dari itu, kamu diharapkan menjadi angka ‘dua’ disitu; bukan empat. Hal ini dikarenakan pemilik hak cipta pasti yang lebih diunggulkan, maka bukan angka empat. Terkait perempuan keadaan biologis yang kamu punya. Kamu adalah, dalam fikih klasik, pemilik saham separuh dari laki-laki. Dan angka empat untuk sang suami. Keputusan itu konon karena, dulu, sang perempuan itu tidak mempunyai, atau, dan dengan sengaja tidak diberi hak. Kemudian Islam datang untuk memberikan hak untuk-nya, perempuan; kaum Hawa. Lihat angka dua berada di depan. Jadi dapat ambil konklusi, meski serampangan, yang mungkin bisa dikatakan benar untuk saat ini, yang paling aktual, meski di fikih klasik bahkan mungkin Zaman Nabi sekalipun perempuan itu mempunyai hak separo dibanding laki-laki, suaminya, tapi untuk saat ini pendapat itu harus ada kontruksi, persamaan jadi niscaya. Dan kelahiran kamu menjadi salah satu indikasi itu. Dan ‘Aura’ itu ada padamu; Alfien Qorrina.

Lalu, angka sepuluh (10;red) yang tertera di sana: bulan lahir kamu, tertanda angka yang sempurna; angka sepuluh. Angka yang tidak pernah diperbolehkan untuk diberikan pada manusia, jika itu mengisyaratkan sempurna, tapi itu tertunjuk bahwa kamu merupakan salah satu dari sekian banyak perempuan yang mendekati itu, sempurna—untuk tidak menuliskan sempurna secara langsung maka menggunakan “mendekati”. Lha, kesempurnaan itu akan tercermin jikalau, salah satunya, unsur dua puluh empat jadi renungan tersendiri, bagi-mu. Yang akhirnya tercipta ke-mandiri-an dan ‘berani’. Kemudian diperkuat dan di-akid-kan dengan angka 1986, coba dijumlahkan; akan menghasilkan angka dua puluh empat, angka lahir kamu. Apalagi angka dua terletak di depan, sebuah tanda ter-sendiri. Sungguh.

Tapi ‘tanda’ tak akan menghasilkan apa-apa, jika tanpa usaha dan kesadaran untuk memahami itu, kemudian melaksanakan itu. Sedikit menyetir lirik Fals dalam lagu yang berjudul ‘Paman Doblang’: Kesadaran adalah Matahari; Kesabaran adalah Bumi; Perjuangan menjadi Cakrawala; dan Keberanian adalah Pelaksanaan kata-kata. Suatu lirik yang menjadi sihir ‘perubahan’ kala itu, khususnya OI(Orang Fals, yang setelah reformasi diganti “Orang Indonesia”; Organisasi pengagum Fals). Di tahun kemudian di-akid-kan Ahmad Dhani, dalam liriknya, Hidup adalah perjuangan tanpa henti-henti, dan kita hidup, tercipta untuk “Menang”. Menang dalam arti luas-universal. Tentu.

Sedikit berbincang, tentang seorang hawa, Margaret Anderson, misalnya. Ia lahir pada 1886 di Indianapolis, Amerika Serikat, di sebuah keluarga yang berada, dengan seorang ibu yang hampir setiap tahun tergerak untuk pindah ke rumah baru—dengan mebel, taplak, gorden, dan lukisan dinding baru. Ia inspirator, di hari kemudian, bagi R.A. Kartini, Fatimah Mernisi di Maroko, Irsad manji, Nawal Sa’dawi di Mesir dan mungkin seperti ibu Sri Mulyani dan Ibu Miranda Goltoem; yang sempat dulu kamu kagumi, jadi obsesi kamu. Iya-kan?

Dalam keresahannya, ia selalu mencipta yang baru, untuk perubahan peradaban; peradaban yang lebih ber-adab. Hal ini yang juga pernah diserukan oleh salah satu Sultan dari Nga-Yogjokarto, Ki Ageng Suryomentaram, berpunya gelar, Bendara Pangeran Harya Suryomentaram, meski dia tak pernah diterima dan minta gelar itu dicopot.
Dalam bahasa Jawa ada dua kata yang hampir mirip, milik dan mélik. Yang pertama berarti ”punya” atau ”harta”. Yang kedua berarti ”keinginan yang cemburu untuk mendapatkan sesuatu”. Dan manusia selama dia hidup, yang dilihat oleh Sultan, hanya berebut dua kata itu; hanya itu. Kadang-kadang satu, tidak jarang sekaligus. Itu tercermin dengan jelas pada akhir-akhir ini, jikalau “kita” berjalan-jalan di Sudirman Business District Jakarta, antara pacific Place yang memamerkan benda-benda mentereng dan ruang BEJ di mana harga saham rontok-tok, para pemilik panik, dan langit-langitnya bergaung rasa cemas. Betapa semua manusia hanya bersibuki akan itu. Maka tak salah jika sang sultan “pernah” ber-seru tidak pernah aku “bertemu manusia”. Lalu diteruskan, oleh Ki Ageng: ”Yang menangis adalah yang berpunya. Yang berpunya adalah yang kehilangan. Yang kehilangan adalah mereka yang ingin.” Ada yang patologis dalam gejala itu. Kita hidup dengan ”pleonoxia”, penyakit jiwa yang didera keinginan segera mendapatkan lagi, lagi, lebih, lebih.
Dan itu juga dirasa Margaret, hidup yang penuh dengan keresahan, yang selalu berjalan dengan memegang semangat, untuk perubahan. Seperti aku tulis di atas. Kemudian layak disimak kata-kata dia; dan mungkin juga perlu direnungkan: Pada suatu malam, ketika aku berumur 21 tahun, setelah seharian merasa murung, aku terbangun dari tidur. ”Pikiran persis pertama: aku tahu kenapa aku murung,” demikianlah tulisnya, mengenang. ”Tak ada yang bersemangat yang terjadi—nothing inspired is going on. Kedua: aku menuntut hidup harus bersemangat tiap saat. Ketiga: satu-satunya cara untuk menjamin itu adalah mendapatkan percakapan yang bersemangat tiap saat. Keempat: kebanyakan orang tak bisa jauh dalam percakapan….”
Akhirnya kelima: ”Kalau aku punya sebuah majalah, aku akan dapat mengisi waktu dengan percakapan yang terbagus yang bisa disajikan dunia….”
Syahdan, pada umur 28 tahun, ketika ia sudah lumayan dikenal sebagai penulis resensi buku di beberapa media, di Chicago, Margaret menerbitkan majalah The Little Review. ”Omong-omong tentang seni”, itulah semboyannya. Meski perjalanan-dia tidak mulus, bergejolak-berliku. Tak jarang harus mengetik di tenda yang dia bangun di pinggir jembatan. Lari ke Eropa karena di usir; Inggris tujuan. Dengan semangat !!

---***---

Sirkulasi memang tidak jejeg. Ada liku, ada rintangan; tak jarang penderitaan. Kadang idealisme yang kita rumuskan awal-awal harus me-nego keadaan, berbagai kepentingan. Skala yang bukan prioritas pun muncul tanpa kehendak. Dan itu wajar. Bukan “itu” yang jadi masalah jikalau yang tertera, tertulis tadi; Revolusi itu jadi inspirasi. Dan saat ini, di hari kamu, ulang tahun kamu, seorang Alfien Qorrina mengadakan ritual Instropeksi dan konsekuen dengan hasil-nya. Mungkin salah satu solusi. Jangan sampai lalu lalang dengan begitu aja “hari jadi” ini.
Dan itu, itu semua, kamu punya kemampuan. Sesosok Alfien yang supel, terbuka, dan jujur; setidaknya begini yang aku kenal sampai sekarang. Hawa yang lain, punya nadi spesial diantara sesama kaum kamu, aku kenal mulai dengan kamu ‘takut’ dan aku ceroboh. Kita yang berkenalan dan sekarang akrab, berbicara mulai dari ‘warna putih’ sampai ‘abu-abu’; terakhir kemarin. Potensi itu ada padamu. Potensi untuk me-Revolusi diri. Potensi untuk melakukan perubahan. “Membongkar” dan “membangun”. Dan tentu sesuai prinsip-prinsip di atas, kalau sesuai, jika tidak silakan kamu mem-formulasi yang lebih baik dan bijak. Sesuai dengan konsepsi khiyaliy dan prinsip “Hidup kamu”. Yang riil dan konkrit. Sekiranya mampu; kamu.
Kesengajaan yang mendasar aku, penulis, mulai dengan pemaparan istilah—lahir dan ulang tahun—, kemudian aku dekati angka lahir kamu, diteruskan tokoh yang aku setir itu familiar di Indo,—termasuk Sultan Jogja dan tokoh feminis— bukan untuk apa dan siapa tapi hanya untuk, dengan harap,empati-simpati yang mendalam muncul dan terealisasi pada diri kamu. Semua ini hanya Untuk kamu. Hanya kamu. Bukan dia, bukan yang lain.
Akhirnya, di akhir tulisan ini. Selamat Ulang tahun; Meski ada ‘pihak’ yang berkata bid’ah untuk kata ini, tuduhan, itu ‘budaya lain’, tuduhan kolonalisasi agama juga tak jarang di sini; maklum adanya. Dealiketika antar Agama kurang wajar pada hal ini juga tak jarang. Namun bukan hal sulit bagiku; mungkin bukan hanya bagiku, mengucarakan ini tanpa ada “rikuh” pada agama, dan asing pada budaya kita. Semoga apa yang telah di-konsepsikan bisa Ter-Realisasi. Aktivitas kamu yang, katanya kemarin membosenkan, bisa lebih baik; secara psikis dan nyata. Keterasingan kamu bisa terobati. Lalu fokus kamu, skripsi, bisa cepat kelar tanpa ‘mengorbankan’ yang lain. Maka, menurut Nietzsche,” jika kamu haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, percayalah” !!! bukan-kah begitu wahai kau yang tak bisa cukup di-makna-kan, diartikulasikan dengan semua kata dan istilah; Alfien ? Dengan Kunci: Diam, Berfikir dan kemudian Bergerak. Pergumulan pada zaman harus terus berjalan, berjalan dan terus...., dan tentu Pra-syarat: Kesadaran, kesabaran, keberanian dan perjuangan dengan titik konklusi semangat dan terus-menerus; kantinyu. Bukankah begitu wahai kasih-ku (?)



Aksioma Dogmatis Peradaban Islam

I
Panji yang diusung oleh Nabi Muhammad Saw. sebagai antitesa paganisme Arab pada pertengahan abad ke-7 M, telah menjadi tonggak sejarah baru peradaban manusia. Berbekal wahyu Tuhan dan dengan penuh kesabaran, Islam pun kemudian mendapatkan empati dari dunia yang kelak tumbuh menjadi salah satu peradaban besar dunia di samping peradaban-peradaban kuno lainnya, seperti Mesir, Romawi, Persia, dan Yunani

Dalam pendeklarasian itu—dalam proses pengenalan kemodern-an yang terjadi dari, dan dalam sistem masyarakat yang fragmentatif, monolitik dan nomadis—ketakjuban dari sejumlah peradaban kuno itu muncul. Barangkali, sebagai ancaman bahkan sebagai mimpi buruk dalam tidur nyenyak yang tak pernah bisa terbangun. Karena munculnya sistem peradaban baru itu, tentu menyita sedikit-banyak perhatian sebagai kekuatan yang bisa melumat. Bagi sejumlah penganut kepercayaan yang masih bersifat minoritas, tentunya Islam adalah sebuah identifikasi baru yang muncul dari pemantapan estafeta sejarah agama-agama semitis yang telah lekang oleh pengalaman-pengalaman manusia dengan sistem sosial dan kecenderungan kosmis; dipandang “aneh” oleh perkembangan kala itu. Dengan demikian, bagi agama baru itu, proses yang terjadi merupakan berkah terutama bagi orang dan kabilah yang sederhana dan sama sekali belum pernah mengalami peradaban besar.

Maka proses identifikasi dimantapkan dengan sejumlah kecenderungan dan konsekuensi yang terpusat pada pembentukan peradaban yang kuat; terjadi proses epitemifikasi atas sejumlah “kecenderungan ilmiah” yang menopang wujud peradaban Islam. Kaum rasionalis Muslim membentuk ‘Teologi Rasionalis’; mereka yang tekun menganalisa praktek-praktek ritual pada akhirnya mengkonsep sistem ‘Fiqh’, berikut landasan perumusannya kemudian disebut ‘Ushul Fiqh’; para pertapa yang shaleh mengkonsep bagaimana merindukan Tuhan; para pendidik sadar bahwa harus ada konsep etik perihal agama Islam yang dianut; konsep kenegaraan harus ditopang oleh rumusan sistem politik yang kuat dan Islami.


II
Sejarah Islam adalah sejarah konflik. Keberlangsungan Islam didirikan di atas konflik yang berorientasi pada politik. Pasca-mangkatnya Nabi Muhammad Saw., umat Islam mengalami kegamangan dan krisis identitas. Sebuah tuntuntan sosok pemimpin ideal, kemudian disebut “Khilafah” atau “Imamah”, yang bisa dijadikan tauladan dan pengayom agar kegamangan cepat kabur, dan keberagaman umat yang relatif masih “hijau” bisa menjadi stabil kembali terjaga. Walaupun pemimpin yang diidam-idamkan telah terpilih dan estafeta al-Khulafâ’ al-Râsyidûn berlangsung, namun susah untuk menemukan kata sepakat. Fanatisme golongan yang mentradisi sebelum datangnya Islam mencuat kembali kepermukaan, serupa ‘vampir’ yang baru bangun dari kubur. Memuaskan seluruh golongan adalah target yang mustahil direngkuh. Maka tak heran bila dikatakan bahwa sejarah Islam adalah sejarah konflik.

Pemerintahan Muawiyyah adalah bukti nyata kembalinya sistem geneologikal politik, di mana pemimpin dipilih atas dasar keturunan. Al-Baghdadi dalam bukunya, “Ahâdîts al-Dîn wa al-Dunyâ”, mengatakan bahwa sistem monarki absolut yang diterapkan Muawiyyah merupakan hasil adopsi dari kerajaan Romawi. Sebuah wacana politik yang sama sekali tidak dikenalkan oleh Nabi. Namun kemudian dinasti Abassiyah sampai sekarang—seperti Arab Saudi masih menerapkan sistem serupa—berjalan seolah menawarkan asumsi bahwa di dalam teks agama (baca;Islam) tidak pernah ada konsepsi kekuasaan politik yang bisa dikatakan memadai.

Kepemimpinan adalah isu sentral dalam konstelasi politik, praktis atau teoritis. Dalam tradisi Islam, para ulama klasik dari semua sekte memperdebatkan kepemimpinan secara sungguh-sungguh. Bahkan, wacana ini masuk ke dalam kajian teologi dan yurisprudensi, dengan standarisasi dan kriteria masing-masing sekte. Mayoritas sekte sepakat bahwa pengangkatan pemimpin, yang kemudian disebut imamah atau khilafah hukumnya wajib. Bahkan sekte Syi’ah lebih radikal; kepemimpinan termasuk salah satu fondasi keimanan (rukn min arkân al-îmân) bukan sekedar wajib.

Selain itu, diskursus kepemimpinan yang lebih bersifat eksklusif-determinis dalam lokus teologi telah melahirkan konservatisme perspektif. Bukan hanya konsep ketaatan, bahkan mekanisme pengangkatan pemimpin pun mayoritas sekte sepakat melalui pembai’atan, kecuali sekte Syi’ah yang mempunyai pandangan lain, bahwa pemimpin harus dengan pernyataan tertulis dari Nabi Muhammad Saw..

Islam atau agama lain bukanlah faktor dominan guna menata bangsa dan negara. Ia hanya menjadi kolega atau kawan karib bagi koleganya. Jika agama mendominasi, yang ditakutkan adalah politisasi Islam atau Islamisasi politik. Relevansi antara agama dan negara seakan-akan hanyalah angan-angan utopis yang kemudian menjadi benih dikotomisasi yang skeptis. Perjalanan peradaban tak henti terhadang perseteruan keduanya itu. Maka, benar bahwa sejarah Islam adalah sejarah konflik dimana pergeseran-pergeseran mengurangi integralitas sebuah sistem.

Di masa klasik, patuh terhadap pemimpin laksana patuh terhadap Tuhan dan rasul-Nya. Pemimpin dianggap sebagai ‘bayangan Tuhan’ di bumi. Tetapi di masa sekarang, patuh terhadap pemimpin laiknya patuh terhadap undang-undang dan mekanisme hukum yang telah ditetapkan melalui kesepakatan bersama sebagai wujud dari—meminjam istilah J.J. Rousseau—kontrak sosial.

Penafsiran tekstual atas ayat tentang ketaatan terhadap pemimpin (QS. al-Nisâ`:59), yang secara frontal mematikan intelektualitas dan politik sebagai terma yang memiliki signifikansi dalam alur sejarah memberikan noda hitam peradaban. Sebuah wacana yang bertentangan dengan pondasi sebuah masyarakat madani sebagai pengusung kebebasan. Upaya rekonsiliasi persepsi kemudian ditawarkan ulama klasik ketika memberi batasan tentang ‘ketaatan’ dengan mengatakan: ”Tidak boleh taat atau patuh kepada makhluk (manusia) dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta” (la thâ’ata li makhluqin ‘alâ ma’shyiah al-Khâliq). Batasan ini meniscayakan untuk berfikir kritis dalam menjalankan aktivitas kepatuhan. Meskipun cukup ambigu jika dikaitkan dengan konsep dasar atau undang-undang sebuah negara.

“Pemimpin harus ada meskipun lalim. Pemimpin yang lalim lebih baik dari pada tidak ada sama sekali.”

Dari uraian di atas, bisa disimpulkan di kalangan ulama klasik ada dua pandangan yang kontradiktif. Hal ini berawal dari dua paradigma yang ingin dicapai oleh mereka, yang kemudian berujung kepada “kebingungan” di ranah epistemologinya. Di satu sisi, memakai paradigma idealis, di mana gugusan tindakan seperti kepatuhan harus selaras dengan proyeksi transedental yang berlanjut secara universal, masuk pada yang dikehendaki Tuhan, mereka menganggap apa yang mereka lakukan harus sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki.

Di lain sisi, menggunakan paradigma pragmatis-realistis, realitas politik adalah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam melangkah dan bersikap. Betapa pun naifnya membutuhkan sosok pemimpin meski pun ‘brengsek’, demi menghindari malapetaka dan kacau balau. Pandangan pragmatis ini adalah suatu bentuk persetujuan terhadap tersebarnya ranjau atau pagar “dogmatis-eksklusif” yang bertahan hingga sekarang, dan inilah yang harus kita tentang, lantaran mengabadikan kediktatoran (istibdâdiyyah).

Bisa jadi kepatuhan kepada setiap bentuk pemerintahan yang dibayangkan oleh ulama klasik dengan sedemikian rancunya, bukan lagi menjadi permasalahan syar’i yang vital. Melainkan, sebenarnya, sebagai kebutuhan natural manusia kepada sebuah aturan atau undang-undang.


III
Saat ini agama Islam berusia kurang lebih 15 abad. Ini bukan usia yang pendek, dalam rentan waktu yang panjang itu banyak pengalaman dilalui; pengalaman bergumul dengan realitas. Menelisik titik singkron antara teks agama dan realitas alam tidaklah mudah, sebab agama akan terasa asing kalau dimasukan ke alam realita, begitu juga sebaliknya. Dan ternyata realita praksis lebih dominan meraup perhatian umat dibandingkan dengan ketergantungan terhadap teks.

Sebagai sebuah diskursus yang spektakuler, agama masih mandul aplikasi. Dalam artian, teks agama yang bersifat immanen tidak bisa memenuhi kebutuhan alam realita yang dinamis, ruang dan waktu. Inilah yang mengakibatkan terasingnya realitas dari hukum-hukum atau nilai-nilai yang terkandung dalam teks agama, banyak dari kita yang tidak tahu atau tidak mau tahu tentang kenyataan itu.

Konstruk masyarakat madani yang meletakan pluralisme dan demokratisme menjadi salah satu ideologi dasar, menuntut adanya koherensi yang dinamis antara teks-teks agama dan arus realita praksis. Hal ini dengan serta merta mengukir toleransi sebagai corak sikap masyarakat madani.

“Setiap manusia tidak mungkin tidak membutuhkan akal dan setiap manusia sanggup tetap hidup tanpa agama. Kehidupan tanpa agama akan terus berjalan, mustahil kehidupan berjalan jika tanpa akal.” (al-Baghdadi, 2005)

Menurut hemat saya, pernyataan di atas merupakan bentuk keprihatinan, betapa agama oleh kaum revivalis telah diperlakukan dengan sangat literalis. Di samping para ulama fiqh lebih sering menyikapi permasalahan secara hitam-putih. Akhirnya agama menjadi sejenis makhluk asing dari lingkungannya, Islam asing di rumahnya sendiri.

Konklusi sementara dari gerak temporalis peradaban adalah, bahwa adanya dimensi kontradiktif merupakan tempat kumuh yang menjepit umat Islam, di mana keduanya mengarah pada suatu yang disebut “scizovrenia” (infishâm al-Syakhshiyyah), yaitu sebuah gejala penyakit jiwa sejenis paradoksalitas kepribadian, kontradiksi antara realita sosial dan pemikiran (Nasr Hamid Abu Zaid, 2000).




Potret Pelantikan Obama;
Jakarta-Woshington-Gaza


Barusan, saya, yang masih dalam keadaan “ber-pe-rang”, menyempatkan diri melihat Barometer Khusus—program ini, harusnya, disiarankan setiap Rabu malam dan ter-fokus pada pemilu 2009— untuk menyaksikan siaran langsung bertepatan dengan pelantikan Presiden terpilih Amerika Serikat, Barack Husein Obama; dengan tema “Obama dan Gaza”. Dalam acara ini, tentu bukan secara khusus hanya bersibuki dengan hal-hal yang mencekam, histeris dan, barangkali, sedikit “dramatis”, tapi diselimuti romantisme situasi-kondisi, pelajaran, inspirasi dan, mungkin juga, pendewasaan ber-demokrasi bagi dunia; khususnya Indonesia. Acara dihadiri oleh Bambang Harimurti(wartawan senior Tempo) dan Azumardy Azra(cendikiawan Muslim), dan dipandu secara langsung oleh Rieke Amru(reporter SCTV).

Pelantikan Obama tentu punya arti penting tersendiri bagi Amerika dan Masyarakat Dunia: Negara-negara sahabat, Uni Eropa, Cina, Jepang dan Asia tenggara; khususnya perdamaian di Timur tengah. Menyeru perubahan (change) di Rakyat Amerika sendiri dan sikap politik luar negeri-nya yang lain: mengedapankan sisi kemanusiaan dengan menempuh langkah dialog, kompromi dan saling menghargai satu sama lain, bukan sebaliknya. Ini yang merupakan janji dan kampanye Obama untuk pemilihan presiden Amerika pada 04 November 2008 kemarin. Lain sisi, situasi paling mutakhir dalam konstelasi politik Internasional: perang (serangan) Israel-Hamas (Palestina), rakyat dunia (khususnya umat Islam) sangat menunggu respon simpatik-kemanusian dari presiden ke-44 AS; baik secara jelas-lugas maupun sedikit samar dengan “dibalut” slogan kata yang bersifat global; Mengingat selama perang(serangan) sampai sekarang, gencatan senjata, Obama lebih memilih langkah “selamat”(diam).

Merespon pelantikan ini dan isu perubahan yang digembar-gemborkan Obama, bapak Harimurti dan Azumaridy Azra, meng-iya-kan dengan penuh Antusias-optimis.” Amerika akan berubah, bagi dunia ada wajah baru di Amerika dengan terpilihnya Berry(panggilan akrab Obama). Menghapus era sebelumnya(Bush), dan kemudian, minimal, kembali kepada era sebelumnya. Di tambah(tegas bapak Azumardy) latar belakang perjalanan hidup Obama sendiri: lebih multi kultural. Semoga mengganti mimpi buruk masyarakat Internasional di hari depan menjadi sebaliknya: perubahan yang lebih baik”. Kata mereka berdua sebelum pelantikan dan pidato pertama presiden terpilih.


AS Antusias, Gaza Lesu

Jalur Gaza, hari ini ketika dunia Gegap gembita menyambut pelantikan Barack Obama, tentu sangat berbeda atau bahkan kontras dengan berbagai belaan dunia lainnya. Gaza masih meratapi sedih, mengais-ngais berbagai bahan makanan dan barang-barang yang bisa digunakan. Sampai saat ini tercatat, sedikitnya korban jiwa 1300 lebih meninggal dunia: 400 dari mereka anak-anak, 100 perempuan , dan lebih dari 5000 orang luka-luka. Sedang untuk infrastruktur, dalam catatan PBB, ada lebih dari 5000 bangunan: 4100 rumah hancur lebur-total, sementara 20.000 lebih rumah rusak, hal ini, entah, karena getaran atau serpihan bom. Dan, 21 fasilitas medis juga hancur total. Tak tahu kata apa yang bisa mewakili tragedi kemanusiaan ini; sedih, pilu dan menyayat hati. Mungkin?
Titik baik baru terasa setelah 22 hari perang(serangan) Israel-Palestina(Hamas):gencatan senjata secara sepihak dilakukan oleh Israel. Kondisi ini direspon secara positif antusias oleh masyarakat palestina yang di Gaza dan Hamas: menerima gencatan senjata dengan syarat, yaitu Israel dalam waktu seminggu harus menarik pasukan dari Gaza, kalau tidak perang jilid II akan pecah. Tak ayal, Israel sejak kemarin menarik pasukan dari Gaza, khususnya pasukan darat. Namun sebelumnya, Israel juga melempar-jatuhkan Bom ‘pretisi’—bom khusus yang berfungsi untuk menembus ruang bawah tanah, yang di-transfer langsung dari amerika; dan hanya amerika yang punya senjata paling mutakhir ini— guna, ketika dia kembali ke Israel, memastikan bahwa seluruh trowongan(Ruang bawah tanah) yang di klaim sebagai tempat penyelundupan(dari Mesir ke Gaza) dan bersembunyi Hamas hancur.Minimal Rusak!
Seklumit pertanyaan menggelitik muncul: apakah ini(gencatana senjata) hanya dalam beberapa waktu saja, 7-10? Atau, akan berlangsung dalam ruang-waktu yang lama?
Merespon ini, Bambang H, menyatakan, Hamas mensyaratkan pasukan Isreal mundur. Sedang dari kemarin pasukan sudah mulain muncur, meski belum seluruh-nya. Maka, semoga titik terang ini bisa berlangsung dalam jangka waktu lama; akhirnya tragedi tidak ada lagi. Rakyat palestina dan Israel bisa berdampingan dengan damai dan saling menghormati. Di tambah, Azumardi azra, dengan langkah konkrit kebijakan Amerika, barack Obama. Karena Amerika adalah Faktor penentu solusi damai di sana. Kita tidak bisa banyak berharap pada Arab; mereka sudah terpecah. Terbukti ada KTT Kwait, Mesir juga ingin mengambil langkah sendiri, Arab saudi apalagi? Maka, satu-satu-nya solusi konkrit, efektif dan jitu: langkah konkrti positif dari Amerika.
Sedang, gegap-gempita presiden terpilih, Barack Husein Obama, disambut antusias oleh setengah juga manusia Amerika ketika menghadiri konser musik guna menyambut acara pelantikannya, Lincoln Memorian. Sambutannya, sekali lagi, tetap: bahwa di hari depan Amerika akan mengalami keadaan yang sulit dan menentukan dalam kurun waktu yang tak sebentar. Karena itu, berharap Rakyat Amerika ber-segera bersatu-padu, saling mengerti dan bersabar dalam menghadapi kondisi itu. Setelah itu dia bersama keluarga larut menikamati sajian yang menampilkan tokoh-tokoh terkenal: U2(vokalis Bruno), Bruce springten, Bon jovi; bukan hanya musisi yang berkesempatan hadir tapi juga para aktor-aktris. Salah satunya, Denzel woshington, yang juga ikut andil dalam memberikan sambutan. “seperti Bapak Obama katakan, Negara Amerika tidak terbagi dalam dua kubu: merah dan biru(Republik dan Demokrat), melainkan bersatu sebagai Amerika serikat. Maka sudah selayaknya kita mengawali perayaan ini dengan satu kata:”kita adalah satu”, kata Denzel.
Syahdan, suasana gempita itu, menerima beragam pandangan, tapi ini wajar, dari masyarakat dunia: khususnya Arab dan Indonesia. Untuk masyarakat arab di bawah, sebagian besar menganggap sesuatu yang biasa. Mereka berargumen: siapa pun presiden terpilih Amerika tidak ada bedanya. Apalagi terkait Palestina-Israel. Mereka tidak akan bisa lari dari lobi Israel. Bahkan ada yang apatis: Amerika dan Israel itu adalah satu (?)Sedang untuk media massa Arab, menyambut Optimis, karena melihat, semisal, latar belakang kehidupan Obama. Bapak dia seorang Muslim, bapak tiri-nya begitu juga. Apalagi ditambah di tengah nama dia ada kata”Husein”; maka hal ini akan memberi ruang untuk berdialog dengan prinsip yang saling menghargai, dan tentu itu poin tersendiri dia lebih diterima kyalayak Arab dibanding presiden sebelumnya. Meskipun, pada bulan juni 2008, dia dituduh tidak mempunyai simpati pada palestina karena ketika berkunjung Israel selatan—tempat di mana roket hamas sering bersarang-jatuh dan mengena warga sipil israel—, bertepatan dengan agresi militer ke Gaza, berkata: “ jika saya dan kedua putri saya sedang tidur lelap lalu tiba-tiba ada roket yang meluncur ke rumah saya, maka saya akan melakukan apapun untuk melawan itu” , kata dia. Tapi, menurut Harimurti, teks itu tidak hanya berlaku untuk Israel, tapi juga Palestina. Karena yang diroket itu bukan hanya Israel, begitu juga Palestina.
Untuk Indonesia, karena, mungkin, ada segi emosional yang sangat lekat-erat tak ayal jika hampir mayoritas masyarakat Indonesia Antusias menyambut Ini. Terbukti SD Obama menggelar Nonton Bareng Pelantikan Obama; dengan mantan gurunya menjelaskan sisi-sisi dia ketika di Sekolah dulu. Ini juga terjadi diberbagai daerah, semisal, di Hotel Mariot. Bahkan di rumah penulis. Dikuatkan juga, dengan janji dia, dalam waktu seratus hari, dia akan berkunjung ke Indonesia guna ber-nos-tal-gia dengan Nasi Goreng, bakso dan Rambutan.
Terkait pembelajaran ber-de-mo-krasi Amerika bagi Indonesia: sikap legowo menerima kekalahan. Jadi meskipun kalah dalam pemilu tapi bukan berarti “harus putus” dalam hubungan baik di antara mereka. Kemudian, sama-sama merayakan demokrasi secara bersama-sama, baik dalam rangka membangun negara: secara kultural maupun struktural, dan melupakan pengalaman-pengalaman pahit selama kampanye dan pemilu. Ini merupakan pelajaran baik dalam ber-De-mo-krasi.
Terbukti, dengan, hadirnya, John Mc (yang merupakan lawan Obama dalam pemilu AS), Hilary Clinton(lawan dalam konvensi Partai demokrat sebagai calon Presiden), bahkan dia bersedia diangkat untuk menjadi Menteri Luar Negeri untuk bersama-sama membangun-menyejahterakan AS. Juga, kalau kita teliti dalam pidato Obama dan statment-statment dia, tidak pernah menyinggung dengan jelas-lugas kesalahan-kesalahan pemerintahan sebelumnya; tapi semua disampaikan dengan pola komunikasi “tingkat tinggi”: sangat baik dan jitu.

Lain pihak, juga, memberikan contoh yang baik sebagai negarawani: dengan menghadiri pelantikan presiden terpilih dengan antusias dan tanpa memperlihatkan wajah musam-cemberut. Sebagai tradisi, turut hadir-menyaksikan: mantan presiden AS dan pejabat negara, seperti Jimmy Carter, George HW Bush(senior), George W bush (Junior) dan Bill Clinton. Belum lagi, antusiasme warga Amerika yang menghadiri pelantikan mencapai 3-4 juta jiwa tumpek brek dalam satu tempat dan menyesaki beberapa kilo meter dari Capitol Hill, Woshington yang ingin menjadi bagian dariperistiwa bersejarah ini. Tak ayal, pengamanan super ketat, dengan menurunkan 10.000 petugas keamanan, dari yang ber-baju preman sampai Inteljen; FBI.

Suasana ini belum tercermin seratus persen di Indonesia. Yang kalah masih Drengki. Ada yang “menusuk dari belakang”. Di undang upacara kemerdekaan tak kunjung kelihatan batang hidung-nya. Terus me-nya-lah-kan tanpa memberi solusi. Atau sebaliknya, sedikit baik, di-elu-elu-kan setinggi langit se-olah bagai Ratu adil. Sedikit bersih, dibersih-bersihkan se-suci malaikat dan masuk surga bagai “Mati Syahid”. Sungguh saya kok kadang bertanya; demokrasi apa di Indonesia? Tapi, untuk, menenangkan hati dan biar tidak stress, saya berucap: mungkin, masih dalam proses. Masih berjalan. Jalan kita masih panjang. Barangkali?
Obama; Sempat Lupa dan Seklumit Tidak Puas
“Saya, Barack Husein Obama, sungguh-sungguh bersumpah bahwa akan setia menjalankan tugas sebagai Presiden Amerika Serikat dan akan melestarikan, melindungi, dan mempertahankan konstitusi AS”. Amerika telah menapaki jejak baru, barangkali, “lompatan besar” ke depan dalam percaturan dunia Internasional setelah, dengan simbol, dilantiknya Barack Husein Obama, pada selasa(20/1) pada pukul 12 siang waktu setempat , atau rabu tengah malam WIB.
Wakil Presiden, Joe Bidden, telah usai di ambil sumpah. Sedang, seraya terkejut, Obama mengulangi sumpah jabatan, akibat demam panggung, yang diucapkan Mahkamah Agung, John Robert, dan menumpangkan tangan kiri di atas Injil—injil ini yang dipakai Abraham lincoln, kemudian disimpan dalam museum; baru dipakai saat Obama diambil sumpah— yang digunakan saat pelantikannya dan sambil melempar senyum melirik ke istrinya.
Dalam pidato pertama kalinya dalam kurun waktu kurang lebih 20 menit, Obama menekankan digdaya-nya Amerika dan mengembalikan kepercayaan dunia terhadap AS, ditengah Krisis global ekonomi dan konflik perang di luar negeri. Maka, seperti yang saya tulis di atas, diperlukan memperatkan genggaman tangan antara satu sama lain, bersegera bangkit. Bersama kita bisa. Lain sisi, dia menggugah hati-naluri rakyat Amerika dengan memberi ingat pada jasa-jasa para pahlawan. Pentingnya nilai-nilai yang dulu membangkitkan Amerika dari keterpurukan, semisal; patriotisme. Maka, mari kita buat kembali Amerika.
Diawali dengan membangkitkan optimisme Rakyat, dilanjut dengan mengatakan: menegakkan Idealisme dan mempertahankan keamanan Nasional suatu negara itu harus berlawanan, hal ini sangat ditentang oleh Obama; penjara Guantanamo harus dibuka suatu keniscayaan. Apalagi, dalam pemerintahan ke depan, sisi kemanusiaan yang akan diprioritaskan.
Kita adalah bangsa yang penganut, kristen, Islam, yahudi, serta Atheis. Dengan latar belakang masyarakat yang ber-agama plural,mungkin, dia ingin mempertegas bahwa berbeda itu bukan berarti tidak bisa bersatu. Berbeda itu bukan berarti harus perang, melempar Bom, roket atau yang lain(yang buruk-buruk) dan minoritas itu tidak harus di bumi-hangus-leburkan secara total; apalagi dengan fisik. Namun, justru, perbedaan adalah kekuatan tersendiri untuk bisa lebih erat tali persatuan. Hal ini, diperkuat-pertegas dia merupakan presiden Amerika serikat yang pertama berkulit hitam.
Sedang dalam percaturan di dunia Internasional, seperti yang sebelumnya ia janjikan, Obama akan mengembangkan cara pandang baru untuk bersahabat dengan negara-negara luar; khususnya Timur tengah dan dunia Islam, berdasar persamaan persepsi dan prinsip saling menghargai. Dengan lebih persuasif-dialogis dengan, sekali lagi, memprioritaskan kemanusiaan dan ramah lingkungan ini akan menjadi prinsip Amerika ke depan. Konkritnya, Ia akan menyerahkan tanggung jawab Irak kepada Rakyatnya, dan berusaha membantu perdamaian di Afghanistan. Bersama negara-negara sahabat, tanpa lelah akan meminimalisir ancaman nuklir dan pemanasan global.
Namun, yang perlu sedikit catatan, dia tidak menyebutkan secara jelas lugas isu internasional yang paling mutakhir: perang Israel-Palestina(Hamas). Hanya secara samar berucap: bagi yang berupaya mencapai tujuan dengan melancarkan teror dan membantai warga tak berdosa(rakyat sipil), akan kita lawan dan kalahkan. Bagi para pemimpin Dunia yang gemar menabur konflik atau saling menyalahkan satu sama lain atas masalah yang terjadi pada masyarakatnya, ketahuilah bahwa rakyat anda menilai anda daripada apa yang mampu anda bangun, bukan dari apa yang anda hancurkan. Dan,bagi mereka yang menempati tampuk kekuasaan melalui korupsi dan kecurangan, mereka berada pada sisi salah dalam sejarah, namun AS bersedia membantu ke jalan yang benar, jika bersedia membuka “kepalan tangan”, dan saling menghormati.
Menyikapi hal ini(tidak menyebut lugas terkait konflik Israel-Palestina(Hamas)), Azumardy Azra, berasa kecewa. Karena semua pidato Obama tidak menyinggung itu. Satu kalimat pun tidak. Lain hal, B. Harimurti, sedikit mempunyai catatan, meski tidak sebut secara lugas-jelas, tapi secara global sudah. Tapi Harimurti bersepakat, bagi orang yang menginginkan situasi damai di Timur tengah khususnya Gaza, ini sedikit mengecewakan. Memang, azumardy, jangan over optimistic pada Obama karena pidato Obama yang membuat orang diselilingnya, tapi juga jangan sebaliknya, izinkan dia bekerja dulu.
Terkait, hubungan Amerika dengan Dunia Islam, baik Harimurti dan Azumardy sepakat, memang dalam membangun hubungan dengan Prinsip saling menghormati dan menghargai. Kemudian mengkritik para pemimpin-pemimpin Arab dan memang, sebenarnya, salah satu akibat fatal konflik di Israel-Palestina memang dari para pemimpin Arab sendiri. Dalam bahasa Obama, mereka berada pada sisi sejarah yang salah. Dengan memberi contoh: tahun 60-an orang kulit hitam ke restoran itu tidak akan dilayani, sekarang?! Dalam hal ini, menurut saya, semua kebencian Ini bisa di-ter-atasi. Maka semangat Optimisme dan energi positif itu harus tinggi serta selalu dimunculkan.

----- ### ------
Itulah sedikit-seklumit potret pelantikan Obama. Kita semua, warga Internasional akan selalu menunggu langkah konkrit Amerika; bersama Obama.semua berharap, khususny penulis, semua janji kampanye, orasi dan pidato Obama semalem bukan menjadi Isapan jempol semata. Bisa merubah cara pandang dunia, khususnya dunia Muslim, untuk lebih bersahabat. Minimal kembali sebelum Bush.
Konflik di Gaza, mungkin, perlu penanganan yang Ekstra dan ber-se-ge-ra. Termasuk Obama memang merupakan salah satu faktor penentu perdamaian di sana. Namun, lebih daripada itu, warga-pemimpin dan internal pemimpin kedua negara (Israel an palestina) memang, perlu kesadaran untuk saling menghormati dan hidup dua belah negara dengan mesra; ini menurut penulis yang paling penting. Faktor penentu kedua setelah Obama. Dilihat sekilas mudah-manis, tapi begitu susah bukan untuk menerjemahkan dalam langkah nyata?