Wednesday, February 18, 2009

Nasheer Hamid Abu Zaid

Kritik Hermeneutika Nasheer:
Dicaci juga Dipuji

Lakpesdam yang notabene salah satu lembaga di PCINU Mesir yang bergerak langsung di bidang pemikiran dan isu paling mutakhir-kekinian; kemarin, Minggu (15/2) telah mengadakan diskusi regular perdana ba’da Ujian term I: melanjutkan ‘Mega Proyek’ sebelumnya: Kritik terhadap pemikir Kontermporer. Diskusi perdana ini berada di Aula Sekretariat PCINU Mesir yang bertempat di tengah Bawabah II dan III, Nars City-Cairo, Egypt.

Kali ini, pemikir yang disandingkan untuk dikelupas di acara diskusi: Nasir Hamid Abu Zaid, dengan judul makalah” Kritik Atas Logika Hermeneutika Nasir Hamid Abu Zaid”. Rekan Abdul Rouf hadir sebagai presentator dan tampuk moderator diamanahkan kepada rekan Irwan Masduqi, yang kebetulan koordinator Lakpesdam periode 2008-2010. diskusi diikuti Intern Pegiat Lakpesdam—meski ada beberapa yang izin akibat ‘sakit’, karena pergantian Musim yang akut. Turut hadir sebagai tamu spesial: rekan senior Lakpesdam dan sekarang mendapat amanah menjadi koresponden beberapa media cetak untuk zona Timur-tengah, Ahmad Ginandjar sya’ban (Atjeng), dan M. Hasbi, Web. Master PCINU Mesir sekaligus merangkap sebagai Menteri Informasi dan komunikasi (Info-Kom) di PPMI Mesir periode 2009-2010.

Diskusi dimulai pukul 16.00 waktu Kairo, dibuka langsung oleh rekan Irwan selaku Moderator: memaparkan secara universal-global berkait dengan pembahasan.”Nasheer Hamid adalah pemikir garda depan yang prolefik sekaligus unik-Energik di belantara dunia Islam. Semua tak bisa ingkar akan Ini, terlepas ideologi dan permasalahan yang mengitarinya. Dengan mega proyek: membahas, meneliti lebih mendalam-kritis Imam Syafi’I, Al-Asy’ari “diserasi-selaraskan dengan Mu’tazilah”. Sedang, diranah Tasawuf-falsafi Ia konsen pada “mengkawinkan” al-Ghazali dengan Syaikhul Akbar: Ibn Arabi agar lebih sejuk-serasi. Bukan sebaliknya, seram dan saling berlawanan”. Tanpa memperpanjang kalam, dan menegaskan bahwa tugas moderator: hanya mengatur jalan diskusi sekaligus menyambung ‘logika’ rekan-rekan agar diskusi teratur dan lebih linier. Maka pemahaman dari audiens pun lebih teratur, dan menyerahkan waktu presentator untuk lebih mengelaborasi lebih jauh-luas.

Menyambung ‘logika’ dari moderator, rekan Rouf, meng-amini apa yang telah disampaikan moderator, dengan melanjutkan metodologi Nasheer.” Benar apa yang disampaikan rekan Irwan, mega proyek itu didekati dengan metode Hermeneutika yang bersifat ekletik, ketimbang tunduk-patuh pada salah satu ‘madzhab’”, ungkap Rouf. “Hal ini tidak lepas dari latar belakang hidup beliau, ditopang keresahan beliau dengan perkembangan dunia Islam yang lebih terlihat sangar. Kurang Humanis dan lebih sering Uforia-mimpi indah masa klasik, bergerak regresif, dan tak jarang eksklusif” lanjutnya.

Nasheer nota bene anak petani, mujur bisa karena keuletannya Ia bisa merasakan pendidikan dari Timur-tengah (red; Islam) di Universitas Kairo sampai ke Barat.: Universitas Pennsylvania dan Philadelphia USA. Tak ayal, selain mengenal Al-Jurjani, Zamakhsari, Imam Syafi’I , Al Ghazali dan bejibun Ulama besar, Ia pun tak asing dengan Hustel, Berkeley, Heigdheger, Derrida dan Gadamer. Di Timur lazim mendengar istilah ‘Ta’wil dan tafsir’ kemudian ia elaborasi dan kembangkan lebih luas-jauh dengan memakai pendekatan “Hermeneutika yang bersifat Ekletik; meskipun ia pernah dituduh Marxisian dan Gadamerian”. Terlihat pandangannya pada Islam lebih inklusif. Tak jarang juga mencerahkan. Setidaknya, itulah gambaran seklumit-sedikit di buku-buku beliau: mulai Naqd al-Khitab Al-Dîn,Isykaliatul Qira’ah wa Aliya al-Takwil yang bermuara pada Mafhum al Nash:Dirasah Fi ‘Ulûm al Qur`an.

Berkait issu paling sensitif di Nasheer: coretan dia tentang Munstaj Tsaqofi. Seolah ia meyakini bahwa Al-Qur’an sebagai ‘teks’ adalah buatan manusia (red;produk budaya) bukan kalam Illahi. Padahal—dituntut lebih cerdas dan cermat untuk mengkaji ini— menurutnya, peradaban Islam adalah, barangkali, peradaban teks. Artinya kemanapun lari-perginya peradaban Islam secara sah-pasti akan kembali ke titik nadzir: teks. Teks menurut Nasheer adalah Al-Qur’an dan al-Hadits setahap setelahnya. Al-Qur’an secara sah, bahkan jelas-lugas Nasheer mencoretkan bahwa Ia merupakan kalam Illahi. Artinya turun dari ‘langit’. Namun dalam perjalanannya pasti dia bersentuhan, baik langsung maupun tak langsung, dengan ‘konteks’ yang mengitarinya. Baik secara pemahaman, maupun pola-tata cara-etika-budaya yang berkembang dalam ranah sosial masyarakat kala itu. Dan di situlah terjadi ‘komunikasi aktif’ dua arah, antara al-Qur’an sebagai tajjalî teks-wahyu Tuhan dengan ‘konteks’ yang mengitarinya. Sehingga dalam “larinya” teks selalu terjadi evolusi penafsiran, dan dealetika ‘campur tangan’ liyan itu tidak bisa dipungkiri.

Sedang berkait keresahan Nasheer: menurutnya dalam formula paling mutakhir Umat Islam secara massif mengalami beberapa kesalahan-kerancuan yang sangat akut, baik dalam pola pikir pemahaman maupun perilaku kehidupan sehari-hari. Dalam Naqd Al Khitâb al Dîn, ia menguraikan secara gamblang dan tranparan. Di antarannya: banyak kalangan yang tidak bisa membedakan, mana yang Profan dan mana yang Sakral. Mencampuraduk antara pemahaman Agama dengan Agama, seolah keduanya ini sama-serupa. Tidak arif dengan budaya luar. Seolah akulturasi Budaya, pemahaman ‘liyan’ itu najis. Dan bejibun formula regresif yang menghinggapi ‘jantung’ Umat Islam.Ini tidak bisa dibiarkan. Maka konsep yang solutif harus dicari. Dan Nasheer salah satu yang menawarkan.

Tapi Nasheer bukan malaikat. Pasalnya, Ia hadir bukan tanpa cacat. Tak ayal, banyak catatan yang bisa dituangkan kala membaca Nasheer dalam karya-karyanya. Semisal, kala mengkritik Imam Syafi’I ia telihat ada sentimen negatif, bahkan bisa dibilang terlalu memojokkan, sehingga dalam karyanya terlihat kurang obyektif. Dalam pembahasan Ibn Arabi dan al-Ghazali, ia kurang konsis dalam ranah pendekatan. Ia mencampuraduk antara De metodologi (menerima yang berbau Mistik) dan De mistifikasi. Artinya dalam kajian Al-Qur’an dia lebih De mistifikasi., atau kata lain: meng-ilmiahkan Al-Qur’an. Ini yang menjadi argumen Imâroh menuduh Nasheer salah satu pegiat Marxisme dalam ranah kajian Al-Qur’an. Sedang lain sisi, kala membahas sufi-falsafi ia berwajah De Metodologi. Tunduk patuh padanya, tak jarang menggerus segi ‘prinsip’, tanpa mempertimbangkan segi-segi rasional-kontekstual yang Ia kumandangkan sebelumnya.
Setelah Tanya jawab. Orasi dari masing-masing pegiat lakpesdam, kemudian moderator yang juga koordinator mempersilakan senior lakpesdam, Ahmad Ginandjar sya’ban(Mas Atjeng) untuk memberikan ‘wejangan’, pengalaman dan beberapa “catatan penting” berkait seklumit sedikit tentang lakpesdam. Dalam wejangan-nya, secara global: pegiat lakpesdam memang selalu luar biasa, baik dalam ranah pemikiran maupun ketajaman analisa. Tapi lari dari itu, hendaknya kita juga mempersiapkan ‘jalan’ guna menyalurkan ide genial kita agar dikemudian hari memberi berkah kepada Umat bukan malah sebaliknya: umat salah paham. Mengingat masyarakat (Indonesia) kita sekarang lagi ‘Goncang’ baik dalam Pemikiran, sosial masyarakat, apalagi dalam hal Ekonomi. Tak ayal sangat dibutuhkan ‘Nafas’ seirama yang menyejukkan dari luar. Khususnya dari rekan-rekan Lakpesdam. Tak ayal kontribusi aktif-positif sangat ditunggu guna melepas ‘dahaga’.

Kemudian, acara ditutup dengan pembacaan Ummul Kitab, juga koordinator mengingatkan agar lebih aktif-tekun dalam belajar. Baik menganalisa maupun memperdalam pembacaan. “Kita diskusi lagi tanggal 25 Februari, dengan mega tema Kritik pada Ahmad Khalfullâh. Pemateri rekan Subhan. Jangan lupa persiapnnya lebih matang juga serius” begitu kelakar beliau.



No comments: