Monday, June 29, 2009

Diskusi Awal lakpesdam Seusai Term II


Lakpesdam ‘Mejeng’ ke Hadiqoh?


Lakpesdam, kemarin sabtu, 27 Juni 2009, terlihat (tampil)beda. Pasalnya, biasa terlihat serius, “wajah cemberut” dan pola pakaian biasa di saat diskusi, tapi kali ini lain: ada yang bawa Kaca mata Hitam, kamera, pakaian Necis, dan ketinggalan Bau parfum yang, barangkali, sedikit ‘menyengat’.

Pertemuan pertama diskusi dengan tema : ”Membedah Ayat-ayat Misoginis, Qosim Amin Sebagai misal”, dan rekanita Bangun Pritiwati Zahro sebagai presentator. Menurut rekan Irwan Masduqi(Koordinator Lakpesdam 2008-2010), sengaja memilih tempat di Luar Sekretariat, di Hadiqoh Al Azhar, karena biar ada suasana fresh seusai Ujian term II; dan ini awal kali Lakpesdam diskusi di Luar Sekretariat.

Pukul 15.00, 6(enam) rekan Lakpesdam keluar dari sekratariat NU untuk langsung menuju hadiqoh Azhar, setelah sebelumnya ‘menggandakan’ makalah dan membeli ‘bekal’ dari Mini Market. Sedang rekan lain sudah ada yang telah di sana sebelumnya; karena tinggal di daerah Buuts dan Husein, lebih dekat dari lokasi; Hadiqoh Azhar. Dalam kesempatan ini, Lakpesdam juga mendapat kehormatan atas berkenan hadir: rekan baru, rekan Fahmi Farid Purnama dan senior lakpesdam bersama Istri; Kyai Ahmad Gynandjar Sya’ban dan Ning Lulu mardhiyah.

Diskusi dimulai Pukul 17.00 Waktu kairo, setelah semua Kumpul. Kali ini, Ahmad Subkhi dipercaya sebagai Moderator, pemandu diskusi dari awal sampai Akhir.

Qosim Amin, menurut saudara Subkhi ketika membuka diskusi, untuk kontek sekarang, barangkali, biasa-biasa saja. Tapi, pada masanya dia menjadi Orang yang berani mendobrak sekat-sekat tradisi pirmodialisme yang membelenggu-membodohkan, khususnya bagi kaum perempuan. Bahkan dua bukunya itu, Tahrirul Mar`ah dan Mar`ah Jadîdah, salah satu bagian dari buku yang paling kontroversial di Arab; mesir pada Umumnya. Tanpa memperpanjang kalam, dia mempersilakan rekanita bangun pristiwati Zahro untuk mengelabolari lebih jauh berkait Isue-isue gender, kang Qosim sebagai misal.

Banyak perempuan Arab baiknya berterima kasih kepada Qosim Amin karena, papar Bangun, atas jasa dan perjuangan dia banyak kaum hawa bisa bersekolah-mengenyam pendidikan dengan merata-memadai, tidak ditalak dan di Poligami suami dengan semena-mena dan menjamin proses keberlanjutan generasi suatu bangsa adalah salah satu bagian yang (telah-harus) diperjuangkan. Layak predikat Bapak feminis Arab melekat padanya.

Kemudian, lanjut rekanita Bangun, mengupas dari berbagai aspek: Biografi, metode penelitian, dan aspek-aspek lain yang menjadi obyek kajian Qosim Amin. Ia lahir dari keluarga yang terbilang mampu. Setelah lulus dari Universitas di jurusan Hukum, Qosim Amin mendapat Bea siswa untuk melanjutkan sekolah ke Perancis. Di saat dewasa ia bertemu dan menimba Ilmu bareng dengan beberapa reformis Arab salah satunya: Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al Afghani.

Dari aspek metode, Qosim amin lebih dekat dengan pendekatan sosiologis. Ini diperkuat dikala respon dia terhadap salah satu buku tokoh Orientalis, Duc D'harcouri, yang menghujat Islam dan Arab secara tradisi: penelitian itu harus terjung langsung ke lapangan, bukan di “atas meja”, agar peneliti tahu betul Objek dan tak ada jarak dengan Objek, hasilnya pun bisa mendekati Objektif. Barangkali? Begitu juga dikala mengkaji perempuan, Qosim Amin, juga mengadakan Survey langsung ke ‘lapangan’, di samping tak mengabaikan study literature; dengan harapan penelitiannya seimbang, tak bias.

Seusai semua rekan Lakpesdam memaparkan ide dan hasil olah bacanya, diskusi selesai sedikit setelah adzan maghrib, Senior Ahmad Gynandjar Sya’ban (masyhur dengan sapaan kyai Atjeng) sebagai pamungkas.

Ndadak Model

Setelah diskusi, ada beberapa rekan yang pulang; terutama yang tinggal di Buuts, bagi yang perempuan. Sedang senior Atjeng dan Istri ada urusan lain. Sisanya, masih tinggal dan menikmati indah-nyaman-sejuknya Hadiqoh Azhar.

Akhirnya ‘beraksi’, teriak rekan Subhan setelah Usai diskusi. Dia langsung meminta rekan lain untuk memotret dia dengan gaya Khas dia. Aksi ini juga diikuti rekan lain, sambil mencari-cari angle yang pas untuk dijadikan bacakround. Mulai dari ujung-puncak taman dengan pemandangan kota kairo jadi Backround, tembok dengan ukiran-pola letak yang indah, dan sampai beberapa relif yang mengandung nilai sejarah.

Dalam acara potret-memotret, ada beberapa hal lucu, aneh dan ‘Gokil’. Juga didukung dengan tak ada kaum hawa yang tersisa sehingga ‘aksi’ rekan-rekan “Los”, tanpa ada beban. Seperti, di puncak, rekan-rekan memperagakan beberapa “tari” beberapa aliran. Berpose bersama dan sendirian, dengan gaya aktraktif —bahkan beberapa kali di usir petugas keamanan— sesuai keinginan masing-masing, alias berpose tanpa ada yang mengatur-memberi arahan.






Bapak Feminis


Qosim Amin,
Tema Diskusi Lakpesdam Seusai (Ujian) Term II



Isue gender merupakan topik yang selalu hangat dan tak habis jika dibahas. Terasa melelahkan tapi juga mengasyikkan; lelah karena tak ada titik akhir untuk mencapai, asyik: kita akan terberi nuansa dan wacana yang dinamis dengan disuguhkan “jargon-jargon” yang selalu bermunculan dan tak akan pernah habis dibahas-digali, sehingga tak terasa letih.

Di Indonesia, kita dengar nama: RA. Kartini, Dewi Sartika, Ratna Megawangi dan, barangkali, Gadis Arivia, bahkan tak ketinggalan mantan first lady Indonesia, Ibu Sinta Nuryah Abdurahman Wahid(Istri Gus Dur) berada di Garda depan untuk memperjuangkan nasib-hak para perempuan di Indonesia. Negeri Tercinta. Sedang di Dunia Arab sendiri, khususnya Mesir, tak asing kita mendengar nama: Huda Sya’rawî, Zaenab Fawwaz, May Ziyadah, Aisya Taimoriyah, dan Aisya Bintu Syati’; mereka adalah sedikit dari banyak Tokoh yang konsen dalam relasi gender dan feminisme di mana masalah ini menjadi Problem sentral(al-Isykaliyât al-Markaziyah) dari pergolakan pemikiran di Mesir. Namun jika dirunut ke belakang, di akhir abad 20 M, justru Qosim Amin-lah yang berada di Garda depan untuk pembebasan dan pemberdayaan kaum perempuan pada masa itu. Layak kiranya predika Bapak Feminis Arab melekat padanya.

Karena atas jasa Qosim amin, banyak perempuan di Dunia Muslim dan Negara-negara dunia ketiga, khususnya Mesir, bisa menghirup udara bebas, mengenyam pendidikan dengan layak dan memadai dan Harkat-martabat perempuan lebih bisa diterima, khususnya di depan laki-laki dan pada khalayak publik. Dengan mengguna analisa sosial-historis dan dikomparasikan dengan “kritik teks” Lek Qosim berhasil membedah “sekat-sekat primordial tradisi” yang membelenggu, tak jarang membodohkan, kepada kaum hawa untuk dipahami secara adil dan lebih maslahat kepada khalayak banyak.

Kemarin, Sabtu 27 Juni 2009 Lakpesdam mengawali diskusi seusai Ujian Term II dengan Membedah Ayat-ayat Misoginis, Qosim Amin sebagai Misal dan rekanita Bangun Pristiwati Zahro mendapat amanah sebagai presentator. Diskusi lain dari biasa, menurut rekan Irwan, Koordinator Lakpesdam,” kita sengaja diskusi di Luar, di Hadiqoh Azhar, biar ada suasana fresh, di samping serius dalam diskusi tapi bisa ‘menghirup nafas’ liburan dengan nyaman-tenteram”.

Jarum jam berada di titik 17.00 waktu kairo. Rekan-rekan lakpesdam terlihat sudah memenuhi kuota diskusi, dan kala itu pula-lah diskusi dimulai; Saudara Ahmad Subkhi dipercaya memandu acara, alias menjadi moderator. Kebetulan, ini kali, lakpesdam mendapat kehormatan dengan bergabungnya Senior lakpesdam bersama Istri: Ahmad Gynandjar Sya’ban dan Lulu Mardhiyyah dan rekan baru, Fahmi Farid Purnama.



Jejak Langkah dan Sepak Terjang “Sang (Bapak) Ferminis”

Kang Qosim lahir di desa terpencil di daerah Mesir dari Ayah keturunan Turki Utsmani dan ibu berdarah Asli Mesir. Lahir di awal bulan Desember pada tahun 1863 M, ungkap bangun ketika mengawali presentasi.

Di Madrasah Al-Tin di daerah Alexandria, lek Qosim mulai belajar hingga di tahun 1881 M. ia meraih gelar licance dari Fakultas Hukum dan administrasi dari sebuah akademi. Kemudian pada tahun yang sama ia juga berhasil bekerja pada Mustafa Fahmi Basya, seorang pengacara, yang kebetulan mempunyai hubungan baik dengan Ayah Qosim. Melalui perantara Kantornya, mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Perancis atas sponsor dari Musthafa Fahmi Basya itu. Di perancis, ia bertemu para reformis Arab, salah satunya: Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh. Juga layaknya mahasiswa, dia mempunyai “teman perempuan Istimewa” yang jelita-cantik asal Perancis, Salafa namanya, yang ketemu awal di perpustakaan Universitas, dan dari dia disinyalir Qosim sadar bahwa ada yang tak beres pola hidup dan memperlakukan perempuan di tanah kelahirannya, Mesir.

Sekembalinya dari perancis, 1885, ia menjadi Hakim. Kariernya semakin meningkat hingga tahun 1889 lek Qosim diangkat menjadi wali kota bani Suef di salah satu daerah propinsi di Mesir. Dari sinilah, terbuka lebar untuk menjalankan misi-misi mulianya guna memperbaiki “lalu lintas” masyarakat di segala bidang(ishlâh ijtimâ'î).

Ditahun 1894, ketika usianya menginjak 31 tahun, lek Qosim menikah dengan gadis pilihannya sendiri, Zaenab Amin taufik namanya, Gadis jelia kebangsaan Turki anak dari teman dekat ayahnya. Ditahun yang sama lek Qosim mulai aktif menulis, dan menerbitkan karya pertamanya: Al Misyrisriyyûn (Le Egyptiens) sebuah buku yang meng-counter salah satu kajian orientalis asal perancis, Duc D'harcouri, yang menghujat sosio-kultural Mesir pada masa itu. Kemudian ditahun 1899 ia menerbitkan buku Tahrirul mar`ah dan satu tahun setelahnya, 1900, Mar`ah jadîdah sudah “dinimakti” khalayak banyak, tandas bangun.

Qosim Amin, terbilang sukses dengan misinya: buktinya, sudah banyak hasil nyata dari perjuangan dan Ijtihad mulia yang bisa dirasa-nikmati banyak perempuan; meski perjuangan harus terus berlanjut. Sudah banyak perempuan bisa memperoleh Haknya, mengenyam pendidikan dengan layak memadai dan harkat martabat perempuan sudah mulai tidak dilirik sebelah mata, alias hanya menjadi konco wingking.

Dengan mengguna Analisa Sosial: sosio-kultur dan Sosiologis-historis, dengan didukung ‘kritik teks’ terhadap beberapa referensi Utama(Ummahât al-Kutb) yang berjilid-jilid ia bisa mendenahkan friksi sosial kemasyarakatan dengan adil, khususnya perempuan.

Dalam buku Tahrir al Mar`ah, beliau menekankan reinterpretasi terhadap teks-teks keagamaan yang menjadi subordinasi kaum laki-laki terhadap perempuan, sebagai misal: poligami, talak, dan Hijab(cadar) dengan melalui pendidikan yang layak-memadai sebagai pintu gerbang utama untuk membenahi kecarut-marutan mainstrem masyarakat; meski tidak sedikit tekanan, protes dan cercaan yang menganggap beliau telah “mendekte” syariat, khususnya dari pemuka agama di Mesir.

Di masanya, perempuan disamakan seperti budak, posisi dimasyarakat terbilang lemah tak jarang menjadi bulan-bulanan. Tak ayal, laki-laki gampang-mudah sekali berucap talak, dan poligami dengan semena-mena. Lek Qosim dengan friksi ini mengajukan solusi, talak, itu harus konstitusional. Sedang untuk poligami, itu adalah bentuk penghinaan terhadap perempuan dan akan mencipta perang batin yang berkelanjutan. Namun beliau memberikan “garansi” pada kasus jika Istri ada masalah: mandul misalnya. Tapi itu harus melalui persetujuan Istri jika istri meminta bercerai, suami harus-wajib menceraikan.

Berkiat Hijab(cadar), menurut Qosim Amin itu tak lebih dari Produk Budaya dan warisan dari nenek moyang, bukan tuntutan Agama. Dalam pemaknaan Lek Qosim, Hijab itu ada dua: Hakiqi dan Majaziy. Hakiqi adalah kain yang menutup wajah, sehingga orang lain tak bisa mengenal, sedang yang majazî: kungkungan suami terhadap istri, atau budaya patriarki. Untuk kasus ini, lek Qosim menolak keduanya. Itu tak lebih guna merendahkan derajat perempuan dan makna-subtansi cadar sudah melenceng dari maksud yang dikehendaki; khususnya di kala Interaksi sosial.

Pembacaan yang tak Tunggal

Setelah rekanita Bangun selesai presentasi, saudara Subkhi memberikan kesempatan bagi rekan-rekan lainnya untuk mengoreksi, memberi hal lain sesuai dengan bacaan dan pola pemikiran masing-masing. Setidaknya ada beberapa pandangan yang berbeda, tapi saling melengkapi untuk ini.

Rekan Ronny, kebetulan mendapat kesempatan pertama, mengutarakan: “untuk Konteks sekarang Qosim Amin itu sudah tidak relevan lagi. Sebagai misal, dalam konteks pemberdayaan perempuan melalui pendidikan misalnya, sekarang kita bisa melihat banyak perempuan sudah bisa menikmati itu. Maka “fardlu ‘ain” hukumnya untuk memodifikasi ulang gagasan Lek Qosim ini; khususnya peran di depan Publik, agar tak lenyap-menguap”, tandasnya satu-satunya anggota lakpesdam yang berambut gondrong ini.

Dalam hal lain, menurut rekan Faiq, catatan kepada Qosim untuk Feminis awal tidak berani menyentuh Teks Agama secara lugas jelas: Al Qur’an dan Al Hadits, tapi hanya berhenti pada pendapat Fuqaha. Tapi syukur, perkembangan Gender dan feminis bisa dikata terbilang dinamis, karena untuk konteks kekinian sudah banyak yang melakukan interprestasi ulang kepada ayat-ayat misoginis, Surat Al-Nûr ayat 30 misalnya dan hadits Imam Bukhori yang menyamakan perempuan dengan Anjing dan Celeng”.

Sedangkan rekan Irwan membahas identifikasi pemikiran Qosim Amin. “Dalam mengkaji relasi Gender dan feminis, baiknya kita tak menggeneralisir agar tak terjadi reduksi di sana-sini. Dalam “kaca mata” saya seorang feminis terkait tema itu ada dua: reflektif dan kognitif. Reflektif seperti Irsyad manji, Fatimah mernisi yang sadar akan pentingnya peran perempuan akibat dari pengalaman empiris tokoh tersebut. Sedang Kognitif, berawal dari realita sosial yang ganjil, kemudian dilakukan analisa yang ditopang teks-teks keagamaan maka lahirlah karya seperti milik Qosim Amin.

Sedang dalam pola tulis dan cara merekonstruksi frisksi, masih menurut rekan Irwan, Qosim Amin masih dalam tataran yang wajar dan santun. Tidak radikal dan tak juga terlampau bebas karena Qosim mengharap perempuan yang masih dalam kodratnya tapi bisa berfikir bebas, terbuka-inklusif namun masih tetep berpegang teguh pada akhlak Agama yang mulia; itu imajinasi-gambaran Qosim terhadap Muslimah yang baik.

Hal ini terlihat lebih komplit, ketika senior Atjeng membedah Qosim Amin dalam kaca mata Sosiologi Ibn Khaldun. “membedah (pemikiran)Qosim tak bisa lepas dari kemerdekaan Mesir Atas Turki Utsmani di bawah kepemimpinan Ali Pasya dan lalu dilanjut putranya Ismail Pasya. Setelah Mesir Merdeka Ali Pasya mengadakan pemodernan dan leberasi secara besar-besaran dengan mengirim beberapa anak bangsa untuk belajar Ke Eropa dengan didampingi Ulama dengan maksud: meski sudah mencapai Ilmu setinggi langit tapi masih tetap memegang tradisi timur dengan keukeh; tak tercerabut dari tradisi. Selain itu, Ali dajn Ismail mengadakan pembangunan yang berkelanjutan. Mulai dari Infrastruktur, teknologi dan pola berfikir masyarakat. Nah, di masa Ismail, Qosim Amin adalah salah satu Anak bangsa menjadi proyek pembangunan-liberasi di Mesir yang dikirim ke Perancis.

Melalui Tahrir Al Mar`ah, menurut Senior Atjeng, Qosim ingin melihat perempuan negerinya, secanggih-secerdas perempuan Eropa, khususnya prancis. Di mana perempuan juga mempunyai peran penting dalam mengambil keputusan di dalam Rumah tangga dan estafet generasi bangsa secara Umum, melalui mendidik anak secara betul. Karena tidak melalui pertimbangan imbas sosial yang kurang matang, maka buku itu disempurnakan di tahun berikutnya: di Mar`ah al Jadîdah, papar senior Atjeng, dengan Harapan, sesuai pendapat rekan Irwan, menjadi perempuan yang matang, mental “baja” dan secerdas-secanggih perempuan-perempuan Eropa. Tapi kala berjalan tetep menunduk, senyum manis dikala di sapa dan Akhlaknya masih tetep berpegang pada Syariat Agama secara an sich.