Sunday, February 8, 2009

Komunikasi Aktif Rekan Baru Lakpesdam

Dealektika Akal-wahyu, Sufi pinggiran dan Feminis Terpasung;
Lima di dalam Satu (Rekan baru)

Lakpesdam, Sabtu( 15/11), menggelar kajian Reguler-nya. Kali ini, kajian hadir dengan format yang berbeda: Kritik atas Kritik Pemikir Kontemporer sebagai “mega proyek”, kali ini dijeda dengan adanya seleksi anggota ‘anyar’. Tak ayal jika pemateri, yang biasanya hanya satu orang, ini kali hadir dengan jumlah yang membengkak; lima orang.

Adalah Mey Rahmawati yang mengkaji feminisme; Nawal sa’dawy sebagai misal; Nur Fadlan dan Nova Burhanuddi mengkaji geliat sufi pinggiran (terpancung); Al-Hallaj dan Suhrawardi sebagai misal; dan terakhir, rekan Hadidul Fahmi dan Mulyadi dengan tema besar: dealektika akal dan wahyu dengan misal Hasan Basri. Dilakukan dalam waktu yang bersama, ini lebih terkait pada efesiensi waktu; selain ini memang tradisi.

“Kita sengaja mengadakan seleksi secara bersamaan, hal ini lebih dikarenakan guna efesiensi waktu dan tradisi Lakpesdam tahunan (dalam menyeleksi)”, ungkap rekan Irwan Masduqi (Koordinator 2008-2010). Terkait syarat yang diajukan dan prosedur yang harus dilalui untuk anggota (rekan baru) beliau berkata: “Awalnya kita undang mereka untuk hadir kajian, dengan tenggang waktu akan terlihat keaktifan dan komitmen mereka untuk mengikuti kajian; di sampang pola baca dan kualitas baca juga menjadi pertimbangan yang tak kalah penting. Kemudian, mereka kita minta untuk membuat makalah (seperti hari ini); mempresentasikannya. Jika mereka memenuhi standar, maka akan kita ikutkan dalam “mega proyek” dan menjadi anggota tetap. Sedang yang masih belum cukup, menjadi anggota tidak tetap.” Lanjutnya.

Pukul 17.00 kajian dimulai. Masing-masing presentator mendapat waktu sepuluh menit untuk mempresentasikan makalah. Riuh, meriah, mengalir renyah, dan tanpa mengurangi konsentrasi. Tentu tetap kondusif meski lima presentator sekaligus.

Kaum sufi, acap kali, paham yang ‘ambigu’ dan korban eksekusi penguasa lekat pada mereka. Al-Hallaj dan Suhrawardi al-Maqtul adalah bukti konkrit. ‘Wihdatul Wujud’, wacana yang cukup kontroversial kiat melakat al-Hallaj. Bahkan kuat dugaan, beliau telah menjadi inspirasi salah satu wali di tanah Jawa, Syech Lemah Abang. Pada narasi jalan hidup—Al-Hallaj dan Syech Siti Jenar— meski secara geografis berbeda, namun mirip dalam paham sufistik. “Pun akhir hidup keduanya yang bernasib sama; bahkan sebab-musabab Intiqôl-nya sama. Di pancung oleh penguasa kala itu.” Jelas Nur Fadlan dengan nada getir-mencekam.

Sementara mengenai Syekh al-Isyrâq, seorang sufi asal Persia ini, secara lebih dalam dikupas oleh Nova Burhanudin dalam makalahnya. Sufi bernama lengkap Syihabuddin Yahya Al- Suhrawardi al-Maqttul hidup di abad 6 H. Dengan mengakomodir segala macam aliran (filsafat), parepatetik an sich dan ‘gnostik an sich’, Suhrawardi berniat melestarikan pola pikir Filsafat yang didaku lebih ‘pas’ dan demi melanjut peradaban; khususnya “falsafî” (Henry Corbin; 303,1998). Kuat perkiraan, budaya falsafî berpindah ke Persia pasca wafatnya “Imam agung parepatetik” (Ibn Rusyd), di Andalusia. Namun dengan corak dan bentuk yang lain. Semula, Parepatetik yang berdasar pada akal an sich, setelah di tangan Suhrâwardi bercorak lebih akulturatif antara akal dan ‘hati’; lebih masyhur dengan paham Iluminasi. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu sebab pihak pemerintah pada masanya, Shalahuddin al-Ayuby, naik pitam. Jargon ‘paham sesat’ menyeruak-menghimpit. Dengan disertai dalih ‘ini-itu’ akhirnya beliau mati dengan misterius (dipantung, dibunuh di dalam penjara, atau bahkan dibakar).

Dialektika akal dan wahyu menjadi maklum dan ‘wajar’ di era sekarang. Apalagi, hal ini mempunyai akar sejarah yang kuat. Islam sebagai misal. Di era Nabi saw. memang semua keputusan sentris pada beliau. Ini wajar. Namun kalau kita tilik keputusan-keputusan yang diambil oleh Nabi, semua berdasar wahyu dan akal; serta kemaslahatan. Dilanjut, Khâlifah Umar ra., beliau pernah mengambil keputusan yang benar-benar melampaui teks (al-Qur’an). Yakni terkait had potong tangan pada pencuri dan pemberian Zakat pada Muallaf. Hal inilah yang kemudian menjadi dalih ‘akal’. Keputusan bisa diambil secara Rasional–kontekstual, selagi kemaslahatan tercapai; akhirnya hukum tidak hitam-putih.

Berjalan waktu, muncul berbagai aliran dalam tubuh Islam. Dalam Ilmu kalam: Muktazillah (Qadariyyah), Sunni, Syi’ah, Khawarij, Murji’ah (Jabariyyah), dll. Di bidang Fikih, muncul beberapa madzhab, di antaranya, Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hambaliyyah, dan Hanafiyyah. Begitu juga pada ranah filsafat, yang terpengaruh dari Yunani, akhirnya memunculkan aliran Masyriq dan Maghrib. Hal ini bukan menjadi batu sandungan, tapi justru memperkaya khasanah keilmuan Islam. Sebagai bukti bahwa kuasa akal tak layak, dan tidak pernah samasekali terjadi, ditunduk-bekukan di hadapan teks.

Semisal, Hasan al-Basri (Sunni), yang berselisih paham dengan rekan Muktazillah berkenaan dengan diskursus ‘Murtakib al-kabirah’. Memang terdapat interpreter yang berlainan dan akut. Bahkan, kala itu tidak ada kemungkinan toleransi satu sama lain; berakibat saling ‘klaim’. Bukan perbedaan yang kita ambil, melainkan semangat ijtihad dan semangat mendialogkan antara akal dan Wahyu secara maksimal; serta semangat menghormati perbedaan satu sama lain. Inilah kiranya kunci pokok untuk kita hidup di Zaman Postmodern, sekarang ini. (Hadidul Fahmi dan Mulyadi)

Isu terkini, ramai dan lagi hangat di bumi Arab: Feminisme. Nawal sa’dawi, untuk konteks sekarang, berada di garda depan; terkhusus di Mesir. Beliau yang nota-bene seorang Dokter, politikus, dan, juga penulis ulung. Esai-esai beliau memberi inspirasi, tersendiri bagi orang Mesir; khususnya perempuan. Dia meneruskan ‘mega proyek’ Bapak feminis, Qosim Amin: menyetarakan derajat perempuan baik di publik maupun di agama. Di depan Publik, niscaya, perempuan hadir dalam kancah politik, sebagai misal, dan bersejajar dengan laki-laki. Sedang di ranah agama (pemahaman agama), dia mengkampanyekan monogami, menolak kekerasan dalam rumah tangga, dan memberikan pendidikan layak bagi kaum perempuan.

Berat tentu guna meng-goal-kan proyeknya, semangat pembacaan kritis-rekontruksif—kalau perlu Dekontruksif— sejarah keagamaan, khususnya di era Risalah, adalah “harga mati”; ditempuh dengan pendekatan dealektika-materialistis. Ini terbukti bahwa dia merekontruksi kembali sejarah peradaban Mesir kuno, era Nabi: semua hadir hampir dengan wajah yang benar-benar berbeda. Sedang pendekatan yang diambil—dealektika-materialistis—terlihat dalam pola penulisan: melawan hegemoni pemerintahan dengan menampilkan ‘wacana pinggiran’ dan dalih Humaniora (kemanusiaan), diperkuat keterpengaruhannya, pada Jaques Lacan yang nota-bene-nya adalah pemikir Marxisme dalam ranah psikologi.

Akibat ‘ulah’ ini, Nawal merasakan ‘gelap’-nya penjara. Lebih lanjut, tulisan-tulisannya membuat geram—bahkan sempat keluar Issue ancaman untuk dibunuh— semua pihak, baik para perempuan Mesir yang shock culture, pemerintah, dan bahkan Ulama-ulama; Al-azhar khususnya. Kendati demikian bukan menjadi sandungan bagi Nawal, malah jadi ‘Cambuk’ tersendiri untuk menyebarkan ide-idenya. Hasilnya, kesetaraan gender di Arab, khususnya Mesir, sudah menampakkan ‘buah’.( Mey Rahmawati)

Setelah kelima rekan baru mempresentasikan makalah, moderator yang kali kesempatan ini dibawakan oleh saudara Nora Burhanuddin, mempersilakan rekan-rekan Lakpesdam untuk memberikan catatan—secara isi maupun teknis makalah, menambahkan dan, mungkin, ada yang menawarkan pembacaan ‘baru’; dengan tenggang waktu tujuh menit untuk setiap anggota.

Beberapa rangkuman kritis dari rekan-rekan: terkait fokusnya pembahasan, proses editing makalah, referensi dan beberapa catatan kecil yang menyertai. Makalah bagus kala pembahasan fokus serta pendekatan yang dipakai jelas. Semisal, dalam penulisan al-Hallaj, kita tidak bisa melihat mana yang fakta dan mitos. Di samping pendekatan yang di pakai masih kabur; makalah terlihat seperti cerpen. Itu misal-nya.

Di lain itu, proses Editing perlu ada perbaikan; memang dalam editing makalah penulis harus cermat, sabar dan teliti. Ini modal sekaligus tantangan yang harus dimiliki penulis. Di makalah rekan-rekan (baru) masih perlu banyak perbaikan. Di samping latihan se-sering mungkin menjadi “wajib ‘ain”, ini, harusnya, dilakukan secara otodidak dengan maksud menanamkan kemandirian dan, kemudian, mempunyai karakter tersendiri dalam menulis, selain tidak melulu bergantung pada Editor. Kemudian, hal-hal teknis perlu menjadi perhatian tersendiri: dalam menuliskan kata yang berimbuhan—antara yang dipisah dan digandeng— serta kata serapan yang di Indonesia-kan.

Perspektif, penting. Baik dalam pandangan dan konteks yang di alami: Pra syarat rasional-kontekstual. Ketika kita menuliskan sesuatu, apalagi konteks yang ditulis di zaman klasik, konteks ke-kinian urgensi tersendiri. Kita harus mampu menghadirkan nilai-nilai yang bisa dikembangkan untuk zaman sekarang. Misal, pola pandang Hasan Basri, mungkin, cocok kala itu. Sedang sekarang ada perubahan, ada paradigma penafsiran yang lain, ‘baru’, bahkan tidak-sama dengan penafsiran kala itu (terjadi proses melampaui). Guna mencapai ini, maka, teks (al-Qur’an dan al-Hadits) beserta tafsiran-tarsiran-nya harus ‘berpacaran’ dengan displin keilmuan Modern: sosiologi, antropologi, psikologi dan, barangkali, masih bejibun disiplin ilmu yang lain. Bukan untuk proses desakralisasi agama melainkan, agar, penafsiran-penafsiran agama itu kontekstual-rasional dan se-irama-mesra dengan zaman; saling keterkaitan.

Diskusi diberhentikan mengingat waktu yang cukup malam, sementara Rekanita Buuts putri juga harus pulang. Kemudian diteruskan beberapa kalam dari Koordinator (Irwan Masduqi): apakah hari ini diskusi terakhir, mengingat, PPMI sudah tutup kegiatan? Silaturahmi antar kawan diskusian harus lebih dierat! Dan administrasi uang Buku, harap segera dirapikan.

Untuk hari diskusi, setelah menimbang, memperhatikan, dan dengan diperkuat kesepakan rekan-rekan semua: diskusi terakhir besok, selasa 25 November 2008, dengan grand tema “kritik atas kritik Tafsir Muhammad Syahrur”. Kemudian guna melekat-eratkan silaturahmi antar anggota, Lakpesdam akan mengadakan Rihlah maktabah selepas ujian term I. Dan untuk Buku Lakspesdam, bagi rekan-rekan Masisir yang belum dapat, Insya Allah dalam minggu ini sudah bisa tersedia, dan bisa dibeli di sekretariat PCINU Mesir; karena ada cetakan II.

Diskusi berakhir pukul 20.30. bagi kawan yang “merokok” harap jangn tergesa-gesa meninggalkan sekretariat, karena ada titipan Rokok Indonesia dari Abah Robith Qosidi(koordinator Lakpesdam 2006-2007); gratis. Juga, minta do’anya, Insya Allah, sabtu(29/11), akan melangsungkan akad nikah. Semoga diberi kebahagiaan dan tertular pada kita semua kelak. Amien.


No comments: