Sunday, February 8, 2009

Mengkritik kritik Akal Islam Arkoun

Rabu, 05 November 2008, Lembaga Kajian Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) mengadakan kajian Reguler dalam mega proyek-nya “Kritik atas Kritik Nalar Islam”: dengan mengkaji para pemikir garda depan kontemporer kemudian dianalisa-dikritik dengan berbagai sudut pandang epistemik. Sebelumnya Lakpesdam mengkaji Kholil Abdul Karim, koordinator demisioner sebagai presentator, M. Mawhiburrahman, Lc, dikaji dalam sisi sejarah dengan pendekatan Dealektika Materialistis-Historis. Muhammad Said al-Asymawi, teh Nikmatul azizah sebagai pengkaji-nya, mencoba menilik konsepsi dan(atau) analisa Politik Asymawi, terkenal dengan pemikir sekuler Mesir, menggunakan pisau analisa Filologi-linguistik dalam timbangan nalar yurisprudensi Islam. Lah, kali ini urut ketiga kajian lakpesdam dalam “mega proyek”-nya, mengkaji M. Arkoun, tema besarnya “Kritik Atas Kritik Akal Islam; kecacatan Epistemologi Muhammad Arkoun”, Faiq Ihsan Anshori sebagai presentator, bertempat di sekretariat PCINU Mesir, Bawabah II.

Kajian dimulai pukul 15.45, moderator kali ini, Saudara Irwan Masduqi— Koordinator 2008-2010—memberi gambaran global terkait dengan Arkoun, sebelum kawan Faiq presentasi. Arkoun pemikir prolefik, juga menjadi kiblat pemikir “Liberal”, terkhusus Indonesia. Kumandang Ijtihad paling “anyar” dan pembacaan Al-Qur’an dengan semangat “kebebasan” slogan maklum, tak asing, terdengar dari Arkoun. Tapi tak adil, mungkin juga, tak pas kalau kita membaca Arkoun hanya dengan se-potong-potong, hanya berkutat kumandang pembaharuan dan Ijtihad tanpa memahami-nya secara proposional; mengambil nilai manfaat-nya secara selektif-rasional. Jika pra-syarat ini tak terpenuhi tak ayal, bukan pembaharuan dan segudang slogan menyoal hal ‘tadi’ terimplementasi, malah akan tercipta “taklid baru”. Biar lebih jelas-lugasnya, tanpa berbasa-basi lama akhi Irwan mempersilakan kawan Faiq mempresentasikan makalahnya; dengan durasi waktu tiga puluh(30) menit.

Di awal presentasi, kawan Faiq share kesan membaca Arkoun, hanya kata ini yang tepat bisa mewakili, “jatuh Cinta”; meski rumit di bahasa tak jadi kendala berarti. Karena kita akan dikenalkan, ditawari bejibun metode “ayar” dari Barat, dengan tanpa selektif melihat madzhab pemikiran, diperlihatkan begitu besar-kaya khasanah Islam dipandang dengan sudut pandang yang lebih pas, setidaknya menurut Arkoun, dengan maksud agar Islam bisa “berjalan seiring dengan Zaman” dan tidak lekang dari “masa”.

Guna meng-goal-kan maksud baiknya Arkoun mengenalkan Proyek: “Kritik Nalar Islam”, dengan meminjam seperangkat “alat pendekatan” dari barat: Historis dan Antropologis(Humaniora); lingustis, semiotika dan sastra; tafsir Logika-leksiografis; dan terakhir tafsir Ideologi-teologis keimanan, untuk kemudian diterapkan dalam wilayah kajian ke-Islaman(Arkoun: 2001). Maka tak aneh jika dia banyak terpengaruh para pemikir barat semisal, De Sausure(linguistic), Levi Strauss(Antropologi), Lacan(psikologi-strukturalis), Foucault(Epistemologi), Gaston Bachelard(strukturalis), Jurgen Habermas(post-marxisme), Derrida (post-modernisme) dan masih bejibun pemikir yang memberi warna dengan ciri khas masing-masing pada-nya.

Dalam “mega proyek”-nya, semangat dekontruksi terlihat dominan, membongkar nalar dogmatis dan Ortodoks dalam agama (Islam;red) dengan jalan menggagas Islamologi Aplikatif: membangun ulang pola baca terhadap turats Islam(Al-Qur`an, Hadits—teks primer—, dan teks-teks keagamaan—teks sekunder). Ia harus dibaca secara kontekstual dan rasional; turats penting diguna untuk “bercermin” dengan maksud menemukan problem solving namun tak berlaku untuk diikuti; hanya jadi pijakan. Lalu, secara epistemik, Arkoun menawarkan, mengikut Foucault, memperluas nalar “yang tak terpikirkan” menjadi nalar “yang terpikirkan”, ini konsekuensi logis di era kontemparer.

Yang menarik, Arkoun, meski banyak mem-bebek ke Barat tapi tak jarang Ia mengkritik para orientalis abad 19. Mereka, menurut Arkoun, dalam membaca Islam hanya berhenti pada Metodologi antropologi, Filologi dan historisisme klasik; dan enggan berkiblat pada metode yang ter-anyar. Sehingga berimplikasi Islam tampak kering dan tak ‘nongol’ ruh progresifnya. Maka tak ayal, dalam kajian Al-Qur`an misalnya, hanya Noldekh yang dia anggap representatif.

Kendati demikian Arkoun bukan “malaikat” yang suci dari kritik, bebas dari cibiran.Bejibun juga kritik yang disematkan padanya. Diantaranya: Retakan Epistemologi dengan bukti terlalu gampang “melompat” untuk metode pendekatan yang dia pakai; akhirnya terlalu semena-mena dalam menggunakan metode, fatalnya menyalahi logika metodologi itu sendiri. Ini kritik paling tajam dan mendasar, di samping itu juga minim akurat dalam referensi; masih ambigu dalam hal mana Objek kajian dan subjek kajian dan juga bias kepentingan Ideologis. Kritikkan ini terlontar dari beberapa pemikir juga: Ali harb, Mukhtar al-Fajjari dan Ron Helber.

Setelah kawan Faiq selesai presentasi, moderator langsung mempersilakan kawan diskusian mengemukakan Argument hasil bacaan masing-masing; sehingga nampak lebih dialogis. Dari kawan-kawan: Arkoun harus dibaca secara termat dan proposional. Hal ini terbukti selektif-nya Arkoun ketika membaca dan mengkaji dialog antar agama, maka dia menggunakan sosiologi epistemik: bahwa setiap agama ada unsur kesamaan dan bisa di dialogkan dengan berdasar asas toleransi dengan melepas untuk saling meng-klaim terhadap kebenaran Mutlak. Sedang inter-agama(Islam; red), Ketika ia ingin mendamaikan Akal Syi’ah, Sunni, dan Muktazilah, misal dalam hal mitos, Arkoun menawarkan antropologi sebagai metode pendekatan: bahwa setiap mitos harus dilihat dari manfaat yang dimunculkan pada masyarakat, bukan dari rasional atau irrasional-kah mitos itu.

Kemudian, gugatan atau, mungkin, pertanyaan, sah tidak-nya seorang pemikir “lompat” metodelogi (?) di sisi lain juga banyak kawan yang mencoba mendekati Arkoun dengan Hermeneutika, pun ada yang menggugat metode yang digunakan: relativisme adalah suatu metode yang men-dewakan sikap destruktif; anti pada kemapanan. Sehingga diskusi tambah “hangat” sehingga mengharuskan ada sesi ke-dua.

Dalam kalam akhir-nya, kawan Faiq menjawab gugatan, hasil bacaan dan beberapa ide yang sekiranya menambah, menguatkan dan mungkin ada yang, barangkali, baru. Dan sekedar info, meski istilah “liberal” disematkan pada-nya, tapi ia seorang yang religius dan komitmen pada Agama yang ia anut; dengan bukti Naz`ah Al-Ansanah Fî al-Fikr al-Arâbiy, sebagai respon positif terkait issue yang marak berkembang seputar humanisme, pluralisme dan counter terhadap tuduhan yang ditunjukkan kepada Islam; teroris.

Setelah berakhir, kawan Lakpesdam tidak langsung selesai, tapi kemudian rapat sebentar seputar buku yang baru terbit. Penertiban administrasi, rencana launching dan penambahan cetak buku menjadi agenda utama rapat. Dilanjut pembagian tugas diskusi untuk mendatang, insya Allah, akan mengkaji tema: Sufi-sufi yang terpancung dan relasi akal dan wahyu, Muktazilah sebagai misal. Kawan-kawan baru pengkajinya (15/11/08).

Ketika, Saudara Irwan Masduqi(Koordinator) ditanya bagaimana diskusi regular kali ini? “Diskusi hari ini alhamdulillah lancar, kondusif dan kawan-kawan pro-aktif, kendati demikian masih ada sana sini yang perlu dibenahi, semisal bacaan yang lebih mendalam, pembelajaran analisa yang sekiranya kunci pokok dalam “mega proyek” ini sehingga ketika mengkritik tak berhenti pada perangkat analisa dan “subjek kritik”, melainkan melesak masuk pada “jantung” yang harus dikritik; maka diskusi tak hanya berhenti pada sesi kedua, barangkali, akan ada sesi ke-empat” katanya.



No comments: