Saturday, January 24, 2009

Sekelumit Bingkisan Opini Tentang Ulang-Tahun;

Spesial Untuk Alfien Qorrina, Sebermula-Seberhingga


Lahir —kata ini saya khususkan pada manusia; bukan yang lain—suatu kata yang penuh misteri. Kata itu yang tak jarang, kita harus merenung. Dengan awal kata Tanya, untuk apa kita lahir? Dan kenapa kita harus dilahirkan? Atau kita lahir tak lain hanya hasil dari syahwat baik yang berlindung di-legalitas agama(baca; pernikahan), bahkan tak jarang untuk sebuah proses “kolonialisme agama”; re-generasi, atau dengan ketidaksengajaan; “kecelakaan” dalam bahasa saya. Dan mungkin banyak kata “atau “ lain, dalam bahasa arab “law”, yang bisa kita, barangkali, seharusnya, lontarkan secara verbal melingkup jadi sebuah Tanya? Syahdan, semua tak ada jawaban konkrit-pasti-memuaskan selain “syukuri aja” !!! Lalu lakukan sesuatu untuk hidup, menurut Chairil Anwar, “sekali Hidup berarti kemudian Mati”. Pun Fals menyambut dengan bahasa, “sekali ‘Hidup’ tak mau Mati dengan Keraguan”. Betul.

Ulang Tahun, menurut aku, adalah sebuah istilah, gabungan dari dua kata, atau pengulangan makna dari sebuah kata:‘lahir’. Secara literal mungkin itu. Tegasnya sebuah repetitif dari makna kata, lahir, dan itu akan datang setiap tahun; kemudian dikenal dengan lebih familiar dengan Istilah ‘Ulang tahun’. Kata itu tindak lanjut dari jawaban yang harus diterima tadi, ‘syukuri aja’, meski Ber-syukur itu bisa kapan saja; setiap saat. Namun, setidaknya, menurut Gunawan Muhammad (GM) dan Pramoedya Ananta Toer, di hari ini: ulang tahun, di saat inilah kita harus sadar untuk membuat revolusi. Revolusi pada diri sendiri. Revolusi adalah “menjebol” dan “membangun”. Menjebol kolonialisme Jiwa: borok, dosa dalam bahasa Islam, kemudian “membangun” di “hari ini” dan kemudian yang terbaik; terbaik untuk kita persembahkan pada hidup. Khususnya “Revolusi Jiwa”. Jika GM dan Pram membuat misal, diwaktu hari kemerdekaan, 17 Agustus 1945, adalah “revolusi besar Jiwa—dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa yang merdeka…” . Meski sering di-tikam ‘cinta’ dan dilempar ‘badai’, bahasa Fals, yang kemudian mengakibatkan ‘keterasingan’; namun harus tetap berdiri.

Sedikit tentang aku dan dia; Alfien Qorrina. Entah kata Alfien Qorrina itu “nama pena” atau identitas dia, sebuah nama, katakanlah, yang mempunyai filosofi ‘penting’ kemudian dijadikan standart minimal dalam hidup; aku tak tahu. Sungguh. Dan aku tak perlu menanyakan itu, karena itu privasi dia —sebagai yang mempunyai hak cipta—dan orang tuanya; yang mencipta nama itu.

Ternyata dia, perempuan yang yang aku kenal secara ‘jelas’ dan ‘bernas’ pada 8 Agustus kemarin—meski sebelumnya sempat kenalan; dan aku lupa—; meski hanya lewat chating. Dan itu pun tak ada kesengajaan, kemarin itu hari jadinya. Tepat 24 Oktober 2008, dua puluh dua tahun (red;22) setelah kelahiran-nya; aku pun baru tahu saat itu, kemarin; bahkan tulisan ini terlambat aku kirim sesuai permintaan dan janji aku. Jika ayah Rangga (dalam film AADC, ada apa dengan cinta?) memuji Cinta dengan nama yang bagus, Izinkan aku, penulis, memuji yang berkaitan dengan angka, bulan dan tahun lahir kamu; meski meleset.

Dua puluh empat (24; red) suatu angka yang bagus, meski orang tua-mu tak pernah menginginkannya, tapi pasti ada ‘tanda’-nya; minimal kata Derrida dari Prancis dan Nasir Hamid Abu Zaid dari Mesir. Dari itu, kamu diharapkan menjadi angka ‘dua’ disitu; bukan empat. Hal ini dikarenakan pemilik hak cipta pasti yang lebih diunggulkan, maka bukan angka empat. Terkait perempuan keadaan biologis yang kamu punya. Kamu adalah, dalam fikih klasik, pemilik saham separuh dari laki-laki. Dan angka empat untuk sang suami. Keputusan itu konon karena, dulu, sang perempuan itu tidak mempunyai, atau, dan dengan sengaja tidak diberi hak. Kemudian Islam datang untuk memberikan hak untuk-nya, perempuan; kaum Hawa. Lihat angka dua berada di depan. Jadi dapat ambil konklusi, meski serampangan, yang mungkin bisa dikatakan benar untuk saat ini, yang paling aktual, meski di fikih klasik bahkan mungkin Zaman Nabi sekalipun perempuan itu mempunyai hak separo dibanding laki-laki, suaminya, tapi untuk saat ini pendapat itu harus ada kontruksi, persamaan jadi niscaya. Dan kelahiran kamu menjadi salah satu indikasi itu. Dan ‘Aura’ itu ada padamu; Alfien Qorrina.

Lalu, angka sepuluh (10;red) yang tertera di sana: bulan lahir kamu, tertanda angka yang sempurna; angka sepuluh. Angka yang tidak pernah diperbolehkan untuk diberikan pada manusia, jika itu mengisyaratkan sempurna, tapi itu tertunjuk bahwa kamu merupakan salah satu dari sekian banyak perempuan yang mendekati itu, sempurna—untuk tidak menuliskan sempurna secara langsung maka menggunakan “mendekati”. Lha, kesempurnaan itu akan tercermin jikalau, salah satunya, unsur dua puluh empat jadi renungan tersendiri, bagi-mu. Yang akhirnya tercipta ke-mandiri-an dan ‘berani’. Kemudian diperkuat dan di-akid-kan dengan angka 1986, coba dijumlahkan; akan menghasilkan angka dua puluh empat, angka lahir kamu. Apalagi angka dua terletak di depan, sebuah tanda ter-sendiri. Sungguh.

Tapi ‘tanda’ tak akan menghasilkan apa-apa, jika tanpa usaha dan kesadaran untuk memahami itu, kemudian melaksanakan itu. Sedikit menyetir lirik Fals dalam lagu yang berjudul ‘Paman Doblang’: Kesadaran adalah Matahari; Kesabaran adalah Bumi; Perjuangan menjadi Cakrawala; dan Keberanian adalah Pelaksanaan kata-kata. Suatu lirik yang menjadi sihir ‘perubahan’ kala itu, khususnya OI(Orang Fals, yang setelah reformasi diganti “Orang Indonesia”; Organisasi pengagum Fals). Di tahun kemudian di-akid-kan Ahmad Dhani, dalam liriknya, Hidup adalah perjuangan tanpa henti-henti, dan kita hidup, tercipta untuk “Menang”. Menang dalam arti luas-universal. Tentu.

Sedikit berbincang, tentang seorang hawa, Margaret Anderson, misalnya. Ia lahir pada 1886 di Indianapolis, Amerika Serikat, di sebuah keluarga yang berada, dengan seorang ibu yang hampir setiap tahun tergerak untuk pindah ke rumah baru—dengan mebel, taplak, gorden, dan lukisan dinding baru. Ia inspirator, di hari kemudian, bagi R.A. Kartini, Fatimah Mernisi di Maroko, Irsad manji, Nawal Sa’dawi di Mesir dan mungkin seperti ibu Sri Mulyani dan Ibu Miranda Goltoem; yang sempat dulu kamu kagumi, jadi obsesi kamu. Iya-kan?

Dalam keresahannya, ia selalu mencipta yang baru, untuk perubahan peradaban; peradaban yang lebih ber-adab. Hal ini yang juga pernah diserukan oleh salah satu Sultan dari Nga-Yogjokarto, Ki Ageng Suryomentaram, berpunya gelar, Bendara Pangeran Harya Suryomentaram, meski dia tak pernah diterima dan minta gelar itu dicopot.
Dalam bahasa Jawa ada dua kata yang hampir mirip, milik dan mélik. Yang pertama berarti ”punya” atau ”harta”. Yang kedua berarti ”keinginan yang cemburu untuk mendapatkan sesuatu”. Dan manusia selama dia hidup, yang dilihat oleh Sultan, hanya berebut dua kata itu; hanya itu. Kadang-kadang satu, tidak jarang sekaligus. Itu tercermin dengan jelas pada akhir-akhir ini, jikalau “kita” berjalan-jalan di Sudirman Business District Jakarta, antara pacific Place yang memamerkan benda-benda mentereng dan ruang BEJ di mana harga saham rontok-tok, para pemilik panik, dan langit-langitnya bergaung rasa cemas. Betapa semua manusia hanya bersibuki akan itu. Maka tak salah jika sang sultan “pernah” ber-seru tidak pernah aku “bertemu manusia”. Lalu diteruskan, oleh Ki Ageng: ”Yang menangis adalah yang berpunya. Yang berpunya adalah yang kehilangan. Yang kehilangan adalah mereka yang ingin.” Ada yang patologis dalam gejala itu. Kita hidup dengan ”pleonoxia”, penyakit jiwa yang didera keinginan segera mendapatkan lagi, lagi, lebih, lebih.
Dan itu juga dirasa Margaret, hidup yang penuh dengan keresahan, yang selalu berjalan dengan memegang semangat, untuk perubahan. Seperti aku tulis di atas. Kemudian layak disimak kata-kata dia; dan mungkin juga perlu direnungkan: Pada suatu malam, ketika aku berumur 21 tahun, setelah seharian merasa murung, aku terbangun dari tidur. ”Pikiran persis pertama: aku tahu kenapa aku murung,” demikianlah tulisnya, mengenang. ”Tak ada yang bersemangat yang terjadi—nothing inspired is going on. Kedua: aku menuntut hidup harus bersemangat tiap saat. Ketiga: satu-satunya cara untuk menjamin itu adalah mendapatkan percakapan yang bersemangat tiap saat. Keempat: kebanyakan orang tak bisa jauh dalam percakapan….”
Akhirnya kelima: ”Kalau aku punya sebuah majalah, aku akan dapat mengisi waktu dengan percakapan yang terbagus yang bisa disajikan dunia….”
Syahdan, pada umur 28 tahun, ketika ia sudah lumayan dikenal sebagai penulis resensi buku di beberapa media, di Chicago, Margaret menerbitkan majalah The Little Review. ”Omong-omong tentang seni”, itulah semboyannya. Meski perjalanan-dia tidak mulus, bergejolak-berliku. Tak jarang harus mengetik di tenda yang dia bangun di pinggir jembatan. Lari ke Eropa karena di usir; Inggris tujuan. Dengan semangat !!

---***---

Sirkulasi memang tidak jejeg. Ada liku, ada rintangan; tak jarang penderitaan. Kadang idealisme yang kita rumuskan awal-awal harus me-nego keadaan, berbagai kepentingan. Skala yang bukan prioritas pun muncul tanpa kehendak. Dan itu wajar. Bukan “itu” yang jadi masalah jikalau yang tertera, tertulis tadi; Revolusi itu jadi inspirasi. Dan saat ini, di hari kamu, ulang tahun kamu, seorang Alfien Qorrina mengadakan ritual Instropeksi dan konsekuen dengan hasil-nya. Mungkin salah satu solusi. Jangan sampai lalu lalang dengan begitu aja “hari jadi” ini.
Dan itu, itu semua, kamu punya kemampuan. Sesosok Alfien yang supel, terbuka, dan jujur; setidaknya begini yang aku kenal sampai sekarang. Hawa yang lain, punya nadi spesial diantara sesama kaum kamu, aku kenal mulai dengan kamu ‘takut’ dan aku ceroboh. Kita yang berkenalan dan sekarang akrab, berbicara mulai dari ‘warna putih’ sampai ‘abu-abu’; terakhir kemarin. Potensi itu ada padamu. Potensi untuk me-Revolusi diri. Potensi untuk melakukan perubahan. “Membongkar” dan “membangun”. Dan tentu sesuai prinsip-prinsip di atas, kalau sesuai, jika tidak silakan kamu mem-formulasi yang lebih baik dan bijak. Sesuai dengan konsepsi khiyaliy dan prinsip “Hidup kamu”. Yang riil dan konkrit. Sekiranya mampu; kamu.
Kesengajaan yang mendasar aku, penulis, mulai dengan pemaparan istilah—lahir dan ulang tahun—, kemudian aku dekati angka lahir kamu, diteruskan tokoh yang aku setir itu familiar di Indo,—termasuk Sultan Jogja dan tokoh feminis— bukan untuk apa dan siapa tapi hanya untuk, dengan harap,empati-simpati yang mendalam muncul dan terealisasi pada diri kamu. Semua ini hanya Untuk kamu. Hanya kamu. Bukan dia, bukan yang lain.
Akhirnya, di akhir tulisan ini. Selamat Ulang tahun; Meski ada ‘pihak’ yang berkata bid’ah untuk kata ini, tuduhan, itu ‘budaya lain’, tuduhan kolonalisasi agama juga tak jarang di sini; maklum adanya. Dealiketika antar Agama kurang wajar pada hal ini juga tak jarang. Namun bukan hal sulit bagiku; mungkin bukan hanya bagiku, mengucarakan ini tanpa ada “rikuh” pada agama, dan asing pada budaya kita. Semoga apa yang telah di-konsepsikan bisa Ter-Realisasi. Aktivitas kamu yang, katanya kemarin membosenkan, bisa lebih baik; secara psikis dan nyata. Keterasingan kamu bisa terobati. Lalu fokus kamu, skripsi, bisa cepat kelar tanpa ‘mengorbankan’ yang lain. Maka, menurut Nietzsche,” jika kamu haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, percayalah” !!! bukan-kah begitu wahai kau yang tak bisa cukup di-makna-kan, diartikulasikan dengan semua kata dan istilah; Alfien ? Dengan Kunci: Diam, Berfikir dan kemudian Bergerak. Pergumulan pada zaman harus terus berjalan, berjalan dan terus...., dan tentu Pra-syarat: Kesadaran, kesabaran, keberanian dan perjuangan dengan titik konklusi semangat dan terus-menerus; kantinyu. Bukankah begitu wahai kasih-ku (?)



No comments: