Saturday, January 24, 2009

Aksioma Dogmatis Peradaban Islam

I
Panji yang diusung oleh Nabi Muhammad Saw. sebagai antitesa paganisme Arab pada pertengahan abad ke-7 M, telah menjadi tonggak sejarah baru peradaban manusia. Berbekal wahyu Tuhan dan dengan penuh kesabaran, Islam pun kemudian mendapatkan empati dari dunia yang kelak tumbuh menjadi salah satu peradaban besar dunia di samping peradaban-peradaban kuno lainnya, seperti Mesir, Romawi, Persia, dan Yunani

Dalam pendeklarasian itu—dalam proses pengenalan kemodern-an yang terjadi dari, dan dalam sistem masyarakat yang fragmentatif, monolitik dan nomadis—ketakjuban dari sejumlah peradaban kuno itu muncul. Barangkali, sebagai ancaman bahkan sebagai mimpi buruk dalam tidur nyenyak yang tak pernah bisa terbangun. Karena munculnya sistem peradaban baru itu, tentu menyita sedikit-banyak perhatian sebagai kekuatan yang bisa melumat. Bagi sejumlah penganut kepercayaan yang masih bersifat minoritas, tentunya Islam adalah sebuah identifikasi baru yang muncul dari pemantapan estafeta sejarah agama-agama semitis yang telah lekang oleh pengalaman-pengalaman manusia dengan sistem sosial dan kecenderungan kosmis; dipandang “aneh” oleh perkembangan kala itu. Dengan demikian, bagi agama baru itu, proses yang terjadi merupakan berkah terutama bagi orang dan kabilah yang sederhana dan sama sekali belum pernah mengalami peradaban besar.

Maka proses identifikasi dimantapkan dengan sejumlah kecenderungan dan konsekuensi yang terpusat pada pembentukan peradaban yang kuat; terjadi proses epitemifikasi atas sejumlah “kecenderungan ilmiah” yang menopang wujud peradaban Islam. Kaum rasionalis Muslim membentuk ‘Teologi Rasionalis’; mereka yang tekun menganalisa praktek-praktek ritual pada akhirnya mengkonsep sistem ‘Fiqh’, berikut landasan perumusannya kemudian disebut ‘Ushul Fiqh’; para pertapa yang shaleh mengkonsep bagaimana merindukan Tuhan; para pendidik sadar bahwa harus ada konsep etik perihal agama Islam yang dianut; konsep kenegaraan harus ditopang oleh rumusan sistem politik yang kuat dan Islami.


II
Sejarah Islam adalah sejarah konflik. Keberlangsungan Islam didirikan di atas konflik yang berorientasi pada politik. Pasca-mangkatnya Nabi Muhammad Saw., umat Islam mengalami kegamangan dan krisis identitas. Sebuah tuntuntan sosok pemimpin ideal, kemudian disebut “Khilafah” atau “Imamah”, yang bisa dijadikan tauladan dan pengayom agar kegamangan cepat kabur, dan keberagaman umat yang relatif masih “hijau” bisa menjadi stabil kembali terjaga. Walaupun pemimpin yang diidam-idamkan telah terpilih dan estafeta al-Khulafâ’ al-Râsyidûn berlangsung, namun susah untuk menemukan kata sepakat. Fanatisme golongan yang mentradisi sebelum datangnya Islam mencuat kembali kepermukaan, serupa ‘vampir’ yang baru bangun dari kubur. Memuaskan seluruh golongan adalah target yang mustahil direngkuh. Maka tak heran bila dikatakan bahwa sejarah Islam adalah sejarah konflik.

Pemerintahan Muawiyyah adalah bukti nyata kembalinya sistem geneologikal politik, di mana pemimpin dipilih atas dasar keturunan. Al-Baghdadi dalam bukunya, “Ahâdîts al-Dîn wa al-Dunyâ”, mengatakan bahwa sistem monarki absolut yang diterapkan Muawiyyah merupakan hasil adopsi dari kerajaan Romawi. Sebuah wacana politik yang sama sekali tidak dikenalkan oleh Nabi. Namun kemudian dinasti Abassiyah sampai sekarang—seperti Arab Saudi masih menerapkan sistem serupa—berjalan seolah menawarkan asumsi bahwa di dalam teks agama (baca;Islam) tidak pernah ada konsepsi kekuasaan politik yang bisa dikatakan memadai.

Kepemimpinan adalah isu sentral dalam konstelasi politik, praktis atau teoritis. Dalam tradisi Islam, para ulama klasik dari semua sekte memperdebatkan kepemimpinan secara sungguh-sungguh. Bahkan, wacana ini masuk ke dalam kajian teologi dan yurisprudensi, dengan standarisasi dan kriteria masing-masing sekte. Mayoritas sekte sepakat bahwa pengangkatan pemimpin, yang kemudian disebut imamah atau khilafah hukumnya wajib. Bahkan sekte Syi’ah lebih radikal; kepemimpinan termasuk salah satu fondasi keimanan (rukn min arkân al-îmân) bukan sekedar wajib.

Selain itu, diskursus kepemimpinan yang lebih bersifat eksklusif-determinis dalam lokus teologi telah melahirkan konservatisme perspektif. Bukan hanya konsep ketaatan, bahkan mekanisme pengangkatan pemimpin pun mayoritas sekte sepakat melalui pembai’atan, kecuali sekte Syi’ah yang mempunyai pandangan lain, bahwa pemimpin harus dengan pernyataan tertulis dari Nabi Muhammad Saw..

Islam atau agama lain bukanlah faktor dominan guna menata bangsa dan negara. Ia hanya menjadi kolega atau kawan karib bagi koleganya. Jika agama mendominasi, yang ditakutkan adalah politisasi Islam atau Islamisasi politik. Relevansi antara agama dan negara seakan-akan hanyalah angan-angan utopis yang kemudian menjadi benih dikotomisasi yang skeptis. Perjalanan peradaban tak henti terhadang perseteruan keduanya itu. Maka, benar bahwa sejarah Islam adalah sejarah konflik dimana pergeseran-pergeseran mengurangi integralitas sebuah sistem.

Di masa klasik, patuh terhadap pemimpin laksana patuh terhadap Tuhan dan rasul-Nya. Pemimpin dianggap sebagai ‘bayangan Tuhan’ di bumi. Tetapi di masa sekarang, patuh terhadap pemimpin laiknya patuh terhadap undang-undang dan mekanisme hukum yang telah ditetapkan melalui kesepakatan bersama sebagai wujud dari—meminjam istilah J.J. Rousseau—kontrak sosial.

Penafsiran tekstual atas ayat tentang ketaatan terhadap pemimpin (QS. al-Nisâ`:59), yang secara frontal mematikan intelektualitas dan politik sebagai terma yang memiliki signifikansi dalam alur sejarah memberikan noda hitam peradaban. Sebuah wacana yang bertentangan dengan pondasi sebuah masyarakat madani sebagai pengusung kebebasan. Upaya rekonsiliasi persepsi kemudian ditawarkan ulama klasik ketika memberi batasan tentang ‘ketaatan’ dengan mengatakan: ”Tidak boleh taat atau patuh kepada makhluk (manusia) dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta” (la thâ’ata li makhluqin ‘alâ ma’shyiah al-Khâliq). Batasan ini meniscayakan untuk berfikir kritis dalam menjalankan aktivitas kepatuhan. Meskipun cukup ambigu jika dikaitkan dengan konsep dasar atau undang-undang sebuah negara.

“Pemimpin harus ada meskipun lalim. Pemimpin yang lalim lebih baik dari pada tidak ada sama sekali.”

Dari uraian di atas, bisa disimpulkan di kalangan ulama klasik ada dua pandangan yang kontradiktif. Hal ini berawal dari dua paradigma yang ingin dicapai oleh mereka, yang kemudian berujung kepada “kebingungan” di ranah epistemologinya. Di satu sisi, memakai paradigma idealis, di mana gugusan tindakan seperti kepatuhan harus selaras dengan proyeksi transedental yang berlanjut secara universal, masuk pada yang dikehendaki Tuhan, mereka menganggap apa yang mereka lakukan harus sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki.

Di lain sisi, menggunakan paradigma pragmatis-realistis, realitas politik adalah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam melangkah dan bersikap. Betapa pun naifnya membutuhkan sosok pemimpin meski pun ‘brengsek’, demi menghindari malapetaka dan kacau balau. Pandangan pragmatis ini adalah suatu bentuk persetujuan terhadap tersebarnya ranjau atau pagar “dogmatis-eksklusif” yang bertahan hingga sekarang, dan inilah yang harus kita tentang, lantaran mengabadikan kediktatoran (istibdâdiyyah).

Bisa jadi kepatuhan kepada setiap bentuk pemerintahan yang dibayangkan oleh ulama klasik dengan sedemikian rancunya, bukan lagi menjadi permasalahan syar’i yang vital. Melainkan, sebenarnya, sebagai kebutuhan natural manusia kepada sebuah aturan atau undang-undang.


III
Saat ini agama Islam berusia kurang lebih 15 abad. Ini bukan usia yang pendek, dalam rentan waktu yang panjang itu banyak pengalaman dilalui; pengalaman bergumul dengan realitas. Menelisik titik singkron antara teks agama dan realitas alam tidaklah mudah, sebab agama akan terasa asing kalau dimasukan ke alam realita, begitu juga sebaliknya. Dan ternyata realita praksis lebih dominan meraup perhatian umat dibandingkan dengan ketergantungan terhadap teks.

Sebagai sebuah diskursus yang spektakuler, agama masih mandul aplikasi. Dalam artian, teks agama yang bersifat immanen tidak bisa memenuhi kebutuhan alam realita yang dinamis, ruang dan waktu. Inilah yang mengakibatkan terasingnya realitas dari hukum-hukum atau nilai-nilai yang terkandung dalam teks agama, banyak dari kita yang tidak tahu atau tidak mau tahu tentang kenyataan itu.

Konstruk masyarakat madani yang meletakan pluralisme dan demokratisme menjadi salah satu ideologi dasar, menuntut adanya koherensi yang dinamis antara teks-teks agama dan arus realita praksis. Hal ini dengan serta merta mengukir toleransi sebagai corak sikap masyarakat madani.

“Setiap manusia tidak mungkin tidak membutuhkan akal dan setiap manusia sanggup tetap hidup tanpa agama. Kehidupan tanpa agama akan terus berjalan, mustahil kehidupan berjalan jika tanpa akal.” (al-Baghdadi, 2005)

Menurut hemat saya, pernyataan di atas merupakan bentuk keprihatinan, betapa agama oleh kaum revivalis telah diperlakukan dengan sangat literalis. Di samping para ulama fiqh lebih sering menyikapi permasalahan secara hitam-putih. Akhirnya agama menjadi sejenis makhluk asing dari lingkungannya, Islam asing di rumahnya sendiri.

Konklusi sementara dari gerak temporalis peradaban adalah, bahwa adanya dimensi kontradiktif merupakan tempat kumuh yang menjepit umat Islam, di mana keduanya mengarah pada suatu yang disebut “scizovrenia” (infishâm al-Syakhshiyyah), yaitu sebuah gejala penyakit jiwa sejenis paradoksalitas kepribadian, kontradiksi antara realita sosial dan pemikiran (Nasr Hamid Abu Zaid, 2000).




No comments: