Monday, May 4, 2009

Konstelasi Politik Memanas, aku Curhat (?)


Aku Bicara(Politik) “Pada Kau yang di sana itu”

Sudah sejak kemarin, saya menjalin komunikasi-awas mengamati perkembang politik, dan, sebenarnya, ingin sekali menoreh-tuliskan hasil seklumit dari pandangan saya atas terjadinya fenomena-fenomena yang tak jarang mengagetkan, buat takjub dan, kadang kala, saya harus berani berkata: itu meng-getir-kan dan seharusnya tak terjadi; tapi baru sekarang aku menulis, meski tak bagus. Kalau saya tak salah, sepertinya sudah lebih dari tiga kali(melalui pesan singkat dengan media maya yang paling populer), saya berkomukasi dengan pengamat Politik ke-indonesiaan, masih dalam skala Masisir(Mahasiswa Indonesia di Mesir); tapi, harus saya akui Ia garda depan dalam hal ini. Sungguh?

Mulai dari friksi yang sepele: tanya kabar, dan saling tukar informasi biasa, tanya tokoh politisi yang dikagumi. Sampai, friksi yang berskala nasional(dalam kancah politik): cerai SBY dan JK; JK dan Win mendeklarasikan diri; dan Mega Hampir tak bisa maju sebagai Capres; Koalisi “Jumbo dan padat” dan beberapa friksi yang sebenarnya tak ada problem bagi kami berdua jika tak membahas, tapi dengan gagah(tapi tak angkuh-sombong)-meski sedikit “getir-dredeg” tetap melaju dengan santai dalam membahasnya itu. Bukan untuk apa dan siapa, tapi lebih karena kepuasan Hobi dan, barangkali, kecenderungan yang hampir sama.

Setelah berkutat pada pembahasan sengit berkait partai yang selalu mengatasnamakan kepentingan rakyat—ada yang menggunakan bahasa: “kepentingan yang lebih besar”, Hajat-haarapan Rakyat; dan, beberapa Istilah yang menurut saya itu sungguh naif untuk dilontarkan—, PKS yang lebih cenderung Pragmatis dan, terlihat juga taraju’, berkait konsistensi dia dalam mencalonkan “capres dan cawapres balita”, dan, dilihat dari segi politis, pola-cara dia mengajukan “cawapres” dan bentuk koalisi: “agak aneh”. Lalu pembahasan Panjang “Blok Teuku Umar” yang mulai menunjukkan hasil dari koalisi besarnya, di negasi Demokrat dan “bolo kurowo”-nya dengan Koalisi “Padat-disiplin” meski dengan langkah lambai-lemah lembut; barangkali karena secara psikis mereka sudah yakin SBY akan memenangkan Pilpres dengan pola-cara apapun, mungkin. Kemudian, dilanjut membahas: berkait koalisi( pola cara menjalin koalisi dan beberapa intrik yang mengitarinya), pen-capres-an, dan pergantian generasi yang dikira-dirasa lamban dan, Barangkali, kurang adanya ruang(atau malas-kurang kreatifnya) bagi generasi selanjutnya. Di mana, sebenarnya beberapa friksi ini sudah pernah dibahas, dan sekarang mencoba untuk diperdalam; tentu sesuai dengan pengetahuan masing-masing, terutama saya.

Di awali dengan mukaddimah dengan menerangkan kondisi ‘aku’ dan sesuatu hal yang mengitari diri aku: sebelumnya, aku Mohon maaf karena baru bisa membalas Tulisan yang sangat, menurut saya, Fantastis-bagus itu. Tulisan dengan analisa yang "Matang" dalam konteks ke-masisir-an, dan garda depan untuk kaum perempuan; menurut saya. Sedang, keterlambatan saya membalas ini lebih dikarenakan: dari kemarin Pagi—setelah membaca Tulisan ini— saya pergi ke kuliah, ke Atabah untuk cari beberapa Buku(rekreasi setiap awal BUlan sambil menghilangkan penat-muqorror), dan malamnya aku ada janji main ke rumah Rekan saya: Mas Yunus masrukhin, jadi nyaris aku sekarang, di saat memulai menulis ini(menjawab tulisan ini), aku baru pulang ke rumah dengan-secara fresh. Kemarin, hanya beberapa menit saja untuk pulang, maka aku baru bales sekarang; sekali lagi, dengan getir aku memohon maaf.

Oh ya, di Atabah aku dapat buku Bintu syati'(Turâtsina Baina Mâdlin wal Hâdlir), Najah Muhsin(al Fikr al Syiyâsi ‘inda Muktazilah) dan beberapa buku2 marxisme. Dua pemikir itu semua perempuan dan bagus-energik juga pada masanya; apalagi Bintu syarti' dan, semua di dârul ma’arif. Sedang, buku2 marxisme itu ada di Azbaqiyyah.

Berkait Koalisi, baik itu "Teuku Umar maupun koalisi padat-disiplin", itu sah-sah saja. menurut saya itu masih dalam tahap wacana, sedang secara meyakinkan baru bisa kita saksikan dan kita nilai secara nyata, di awali pada-setelah putaran tahap kedua, dan(atau) setelah pemilihan kabinet; alias Pemerintahan terbentuk secara komplit dan nyata. Karena apa, koalisi yang sekarang terbentuk, untuk konteks ke-Indonesiaan, masih sangat rawan untuk berubah-ubah. Baik itu dari faktor Intenal koalisi itu sendiri, atau orientasi pragmatis dari Partai-awak partai, itu masih sangat mungkin. Partai Golkar tahun 2005 pembelajaran yang sangat kasat mata.

Selain itu, jika benar adanya: adanya Blok yang jelas dan konkrit dalam program kerjanya, maka, sependek pengetahuan saya, Indonesia akan menjadi negara ketiga-berkembang pertama yang menyatakan secara maklum dan aklamasi: bahwa ada "kelamin" yang jelas dalam tubuh parlemen-DPR. Mana pro pemerintah, mana Oposisi. Ke mana Pemerintah "lari", Ke mana pula Oposisi mengkontrol; untuk Konteks sosial-politik itu bagus. Di samping hasil dari pendewasaan dalam ranah Politik semakin kita bisa lihat bersama. Lalu, masyarakat pun jelas, apa betul pemerintah berpihak atau malah incambent "memeras" bak rentenir. Selain opisisi pun harus bisa menempatkan-dan membuat program yang harus-selalu pro rakyat, jika tidak tamatlah riwayat negeri yang aku-kita cintai ini. mungkin? Ini juga sesuai dengan keinginan Anas Urbaningrum, efendi simbolon dan, jika kita lihat belanda, jerman, perancis itu sudah melakukannya. Begitu juga Amerika serikat.

Pen-capres-an, jika kita gunakan pendekatan yang ke-dari-"bawah", tentu rakyat tak akan pernah suka dengan keputusan cerainya SBY-JK. Itu sudah dibuktikan: exit poll misalnya, 70% kecewa dengan keputusan cerainya SBY. LSI 60%, lingkar madani 55% dan, barangkali, beberapa program suvey lainnya yang aku tidak tahu. Namun, jika kita pakai Analisa "Atas"(lihat kontelasi Politik, Elit Politik, dan kedewasaan Berpolitik para Elit POlitik) tentu ini menjadi nilai Jual yang sangat menarik, spekulasi pun bisa ada celah, dan kepentingan juga tak akan kunjung redup.

Saya katakan ‘nilai jual’ lebih tinggi, karena para elit itu, kalau mau jujur, sebenarnya juga tak terlalu suka dengan beberapa keputusan SBY dan pemerintahannya yang ada. Misal kenaikan BBM yang di atas rata-rata lazim-biasanya, dan turunnya pun lebih bersifat politis, dengan ganti BLT yang secara administrasi sangat bermasalah di lapangan. Peng-Amin-an Pemerintah atas program kerja Outsorucing, Lapindo yang belum selesai-selesai dan terlalu ragu untuk mengambil keputusan. Ini terjadi Di partai Golkar itu pasti, Partai PAN dan PKB untuk BBM dan BLT; PKS itu di program Lapindo. Sedang, kalau PDI perjuangan sudah tentu dia Garda depan untuk "buat recoh pemerintahan"; tapi saya berterimakasih dengan PDI perjuangan meski saya bukan-tidak pro pada dia. Dan, masih banyak lagi program yang kurang sesuai, di samping ada beberapa program, yang juga tidak sedikit, pro pada rakyat, misalnya UKM dan kebijakan Fiskal yang jelas(meski baru turun-cair dananya). Maka, jika SBY-JK pisah tentu memberi suatu situasi yang baru, dan wajar pula, untuk politisi, itu menjadi "proyek baru dengan mengatasnamakan rakyat mereka masing-masing", barangkali?

Kalau melihat peluang SBY sendiri, karena di Indonesia untuk Capres dan cawapres itu, lebih dilihat Capresnya: maka dia “sudah di atas langit”; Hampir nyata dia akan melanjutkan pemerintahan. Maka, sebenarnya dia, menurut saya, tak usah terlalu getir-hati-hati untuk memilih cawapres. Biasa saja(meski aku juga masih ragu jika dia salah pilih cawapres, apalagi kalau ama PKS dan pak Hidayat, sungguh aku bimbang).

Berkait Budiono yang diusulkan rekan komunikasi aku sebagai cawapres SBY, itu kalau secara profesional kerja, saya setuju. Selain beliau kerja konkrit bagus, juga image politik itu nyatanya adem ayem. Tapi jika kita lihat lebih cermat lagi, pak Budiono yang terhormat itu, kalau dibanding Ibu Sri Mulyani, tentu kalah dalam kans Politik. Meski Budiono Bagus dan bersih, tapi dia kurang kans, kurang pengagum dan kurang menjanjikan untuk dukungan massa. Di samping, menurut kredibilitas menteri beliau di bawah Ibu Sri Mulyani satu tingkat. Coba dipertimbangkan !!!

Sedang untuk Sri Mulyani itu bagus, kalau alasan saya, karena sebagai representasi Perempuan; biar isu emansipasi itu tidak "menguap", dan nyata secara realita. Bisa Harmonikan-bisa klop sekaligus menepis pendapat kalau Bapak SBY yang terhormat itu Patriarki. Di sini lain, tidak ada yang bisa memungkiri: kalau Ibu Sri Mulyani itu emang secara kualitas baik adanya. berani dan cekatan-cepat mengambil keputusan, setidaknya bisa menutupi kekurangan Bapak SBY yang terhormat itu; orang nomor satu di negeri ini(tapi bukan berarti aku pendukung secara mutlak, sebagai wacana dan penafsiran boleh lah, ho ho ho ).

Lalu, untuk nasib Partai Demokrat, kenapa kok orang profesional(non-partai): itu lebih kepada, secara kepartaian, itu Partai Demokrat bisa selamat. karena tidak ada ‘Anasir-anasir kepentingan partai’ yang bernaung di sana. Selain itu, Partai Demokrat bisa serius dan lebih adil kepada partai-partai yang sedang ikut berkoalisi dengan dia; lihat saja, partai yang mendekat ke demokrat kan tidak terlalu signifikan selisih suaranya(PKS=7,...%, PAN=6,..%PKB=5,..)dan mungkin, masih bisa berubah. barangakali? Kalau dilihat secara "presidensial", itu lebih sehat: karena untuk konteks presidensial itu harusnya koalisi di Pemerintahan dan parlemen itu harusnya tidak selalu berbanding lurus. Tapi bergantung selalu dengan proyek dan pro-rakyat apa tidak. Jadi tidak ada alasan untuk partai marah jika menterinya dicopot lalu partai muring-muring, cawapres kalau memang baik, meski tidak dari partai, harusnya-layaknya didukung. Dan, pemilihan kabinet, itu baiknya didasarkan pada Kompetensi, kualitas dan loyalitas yang baik kepada bangsa dan negara, bukan dari hasil kader-kader partai yang tak jarang kompetensi-kualitasnya dipertanyakan, untuk tidak mengatakan kurang baik,(atau)bahkan cenderung “buruk”. Jika model seperti ini terbentuk, maka sistem presidensial yang kita anut bisa menjadi contoh baik bagi negara-negara yang sedang berkembang dan ketiga di belahan dunia ini.

Kemudian, untuk program pemerintah dan visi-misi, itu sah dan syarat mutlak bagi aku. Dan sepertinya kita di sini satu madzhab, barangkali. Namun, kadang aku sedikit bertanya: kenapa kok sampai sekarang itu belum keluar, kenapa? Pandangan "kasar" saya: apa ini salah satu trik untuk mengalahkan lawan, dan mencari ‘aman’ bagi dia agar kelemahannya tertutupi sedikit; mungkin sekali. Atau menunggu SBY untuk mengeluarkan Visi-misi baru yang dia tawarkan kemudian pihak lawan buat yang lebih baru dan, menurut mereka lebih baik. Entahlah? Tapi realitanya, masih lama untuk bisa mendedah visi-misi dan beberapa kriteria yang pas bagi capres dan cawapres. Saat ini, mereka(para politisi elit itu) masih bersibuki dengan menggalang massa, ‘sowan’ sana-sini, dan saling memastikan akan ada tahap kedua Pemilihan presiden; lalu "Dia" bisa masuk pada putaran tahap kedua. Barangkali?

Maka wajar, salah satu trik JK-Win itu mulai memelas dan hampir mirip dengan SBY dahulu kala(di saat, katanya, di-dlôlimi Megawati). Meski dilancarkan dengan elegan dan lebih sportif; bukan begitukan(?) Dan, bahayanya, JK punya data kuat, lebih-lebih jika itu jadikan suatu isu yang "panas" dan bisa menarik simpati-empati masyarakat, maka dengan sendirinya kharisma SBY pun akan bisa melemah, untuk tidak dikatakan "Jatuh". Sedang untuk Mega sepertinya dia menang dengan masih fanatik-Ta'asub-nya rakyat kecil pada dia. Dan kalau PDI perjuangan masih kompak tak ayal, di saat kenyataan berbicara, Ia bisa lolos dengan mudah ke putaran kedua. Mungkin?

Harusnya, untuk langkah afirmatif-hati-hati, Demokrat dan bapak SBY yang terhormat itu, lebih mangambil inisiatif dengan cepat. Dan berkata: berani bersaingan secara "jantan", tidak cukup dengan "sportif"; meski ini juga penting. jadi banteng di lawan dengan banteng; kan tambah ramai.

Terakhir, adapun adanya wajah lama itu keniscayaan. Dan masih saya anggap fenomena yang wajar(meski kita jangan sampai kecil hati apalagi minder dengan kenyataan yang tak nyaman ini), tapi baiknya harus kita waspadai. Kalau agak memperlebar: setelah reformasi Indonesia nyaris kehilangan yang bisa silih berganti. Baik itu dalam ranah intelektual, ekonomi, dan para politisi yang sering ngantuk di senayan. Dari kader Intelektual(khususnya di ranah ke-Islam-an): kita masih selalu dibayang-bayangi oleh tokoh2 tahun 70-an yang antara lain: GUs Dur, cak Nur, Mukti Ali(almarhum), Fran magnis suseno(untuk kalangan Filsafat-epitemologis) dan beberapa lainnya yang mulai sedikit demi sedikit sudah mulai Almarhum. Dan hanya mereka yang mempunyai power dan berani dijual, dalam arti positif, ke luar negari untuk membawa image positif bagi Indonesia ke Dunia Internasional. Ekonom tak jauh dari Emil salim, Kwik kian gie,( tapi untuk ranah ini sudah mulai berganti, dan menampakkan hasilnya: ibu Aviliani, Sri Mulyani, Budiono, dll). Sedang untuk politisi, ini yang sangat susah berganti. karena mereka, menurut saya, yang punya idealisme tinggi dan komitmen kepada masyarakat tapi tak berbanding lurus dengan dukungan masyarakat. Misal partai-partai yang baik dan idealis itu nyaris suaranya kecil, jadi mereka pun tak bisa membuktikan secara konkrit di Parlemen; tak lebih hanya “cuap-cuap” yang kadang buat telinga ini risih. Maka partai lama tak lebih hanya sarang borjuisasi para politisi kawakan yang hanya bermain cantik di elit politik, tapi untuk kerja nyata sebenarnya masih ada yang bisa lebih baik. barangkali???

No comments: