Saturday, April 4, 2009

Berkait Nyontreng: Curhatku di Milis PMIK (?)


PMIK Ramai Nyontreng, Aku Curhat (?)
Pantulan atas Jual Kecap, sebermula-seberhingga

Sungguh menarik, meski sedikit emosional-normatif Milis Terbesar Masisir di Kairo ini. Milis yang aku singgahi: PMIK. Kemarin, yang beberapa saat terhenti-atau sengaja vakum, aku tak tahu, sekarang sudah mulai menunjukkan "moncongnya" sehinnga bisa teduh-sejuk, ibarat siang hari di bawah Pohon, yang akhirnya 'putih' kembali. Meski sedikit "membiru"; semoga aja, barangkali?

Tak tanggung-tanggung, dari mulai yang biasa keliatan-nongol, sampai senior-kawakan: dari rekan khorul asdhik-rekan Mus'ab, Syamsu Alam Darwis, sampai pak Cecep. Indah-bak pelangi; kata Mahar dan Lintang. Saling melengkapi, meski sedikit ada 'negasi-gejolak'. Itulah, barangkali, yang membuat 'syahwat' aku untuk nulis lagi di Milis yang masih di Folder inbox-ku.

Hariman Siregar, dalam salah satu wawancaranya, berkata: di Indonesia masih jarang kita ketemukan aktor Politik, aktivis politik apalagi caleg yang bener-bener mempunyai kemampuan yang matang, keterpilihan yang layak, masih sering Politisi-Politik-berpolitik berdasar "Darah"; Meski sudah ada yang menyuarakan "cairnya" Politik tapi itu tak lebih hanya untuk "meraup" suara. 'Penyakit', kalau boleh aku sebut begitu, menjangkit hampir semua elemen. Maka tak ayal, masuk pada system parlemen, pembuat undang-undang dan beberapa hal yang berkait kelindan dalam wilayah Politik-kuasa. Politik yang seharusnya untuk "ladang" pengabdian, tapi tak lebih hanya "orkes goyang gergaji" sampai panggungnya Roboh. Calegnya pun adu jotos, disoraki lagi sama Pendatang kampanye. Ini bukan hanya menjadi bahan sarapan orang "Urakan" tapi juga "Kaum Pendiam"; bukan hanya "pemabuk" tak ketinggalan "Pen-dak-wah" pekerjaan sehari-setiap waktu. Tak pandang bulu, partai Nasionalis, Religius-Nasionalis, dan, tak ketinggalan, Islamis: yang ngaku Ideologi Islam, Ormas Islam dan, yang pasti, barangkali, tak aneh kalau saya ber-konklusi: Partai Islam Bukan Islam. Sungguh menyedihkan, barangkali?

Kata ayah saya, kala aku bertanya: Pah, untuk "rakyat kecil" sih, sampai sekarang ada pengaruh langsung g sih ketika dia mencontreng apa tidak? Bapakku jawab, ya untuk sampai sekarang tidak ada. Untuk secara pragmatis-langsung. Lhoo.., bukanya untuk mempengaruhi kebijakan pemerintahan, untuk mengkontrol pemerintah dan badan legislatifnya, dan beberapa birokrasi Negara pripun niku Pah?, itu kelakar-bantahku. Beliau dengan santai pun menimpali: lhoo, iku kan kowe. Sing kuliah, mahasiswa yang sudah berfikir rasional-sekaligus tahu sistem. Nah, kalau seperti Papa-e, yoo asal pemerintah berani membeli "mahal" dan "menjual" di pasar Murah, rakyat kecil-petani pasti akan merasakan hasilnya. Kantongnya pun akan terisi, duit rabuk-mes (pupuk padi) pasti bisa "ditomboki". G susah tooo…, tapi itu belum sepenuhnya, ingat sekali lagi sepenuhnya, tersampaikan sampai ke Rakyat. Apalagi buruh Tani. Sungguh menyedihkan, Mungkin?

Ketika aku Tanya berkait Golput dan mencotreng salah satu pilihan, bapak saya menyerahkan sepernuhnya kepada saya. Dan, tidak dikasih arahan, apalagi doktrin untuk memilih partai yang dikehendaki keluarga-ibu dan masifnya pilihan di desa saya. Itu mungkin hakekat demokrasi yang dipahami ayah saya. Hanya diberitahu: kemarin papae karo cah-cah nom, ndemo nang kabupaten untuk persoalan DPT. Sedang untuk data yang kesleo pengambil BLT, papae Ndemo lurah nang kelurahan. Sedikit informasi, dana BLT yang tersampai ke Rakyat, beberapa persennya di manfaatkan lebih lanjut, khususnya ibu, untuk pengembangan koperasi dan PKK. Lucunya, tak ada Parpol yang melirik, apalgi perhatian akan hal-hal yang baik itu. Aneh? Apa guna parpol-pengurus Parpol, selain masa pemilu-kampanye? Ladang pengangguran, dan ngoceh "Jual kecap", ini prediksi paling lemah, brangkali.


Di Kairo, sependak aku lihat: pegiat Parpol di sini tak punya program konkrit untuk Masisir, apalagi suatu program yang disodorkan untuk bangsa; sungguh termangsa secara tak sadar. Aku melihat, mereka hanya menjadi perpanjangan tangan saja. Penyalur informasi dari DPP. Dari atas-pusat. Tak lebih. Lebih, mungkin, dari pendapatan bukan pendapat yang menyegarkan-progresif. Hancur-parah-anehnya semua kayak "jual Kecap". Kata rekan saya, seperti Lomba Pidato; itu kalau pake asumsi serampangan, tapi patut untuk diperhitung-renungkan.

Mereka menyuarakan perbaikan legislatif. Peningkatan funmgsi legislasi. Paling banter, DPR "bersih". Sedang yang lain, masih Normatif: kesejahteraan, Selesai, Kemajuan, Kemakmuran dan Bla-bla-bal….., yang semuanya hanya patut untuk di buang dicomberan-keranjang sampah. Manis di mulut, pahit di realita: NOL realisasi. Pemerintah "Bersih"; kalau saya Boleh bicara, bersih atau bagi-bagi menteri. Parlementer atau Presiden-sial. Itu aja belum tuntas-selesai. Aku "wapres" 80% kabinet milik saya, bagaimana? Koalisi tapi saya Diberi "wapress"? untung Bukan woardpress.

Untuk PPLN, aku kira tak salah jika semuanya yang di sini bersinergi. Aku kemarin udah diberi Surat undangan untuk men-contreng. Untuk Rumah aku sudah semua, kecuali mahasiswa baru: karena mereka semua tak ada yang membawa surat pengantar dari TPS setempat, mungkin baru besok ngurus. Itu pun kalau mau. Ya, kalau mau (?) Laiknya Mahasiswa yang ngaku "aktif", baik-bagusnya dia aktif untuk mengambil surat. Bukan menunggu Bola, tapi mengambil bola; tadi Fulham kalah 1-0 lawan Liverpol karena menunggu, bukan menyerang. Sedang untuk datang atau tidak, menggunakan Hak, atau membuang surat ke "tong sampah" itu urusan lain: Pribadi masing-masing. Dan ini sudah diatur.

Untuk saya, karena hanya sebagai orang yang melihat "akrobat Politik", tak aneh jika aku masih Gelap. Usaha untuk mencari tahu sudah aku lakukan. Mulai jejaring sosial melalui FB, YM, diskusi sama teman (bahkan aku barusan selesai kemudian aku nulis beberapa coretan ini)—baik di Indo maupun di sini, pegiat Parpol atau pun simpatisan, dan tak ketinggalan, juga kenalan saya "caleg" dan pegiat politik di Indonesia, tapi, ya…., semua masih Nonsen, alias Kosong. Masih "Jual kecap"; meski lebih menarik-memukau dari Masisir. Kita bersatu: untuk memberi solusi atau menambah problem baru? Kalau yang kedua realitanya, bukankah Diam itu emas wahai rekan?


NB:
Nyontreng-tidak itu urusan "aku", bukan kamu. Apalagi "Dia". Kau hanya menawarkan "busa". tak lebih. Dan itu pun masih, telah, dan, mungkin, akan menjadi "Palsu". Dasar...(?)

No comments: