Saturday, April 4, 2009

Resensi (Film) Laskar Pelangi


Seklumit Kesanku Pada “Laskar Pelangi”

Produksi : Miles Film & Mizan Production
Sutradara : Riri Riza
Produser : Mira Lesmana
Judul Film : Laskar Pelangi
Resentator : Ronny El Zahro

Kalau boleh saya bicara: Selayaknya “laskar pelangi” selesai di saat Ikal mengejar Lintang—seperti papar Syamsul Arifin di blog Liputan6—, pesan kuat akan ironi yang menggilas ‘mimpi’ bocah jenius asal Tanjung Pelumpang (Pesisir Belitong) yang putus sekolah akibat ayahnya meninggal —tepatnya Hilang kala melaut— bakal menerbitkan bejibun pertanyaan, dan tentu, film ini berakhir akan lebih “klimaks”; bukan datar seperti, kata teman saya: ‘Sama persis seperti di dalam Novel’. Inilah, mungkin, konsekuensi Logis kala menggarap Film hasil adaptasi dari sebuah Novel; bahkan, tak jarang reduksi yang mengecewakan (?)

Bagaimana Ikal mengejar mimpinya ke Paris, seperti yang selalu dibisikkan Lintang setiap waktu? Bagaimana Lintang menafkahi ketiga adik perempuannya, anak jenius yang putus sekolah dan yatim-piatu itu? Dan, tentu, serial film selanjutnya, Sang Pemimpi, lebih dinantikan oleh para penggemar Fanatik Andrea Hierata atas karya Tetralogi-nya (Laskar pelangi, Sang Pemimpi, Edensor dan, sekarang, Maryamah Karpov baru terbit), barangkali?

Riri reza dan Mira lesmana terbilang sukses besar atas garapan Laskar pelangi. Baik terkait materi, tentunya; tapi juga memberikan secercah harapan bagi mereka-mereka yang ter-majinal-kan. Meski Film ini demikian, sebenarnya secara subtansi tak jauh beda dengan “Denias, Senandung di Atas Awan”: Mengobarkan pentingnya pendidikan bagi semua anak Nusantara dari Papua sampai Nangroe Aceh Darussalam. Begitu juga kala mengeksporasi Indahnya Belitong, itu juga tergambar di “Denias, Senandung di atas Awan” yang meng-‘gebrah uyah’ elok-seksi-nya pulau Papua yang jarang kita sebut-lirik itu. Bersibukinya dia meng-ekplorasi Belitong kala Lintang bersepeda: Akhirnya tampak rawa-rawa, sawah, kebun, jalan-jalan baik yang becek maupun sudah di-Aspal; tak ketinggalan buaya yang, konon katanya, barangkali, sudah maklum di dataran Belitong. Laut-danau Belitong nan indah. Juga seksinya pelangi setelah Hujan reda. Satu sisi, baik untuk mengerti akan pentingnya kedaulatan -mempertahankan-melestarikan NKRI; salah satu pesan kuat pada penonton. Tapi, di sisi lain , itu terlihat “muspro” dan hanya memenuhi-memperpanjang durasi Film.

Lain sisi, Riri sukses besar menggambarkan tatanan sosial yang kontras. Ada jarak yang nan jauh antara si miskin dan si kaya. Anjuran pake “Helm”(Tutup kepala kala mengendarai sepeda motor), tapi tak banyak yang punya sepeda motor. Menghitung dengan kalkulator, sedang di seberang dengan pecahan “pring(bambu)-sapu lidi”. Kesempatan sejahtera benar-sungguh hanya untuk mereka yang secara ekonomi bagus, kesempatan sekolah yang masih saling memarjinal-membeda-beda-kan. Antara si miskin dan kaya; antara yang normal dan yang cacat. “Dilarang masuk bagi jang tida punja hak”, coretan di depan pintu gerbang Pabrik PN Timah. Dan, kata yang telontar kala ayah Ikal mengantar sekolah:“Percuma sekolah entar juga jadi kuli timah”.

“Pendidikan yang dinilai dengan Hati, bukan materi yang hanya sesuai kurikulum”, obrolan pak Harfan dan pak Zulkarnaen. Sekolah yang membuat orang menjadi “peduli”, bukan alat untuk meraih “kuasa” syarat lulus sebagai ‘caleg’; lebih-lebih hanya untuk cari kerja. Dan, semoga, Inspirasi itu tak berhenti kala selesai menonton Film itu: Setelah usai kita meng-close program di komputer lalu tak ada yang berubah di dalam hidup “saya”, anda, kita dan semua; tapi, selayaknya, terejawantahkan dalam perilaku-etika sehari-hari. Begitu juga semangat Lintang yang mengobar-membara?

Karakter pemain di Laskar pelangi yang natural-beragam memberi “warna tersendiri” di Film itu. Anak Belitong asli, yang tak pernah mengerti Dunia Film, sudah bisa menyelesaikan kesulitan itu. Tak ada tokoh Antagonis bukan menjadi hal yang sulit bagi Riri untuk membuat film tetap Hidup-berkesan.

Lintang yang terlihat damai dengan Nasib: Dewasa, sabar, tekun, ulet dan punya semangat luar biasa untuk belajar. Terlihat, Dia sukses membuat diam Anak SD PN Timah kala Ikut serta Lomba Cerdas Cermat. Terlihat jelas, kala dia bisa menyelesaikan Friksi di saat “soal” terakhir yang menjadi perdebatan berkait hasil jawabannya. Tapi, ironis, lintang yang selalu ingin datang lebih pagi, selalu membaca buku, dan murid pertama Bu Mus, dia pula yang pergi lebih dulu; dan, seperti yang aku tulis di atas: Harusnya di situlah Film selesai.

Mahar meski “slengek-an” tapi banyak akal dan tanggung jawab; bocah perangai seniman itu, membuat habis ‘aku’ terpana. Keterbatasan bisa disulap menjadi daya kreatif yang menyihir-membuat tawa terbahak dan hiburan tersendiri bagi warga di sekitar PN Timah Belitong. Dia membuat tarian Mistis —kuat dugaan dia terinspirasi dari isi majalah dari Floriana— dengan bahan dedauanan, kapur barus, dan kulit tubuh menjadi kostum abadi. “Tenang saja, serahkan semua pada Mahar dan Alam”, paparnya kala diberitahu oleh Pak Harfan kalau tidak ada dana untuk Fertival karnaval. Berkat itu pulalah SD Muhammadiyah Gantong untuk pertama kalinya bisa dilirik-diperhitungkan. Juga membius Floriana —salah satu siswi SD PN TImah— untuk pindah dan berkawan dekat dengan Mahar.

Motto keindahan yang ditawarkan bukan busa belaka: Lagu “Bunga Seroja” dinyanyikan untuk Ikal, kala dia rindu pada Gadis Berkuku Indah, Aling. Kisah Asmara pertamanya. Ikal, yang terpancar semangat Lintang, sehingga dia bisa ber-sekolah tinggi sampai dapat Bea siswa untuk pergi ke Sorbone, Paris. Bocah pendiam, tapi mempunyai kemauan yang kuat-keras: Bagaimana serius-ngotot-nya dia merayu Lintang agar mau mengantar ke Toko Sinar Harapan agar bisa ketemu dengan Aling, gadis yang dipuja hanya karena kuku indahnya itu. Meski hanya beberapa karakter tokoh (untuk anak Belitongnya) yang dimuncul-tonjolkan, tapi tidak mengurangi peran-fungsi tokoh-karakter lainnya. Seperti, Kucai, Sarah, Harun —yang menyelamatkan SD Muhammadiyah dan memberi senyuman bungah pada Bus Muslimah—, dan, seterus-lainnya….

Lain sisi, karakter pemain kawakan-senior pun ikut menentukan suksesnya Film itu. Tercatat: Cut mini, Ikranegara, Rieke Diah Pitaloka, Slamet Rahardjo, Jajang C. Noer dan seterusnya. Meski demikian, agak kecewa, sutradara tidak memberikan latar belakang yang lebih lugas-jelas, Ibu Mus (Cut Mini) dan pak Harfan (Ikranegara), sehingga mereka berdua memilih mengacuhkan Materi dan luluh dalam dunia pengabdian; Saya tahu hanya melalui Info dari Foto tua itu. Atau sengaja, agar penonton mau membaca Novelnya? Padahal, Pak Harfan dan Bu Muslimah merupakan Motor penggerak dunia “Laskar Pelangi”. Perangai sabar, tekun-ulet, sederhana-nerimo, dan, bejibun karakter baik-positif lainnya; yang Di masa sekarang susah sekali mencari tipe seperti mereka berdua. Mereka adalah jantung SD Muhammadiyah yang reot yang tak lebih baik dan (atau), mirip kandang sapi, tempat ke sepuluh “laskar pelangi” mengenyam pendidikan, dan, semoga menjadi inspirasi-spirit positif pendidikan di Indonesia pada Umumnya. Mereka adalah cerminan hati yang meng-acuhkan gemerlap pesona dunia-Duit. Membantu ribuan-jutaan anak yang termarjinalkan di Negeri Katulisntiwa untuk mengenyam pendidikan meski terpojok karena biaya yang masih mahal: hingga kini. Undang-undang BHP pun tak bisa menjamin semua anak negeri untuk mengenyam pendidikan Tinggi. Kecuali Kaum Borjuis-kapitalis.

Sedang untuk unsur nilai ke-Islaman saya jadi teringat motto Gus Dur: Pribumisasi Islam. Memunculkan Nilai-nilai lokal untuk interpreter Ke-Islaman. Seperti kerudung Bu Muslimah yang hanya terbalut di leher, tidak menutup semua rambut, apalagi cadar. Dan rok yang dikenakan hanya sampai ‘dengkul’, tidak menutup ‘tumit’. Ini menggambarkan: bahwa tak seharusnya kita memaksakan Perda syariat yang berisi simbol-simbol Syariat. Tapi lebih pada subtasi-isi; apalagi kita harus memperkosa-pecundangi budaya kita sendiri. Meski sekolah Islam tapi masih menerima siswa konghuchu-Tionghoa, Cina: Akiong. Pesan kuat “kameramen”, di salah satu set adegan ada tulisan Injil dan di bawahnya Al-Qur’an: memberi kesan agar Agama-agama di tanah air saling toleran, welas asih, dan memang semua itu bersahabat dari Tuhan yang Esa: Tuhan Yang Maha Kuasa. Bukan saling berebut, bertikai dan menghegemoni yang minoritas. Dan laiknya barang berharga, harusnya nilai-nilai luhur ini dibina-dipertahankan bukan dilenyap-leburkan. Apalagi disiksa agar musnah dari peradaban adi luhung Indonesia.

Pesan “ekletik” juga bisa terbaca jelas. Mahar yang luluh pada musik Jazz yang nota-bene musik beken dari Barat; musiknya orang pintar, kaum Borjuis, tapi juga bisa apresiasi pada musik melayu. “Ternyata musik melayu juga dahsyat Boy”, paparnya pada Ikal di depan Lintang. Meski kuat dalam memegang akidah, tapi tak abai pada hal Mistis: Pergi ke gua untuk meminta doa agar lulus, dan Ikal agar terselesai friksinya dengan Aling, gadis dambaan-idamannya. Lintang, meski paham betul akan matematika-eksakta, tapi dia juga tak abai akan hal-hal metaforis-sosialis: berkait Soekarno, Paris, buaya dan barangkali, Bodega? Dalam hal bahasa, meski kuat unsur nilai ke-Islaman; tapi tak tabu pada kata, semisal: Setan yang nota bene untuk konotasi negatif-buruk-jorok, misoh dalam bahasa jawa. Kata “Boy”, yang sering diucapkan Mahar; representasi bahasa Inggris-Barat. Juga, bahasa khas Melayu-Belitong mewarnai Film itu, dan, tentu, barangkali, mungkin, memberi “cita rasa” tersendiri bagi penikmat film Indonesia.

Terakhir, saya ingin mengutip perkataan Lintang saat ingin membangkitkan semangat rekan-rekannya kala semua mulai “lesu”: “Soekarno di tahan di Sukamiskin pada tanggal 29 Desember 1929: karena mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) untuk tujuan Indonesia Merdeka. Ruangannya sempit: dikelilingi tembok-tembok Tebal yang Suram. Tinggi gelap dan berjeruji; lebih buruk daripada kelas kita yang sering Bocor. Tapi di situlah Beliau menjalani hukuman: tiap hari belajar, tiap waktu baca buku, Beliau adalah salah satu orang tercerdas yang dimiliki oleh Indonesia”. Sekarang, apakah kita (“aku”, Anda, dan Masisir) masih mau, atau, barangkali, minimal berani, mengeluh antrian panjang saat membeli Muqorror, Ijro`at jawazat, bahkan masih beranikah kita menyerobot rekan sebangsa kala antri Musa’adah Jam’iyyah syar’iyyah. Bangku Kuliah yang jelek-ruangan yang kotor. Lebih bersibuki “jual kecap-dagang sapi” kampanye tanpa ada orientasi akademis-pengabdian yang jelas. Kita sebagai Objek, atau Subjek. Penggerak Motor suatu sistem, atau hanya mangsa untuk mengisi “lumbung suara” salah satu golongan; di mana kita tak menyadari itu. Pendidikan untuk pengabdian, bukan untuk memperbanyak suara Golongan tertentu. Bukankah begitu rekan?



NB: Tulisan ini akan, telah diterbitkan di Buletin Makar Rumah Budaya Akar: salah satu buletin Masisir(Mahasiswa Indoensia yang ber-domisili di Mesir-Kairo) yang aktif-konsen di bidang Budaya.

No comments: