Monday, March 21, 2011

Tayeb Thizini; Marxisian Islam yang Visioner


Tayeb Thizini; Marxisian Islam yang Visioner


“Saya melihat Tizhini, merupakan, salah satu pemikir Marxis yang lebih visioner jika disandingkan dengan pemikir Marxis lainnya, semisal Mahmud Ismail, Kholil abdul karim atau, bahkan, Husein muruwwah. Karena selain menyajikan pendekatan plural dalam memandang Islam sehingga tercipta pola pandang yang baru juga, Tayeb juga memberikan solusi praktis bagaimana Ummat Islam sekarang melangkah ke depan untuk mewujudkan “kebangkitan dunia Muslim” secara lebih cepat dan tepat”, begitu awal komentar rekan Ahmad Hadidul Fahmi dalam diskusi regular Lakpesdam. Diskusi ini melanjutkan mega proyek sebelumnya: “Kritik Atas Kritik Pemikir Kontemporer di Dunia Arab Islam”, sebagai awal pembuka diskusi setelah Imtihan term I selesai, berlangsung di Sekretariat PCINU Mesir, kemarin: Senin, 15 Februari 2010. Presentator ini kali, rekan Nur Fadlan dan Rekan Ronny El Zahro diamahi sebagai pemandu diskusi, moderator.




Paradigma Baru Pemikiran Arab-Islam

Di awal presentasinya, rekan Fadlan memaparkan, bahwa menjadikan pemikiran Tayeb lebih sistematis dalam suatu makalah bukan lah hal yang mudah. Selain, rumitnya pola bahasa dan pemilihan diksi yang dipakai, juga bejibunnya karya beliau. Dalam presentasinya, setidaknya ada beberapa hal penting yang dikemukakan rekan Fadlan: sisi baru formula pemikiran Tayeb dan titik lokus bidikan beliau, yaitu, kebangkitan Arab-Islam dan memurnikan kembali renaissance kepada semangat aslinya. Selain itu, metode pendekatan yang dipakai relatif lebih riil dan secara praktis langsung berhubungan dengan kondisi sosial-masyarakat kala itu, dialektika-historis-materialis dan dialektika-idealis milik Hegel; baik dari segi politik, ekonomi dan budaya. Semerta di akhir presentasi rekan Fadlan mecoba mengkomparasikan Tayeb Thizini dengan pemikir-pemikir Arab-Islam lainnya, M. Abid al Jabiri sebagai misal.

“ Thizini lahir di Homs, Suriah pada tahun 1934 M. Ia mendeklarasikan diri sebagai pendukung Marxisme. Setelah SD, dia pergi ke Turki, Britania dan, terakhir, Jerman untuk belajar. Dia meraih gelar P.hd, doktoral, dua kali, pada tahun 1967 dan 1973 dalam bidang filsafat di Jerman. Salah satu disertasinya berjudul: Tamhîd li falsafah Arabiyyah al Wasîd. Dalam memformulasikan pemikirannya yang terdiri dari dua belas bagian itu, setidaknya terdiri dari dua fase di dalam tipologi pemikiran Tayeb. Fase pertama, Ia berhasil menulis Al Fiqr al- Arabi fî Bawakirah wa Afâqoh al-Ûlâ (1982), Man Yahûhu ilâ Allah(1985) dan Muqadimah Awaliyyah Fî al-Islam al-Muhammadi al-Bakir(1994). Di fase kedua, ia memilih lokus pada isu-isu Renaissance. Dalam lokus ini, sebenarnya hemat kami, ingin menularkan semangat Renaissance kepada individu-individu Arab Islam, semerta mengembalikan semangat Renaissance dalam aslinya, pencerahan”, ujar Fadlan. Selain itu, terdapat master piece beliau yang wajib dibaca dan ditelaah lebih lanjut: masyru’ ru’yah Jadidah lil Fiqr al Arabi fî al Asri al Wasid dan Masyru’ ru’yah Jadidah: Min Al Turats ila Tsaurah; Haula Nadhariyah Muqtarihah fi Al Turats al Arabi.

Sedangkan, lanjutnya, dalam metode pendekatan dalam bukunya al-Tharîq al-Wudluh al-Manhajî (Beirut;1989) dijelaskan bahwa ada pluralitas pendekatan dalam mengalisa objek kajiannya. Meski demikian, terlihat, prioritas yang dipakai yaitu dealektika-historis-materialistis dan dealektika-idealis, sembari sesekali ‘lompat’ pendekatan, semisal, strukturalis atau pun positivistik. Oleh karena adanya pluralitas pendekatan inilah, ada konklusi menarik dalam menganalisa sejarah Islam, dan patut untuk diperhatikan, Dr. Tayeb mengemukakan bahwa sejarah Islam itu orisinil. Selain itu, beliau mengakui akan wahyu dan kenabian Muhammad Saw tanpa ada syak wasangka. Hemat penulis, ini bisa dipahami dengan baik dan proporsional. Adanya pola pendekatan tak tunggal, maka karakter de Mistifikasi pada metode dealektika-historis-materialistis, bisa ditelikung dengan mistifikasi punya Hegel. Juga dalam konklusi yang lebih jauh, seperti yang tertulis di atas, sejarah Arab-Islam itu tak terpengaruh oleh yang lain, Yunani, Persia dll. Alias orisinil-murni.


Di penghujung presentasi, rekan Fadlan menyampaikan analisa sosial Tayeb Thizini yang dikomparasikan dengan pendekatan Abid Al Jabiri. “ Thizini mempunyai analisa Sosial yang sangat tajam, dealektis dan jeli akan keadaan. Ia benar- benar bisa memilah, memilih secara proporsional antara yang Ideal (Islam) dan “material”. Sehingga secara tak sadar menjauhkan akan hal-hal yang metafisik-metafisik. Dan penting untuk diperhatikan pola analisa seperti ini mudah dipahami oleh “khalayak ramai”. Hal ini berbeda dengan pola pendekatan sosial milik al Jabiri. Menurut rekan fadlan, Jabiri, dengan pendekatannya terlampau ‘melangit’ efek negatifnya hanya dipahami oleh Individu-individu yang terbatas, sedikit orang saja. Demikian ini, dipermudah pula akan semaraknya pemikir-pemikir yang menggunakan pendekatan-pendekatan yang serupa, dealektika-historis-materialistis. Seperti, Khalil Abdul karim, Salamah musa, Husein Muruwwah.


Tiga puluh menit saudara Fadlan mempresentasikan makalah sebanyak dua puluh lembar itu, dengan apik. Usai tepat pukul 17.30 waktu Kairo. Sebelum beranjak ke rekan-rekan lainnya, untuk memberi komentar, mengkritisi dan, atau saling tukar pemahaman serta mendiskusikan jika terdapat friksi-friksi, baik dalam bacaan atau pun sumber bacaan, rekan-rekan sepakat istirahat untuk melakukan ‘ritual’ shalat maghrib berjama’ah.



Negasi-Negasi Positif

Rekan Khozin, berdasar presentasi Fadlan dan membaca makalah yang dihadirkan, sedikit sangsi dengan Tayeb. “Jangan-jangan metode dialektis-historis meterialistis itu hanya kedok belaka. Karena tak ada deferensiasi jelas apa yang dimaksudkan ‘materi’ menurut Tayeb ini. Padahal, materi, merupakan hal yang fardlu untuk memberikan justifikasi bahwa dia menggunakan marxisme secara konsisten atau cover belaka”, selorohnya kala mendapat kesempatan pertama untuk memberi komentar dan mengkritisi makalah dan Tayeb Thizini. Lebih jauh, meskipun di makalah ini disuguhkan pertentangan kelas, jeda pembeda antara proletariat dan bourgeois, begitu pun kolonialisasi secara semena-mena, tapi, jika kita komparasikan dengan Madilognya Tan Malaka, hal-hal yang itu bukan yang ‘primer’, bukan prioritas. Justru identifikasi pemaknaan terhadap materi-lah, ‘jenis kelamin’ Tayeb ini bisa jelas. Juga pembeda, dalam segi metode pendekatan, antara Marxian dan Hegelian. Atau, Marxian dengan pendekatan lainnya. Ini yang perlu diperjelas, diperbincangkan secara mendalam lagi, menurut Khozin dipo.

Sementara itu, kalau rekan Fadlan mengkomparasikan dengan al Jabiri kala membaca Tayeb Thizini, Fahmi Farid purnama mencoba membandingkan dengan Thaha Abdurahaman, dengan bukunya Tajdîd al Manhaj fî Taqwîm al Turats. “Jika dibandingkan, milik Tayeb itu, rentan ada kecacatan epistemologis, terutama kala digunakan membaca sejarah Arab Islam. Karena dalam pendekatan Thizini dalam keadaan tertentu dituntut untuk “tidak menghadirkan fakta-fakta sejarah secara telanjang”, dan hal ini menyebabkan problema akut kemudian. Ini nyaris berbeda sama sekali jika metode Thaha Abdurahman yang diletakkan untuk menganalisa”, begitu papar Farid Purnama.


Rekan Nora, mencoba mencari genealogi pemikiran pemikir Syuria itu, Tayeb Thizini. Dengan mengambil kata kunci kala prensentasi rekan Fadlan, bisa dijadikan titik simpul, yaitu, “sejarah tak muncul dalam ruang yang hampa”. Lebih dalam lagi, hemat Nora, setidaknya, secara tak langsung, mempunyai kedekatan pemikiran dengan Hegel, Kant dan Descartes di Idealisnya. Sedang dalam tataran praktis-materialistis, kang Tayeb ini, taat pada Karl Marx dan Feurbach, khususnya dalam de Mistifikasi dalam segala bidang. Senada dengan Nora, Subhan Azhary memberikan penjelasan yang menakjubkan. Menurutnya, Tayeb Thizini, kalau diletakkan dalam spektrum Teologi-falsafi masuk kategori waqiiyyah. Lebih percaya pada hal-hal yang nyata, telihat dan realistis; untuk mengukuhkan pendapatnya, subhan, menyitir salah satu Ayat al Qur`an.


Kemudian, masih menurut Subhan, model pemikiran seperti Tayeb Thizini ini sungguh bermanfaat bagi khalayak Islam secara umum, dengan alasan, mereka saat ini dihinggapi dengan segala sesuatu yang serba mistis dan repetitif. Sifat dasar pendekatan Thizini yang revolusioner itu akan memberikan mental positif untuk kebangkitan umat Islam. Lebih jauh, rekan Subhan sepakat dengan Thizini kala mengkritisi Orientalis dan kaum Barat: Islam runtuh, jatuh dan terbelakang ini bukan karena kurang rasional, dekat dengan takhayul atau pun jauh dari modernitas tapi lebih diakibatkan kolonialisme-penjajahan yang terlampau lama sehingga, sudah “mendarah daging”. Dampak negatif yang jelas terlihat tentu pada segi akademis dan ekonomi yang jauh tertinggal. Padahal keduanya merupakan apa yang lazim disebut kebangkitan, kemakmuran dan pencerahan.


Begitu pun para Orientalis mempelajari budaya Timur itu, Islam, hemat Tayeb bukan untuk objektivikasi terhadap Islam atau tanggung jawab ilmiah, namun hanya untuk mengukuhkan dominasi kaum bourgeois atas kolonialisasi dan penjajahannya kepada kaum proletariat, Arab Islam. “Dalam keadan yang seperti ini, Tuhan kaum miskin-tertindas itu bukan Allah Swt, Yesus, atau pun yang mistis-mistis itu, tapi Tuhan mereka adalah roti, beras, susu dan kebutuhan pokok lainnya. Di sinilah ketepatan analisa Thizini kala membaca fenomena realitas sosial kala itu”, tegas Subhan sembari mengakhiri kesempatan bicara yang ada padanya. Hal senada terlontar dari rekanita Mey Rahmawati.


Hal berbeda hadir di Nova, dan rekan Ahmad Muhammad. Di sini mereka berdua nyaris sama komentarnya. Menurut mereka, Hal menarik dari Tayeb Thizini adalah, dia mencoba mengawinkan antara Filsafat dan Agama, serta dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang mengitarinya. Sekilas sama persis dengan Ibn Rusyd dengan Fashl al-Maqâlnya, kata mereka. Padahal kalau dicermati lebih mendalam akan berbeda 180 derajat. Benar Ibn Rusyd mengkawinkan antara agama dan Filsafat, tapi berbeda dalam konklusinya. Thizini menarik titik simpul konklusi hasil akhir pengkawinan agama dan filsafat, serta dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang mengitarinya adalah “Mitos”. Dan ia tidak berhenti di situ, mitos tidak dilihat ‘telanjang’ begitu saja. Sebagaimana Muhammad Arkoun, Mitos diletakkan secara proporsional, yakni pada manfaat sosial yang dihasilkan. Disitulah peran penting mitos, khususnya di dunia Timur.


Sebelum komentar terakhir dari rekan Fahmi, rekan El Zahro meminta kesempatan berbicara sebentar. Merunut tahun akademis Tayeb Thizini, wajar jika dia bisa secara leluasa menggunakan pisau analisis yang bermacam, tak tunggal. Karena kala itu, titik tolak pergeseran, khususnya di Jerman, madzhab Frankfurt, dari Marxisian murni ke post-marxisme. Hal ini bisa mudah dijumpai pisau analisa pemikir yang melangit kala itu, semisal Jurgên Habermas teori komunikasi dan filsafat bahasa, Hannah Arendt di dalam teori politik dan analisa bahayanya indoktrinasi semerta fundamentalisme nilai-nilai, begitu pun, Adorno dan Laclau. Ciri corak pemikiran Madzhab Frankfurt kala itu, secara Umum, mencoba mendialektikakan Antara Karl mark dan Hegel. Kemudian dalam analisa ilmiah, mencoba mengikis dominasi Politik praktis dan Ekonomi, hal yang biasa menjadi dominasi “Marxisian yang tawadlu”. Ciri selanjutnya, meleburkan secara luruh Mistifikasi dan de Mistifikasi kepada objek pendekatan dengan proporsional. Tak memaksakan pisau analisis. Bahkan tak jarang ‘melompat’, menggunakan metode pendekatan yang lebih sesuai walau tak jadi prioritas.


Lebih mendalam, rekan Hadidul Fahmi mencoba menjernihkan dialektika Turats, sejarah Islam dan Fenomena-fenomena sosial. ”Thizini melihat, sejarah dan turâts mempunyai muatan yang berbeda. Hal ini hadir dengan sederhana. Sejarah berhubungan dengan masa lalu, dan akan habis sampai pada batas waktu tertentu: masa sekarang. Sedang turâts menjadi jembatan penghubung antara masa lalu dan sekarang. Nah, dialog antara sejarah dan masa kini bisa terlaksana lewat turâts. Menurut Thizini lagi, bahwa massa mempunyai dua dimensi: istimrâriyah dan allâ istimrâriyyah. Kontinuitas dan diskontinuitas merupakan perpaduan dari sejarah dan turâts, yang titik tolaknya adalah kejadian dalam satu masyarakat pada masa lampau. Dari sini muncul idenya tentang Dialektika-Histo-turatsi (jadaliyyah târîkhiyyah turâtsiyyah), yang dijadikan pisau analisis. Sejarah dan turâts harus dikaji secara komprehensif. Keduanya selayak mata rantai yang tidak bisa terpisah satu dengan yang lain. Artinya, turâts harus diletakan dan dikaji dalam frame proses dialektika sejarah. Dan ketika 'dialektika' dibubuhi dengan 'materialisme', maka yang dikehendaki adalah dialektika versi Marx yang menempatkan sepenuhnya dialektika pada materi dan menjadikan materi sebagai titik sentral pandangannya tentang sejarah manusia. Selain itu, Thizini sebenarnya mengakui pluralitas metode dalam proyeknya. Terbukti, ia terkadang terlihat idealis dalam menganalisa sejarah Arab Islam. Ia mengatakan, Arab-Islam tidak tepengaruh sama sekali dengan kebudayaan dari luar: kebudayaan Yunani”, jelas Hadidul Fahmi.


Pada akhir presentasinya, rekan Nur Fadlan memberikan catatan-catatan ringan atas makalah dan presentasinya. “Struktur prosedural proyek Tayeb Thizini memiliki dua lokus penting: pertama kebangkitan bangsa-bangsa Arab-Islam dan memurnikan kembali misi-visi Renaissance. Ini adalah dialektika pembebasan dan perubahan paradigma berfikir, bertindak guna mencapai konsesus yang “benar-benar baru” dan meyakinkan bermanfaat secara cepat-praktis kepada ummat, ditengah bangsa-bangsa Arab Islam sedang didera tantangan dan konfrontasi yang tak berkesudahan. Tentu hal ini akan berhadapan dengan hambatan yang akan menghadang kemudian, diantaranya, Fundamentalisme, kaum “pemuja literal-teks” dan Islam Politik. Tapi, perlu penulis akui, makalah sederhana ini tak lebih sebagai awal batu tapal dalam kajian kritik Tayeb thizini dan masih jauh dari kesempurnaan.



***

Setelah hampir lima jam, diskusi pun usai. Dilanjut pembahasan tema baru dan hari-waktu diskusi selanjutnya. Hal ini dipimpin langsung oleh koordinator Lakpesdam, Ahmad Hadidul Fahmi.


Sementara ini ada dua tawaran tema. Yang pertama melacak akar fundamentalisme agama besar, kedua, mendedah pemikiran pemikir Arab-Islam paska Jabiri, Arkoun, Khalil Abdul Karim, Nashr Hamid Abu Zaid, dll. Setelah terdapat penjelasan di masing-masing tema, dan melalui pertimbangan matang dari semua rekan Lakpesdam, secara aklamasi diputuskan tema selanjutnya, yaitu, mendedah pemikiran pemikir Arab-Islam yang baru-baru ini mulai terdengar gaungnya di Timur Tengah. Nama-nama tersebut semisal Abu Ya’rab al-Marzuqi, Thaha Abdurrahman, Musthafa Bouhindi, ‘Ali Harb, Yahya Muhammad, dll. Sedang diskusi selanjutnya adalah “Kritik Proyel al-Tsâbit wa al-Mutahawwil Adonis”, pada tanggal 28 Februari 2010. Pemakalah rekan Khozin, serta rekan Fahmi farid Purnama sebagai pemandu diskusi. [Ronny El Zahro]