Friday, December 25, 2009

Pers dan Etika polemik


Pers dan Etika polemik


Sengketa Media

Di Indonesia, kasus sengketa pers tidak diselesaikan dengan hukum perdata dan/atau pidana. Tapi lewat hak jawab dan hak koreksi. Ini mendapat legitimasi berdasar Undang-undang Pers No. 40 tahun 1999, jika diurai harus menempuh jalur ketiga teruntuk masuk tahap pidana: pemenuhan hak jawab dari narasumber oleh media, pengaduan pada dewan pers dan, terakhir, jalur pengadilan. Itu di Indonesia. Bagaimana di Masisir?

Baru kemarin, tentu masih lekat pada memori kita: sengketa pers antara buletin Informatika vis a vis (buletin) PPSU 2009.
Beberapa hal berkait pemberitaan di buletin Informatika pada edisi interaktif khusus Pemilu Presiden PPMI 2009 dianggap oleh (buletin) PPSU 2009 tidak memenuhi standart berita; dan sangat patut untuk diperkarakan, selain, menurutnya, itu menciderai netralitas dan independensi pers.

Menariknya, formula penyelesaian dalam sengketa itu mirip, atau merujuk, pada undang-undang pers No.40 tahun 1999—meski masih secara semu; dimana Informatika mempersilakan Buletin PPSU 2009 untuk menggunakan hak jawab dan koreksi. Meski masih kental dimensi kekeluargaannya, tapi itu sudah cukup mendidik.

Dari kasus di atas sebaga titik pijak, semerta penulis akan mengurai berkait hal yang mengitari sengketa pers dan beberapa hal yang sekiranya perlu untuk diperhatikan oleh khalayak.


Masisir dan Kebebasan Media

Secara ‘legitimet’, di Masisir tidak ada aturan normatif terkait media; tidak ada badan hukum atas ‘kasus-kasus’ terkait pers. Apapun jalur penyelesaian yang rekan-rekan media tempuh, itu masih bersifat kekeluargaan. Meski formulanya sama persis, namun kekerabatan masih menjadi satu-satunya unsur vital. Kekerabatan yang barangkali sangat manusiawi dan penuh kasih itu tentu selamanya ‘dinamis’. Dan pastinya yang diharapkan dari setiap aturan-aturan normatif ialah ia yang konsekuen dan prinsipil. Maka, keberadaan ‘Dewan Pers’ sebagai fasilitator dari dua hal sakral dalam dunia Pers, yang sementara ini masih ada—hanya—dalam jiwa-jiwa insan media, perlu diejawentahkan.

Dilema terjadi: di Masisir tak ada persatuan-kumpulan ‘antar pers’, berikut BPA PPMI, sebagai badan legislatif dan yudikatif, lumpuh dalam fungsi yudikasinya, bahkan bisa dibilang tak ada untuk urusan pers. Tentu harus memiliki alasan, boleh jadi pemerintah—dalam hal ini PPMI—memang acuh, atau ia merasa tengah memiliki peluang besar untuk mencipta citra diri di benak publik melalui media yang dikesankan bebas sebebas-bebasnya.

Meski sedemikian itu adanya, bukan berarti dua hak sakral itu tidak terpakai secara otomatis. Jika melihat fungsi, itu harus ditradisikan untuk mengatur tertibnya perihal sengketa pers; tentu hanya berdasar “kesadaran dan tahu diri” dari masing-masing pihak. Begitu kala memaparkan hak jawab maupun koreksi; hendaknya disampaikan dengan baik. Seperti yang saya pernah tulis: makna dari kata baik itu mempunyai dua catatan penting, benar dan santun.

Dewan Pers

Menjadi kewajaran kala berita-wacana-informasi tampil dengan reduksifikasi-reduksifikasi yang hadir dari subjektivitas atau ada dorongan dari pihak lain, dan tentu yang semacam ini patut diperkarakan. Bahkan harus disengketakan, guna meningkatkan kualitas tradisi jurnalistik Masisir. Dan barang tentu pula bukan melalui hukum pidana atau perdata, tapi hak jawab dan koreksi; dua hal sakral di dunia Pers.

Pertanyaan yang kemudian muncul: bagaimana langkah-langkah etis yang harusnya ditempuh guna mendapat dua hak itu?

Dewan pers hadir tak bisa lugu, tapi harus menjadi kesepakatan semua lini pers dan pemerintah—barangkali, dalam konteks di sini PPMI bisa mewakili pemerintah itu. Kesepakatan itu, nantinya, yang diharapkan bisa menjaga netralitas, sekaligus mengkompromikan independensi masing-masing dari setiap media. Sehingga apa yang disebuh kode etik jurnalisme (pers) bisa benar-benar dipahami sebagai yang tak berlawanan dengan hak bebas media.

Kata proporsional dan lugas, juga bisa membebek pada artikulasi kata benar tersebut: proporsional dalam ranah yang perlu diklarifikasi. Sebagai misal, dalam sebuah wawancara; validkah atau hanya sebatas rekonstruksi wawancara dari sana sini—perlu diketahui: rekonstruksi wawancara itu sah, tapi etikanya tak dijadikan head line; sumber data-berita; logika penulisan yang tak sesuai dengan realita yang kebetulan terjadi. Tentu sebagai rujukan standar dasar dalam pola penulisan berita yaitu, lima huruf W plus satu untuk huruf H.

Begitu pun tak bisa abai dengan makna kata santun. Kala kita menulis, apalagi kala menanggapi, secara tak sadar, kita diikat oleh apa yang sering disebut etika. Sedemikian itu bisa merembes dalam ranah formula penulisan atau pemilihan diksi. Hendaknya, tanggapan lebih berlandas-fungsi pada maslahat, bukan sebaliknya; memunculkan friksi baru semerta menjadi berkelanjutan. Seyogyanya kita bersikap manusiawi, meski tak mengawali. Jadi tak semena-mena menyudutkan, apalagi dengan menyulut ‘api’ baru.

Setelah itu, sepertinya perlu dari elemen-instansi Masisir yang mempunyai fungsi legislasi-yudikasi, mempunyai ‘gairah’ untuk memikirkan perihal hal ini, sengketa pers: bagaimana penyelesaian sengketa ini bisa usai dengan memenuhi standar legitimasi hukum formal ‘ala’ Masisir, begitu pun sisi kultur-tradisi tak tercerabut hilang begitu saja, apalagi usai dengan amoral. Tak jauh, juga tak terkecuali bagi khalayak yang mempunyai otoritas penuh dengan kata jurnalis, laiknya ada instrumen konsepsi untuk membentuk sejenis perkumpulan antar Pers menjadi satu semerta membentuk dewan pers dari masing-masing perwakilan. Meski mini tapi fungsi dari dewan pers sangat penting, bukan eksklusif untuk rekan-rekan Pers sendiri, tapi lebih dari itu: untuk khalayak, Masisir.




Ronny El Zahro
Kyai Khos Pesantren Afkar
PCINU Mesir 2008-2009



Soe Hok Gie-Centurygate, hanya Kesan Biasa


Soe Hok Gie-Centurygate, hanya Kesan Biasa

Tepat pukul 03.25 waktu Kairo, selesai aku membaca buku “Catatan Seorang Demonstran” punya Soe Hok Gie. Tak lebih, kata orang, dari sebuah catatan harian seorang mahasiswa, memang, tapi semangat-subtansi yang ingin dimunculkan begitu mulia: setia pada keadilan dan kebenaran. Pun sangat aktual isu yang didiskredikan dan, selalu, dilawan S. Hok gie: korupsi, politik praktis yang busuk, dan membangun generasi muda yang “tak cengeng”, dengan keadaan sekarang, ke kini-an tentang Indonesia. Bangsa Indonesia.

Meski demikian, saya berpendapat, masih banyak serpihan pemikiran-pemikiran cemerlang dan utuh Soe tak tampil-muncul di sini; Di buku Catatan Seorang Demonstran. Semerta potongan terlampau panjang pada buku itu, tahun 64-66, kalau diingat, tahun itu sangatlah penting dan, barangkali, erat kaitannya dengan proses perubahan-penggulingan Soekarno, Orde lama, ke Soeharto-Nasution dan Hamengkubuwono. Meski kalau melihat tahun terbitnya buku ini, kata ‘maklum’ akan terucap; tepat, sungguh, mewakili kondisi kala itu.

Dalam waktu terbilang lama, empat hari, saya menikmati catatan harian Soe hok gie; juga menonton kembali Film Soe Hok Gie, dan pengakuan sahabat-sahabatnya di kick andy, tak ketinggalan adik kandungnya. Di situ saya coba mengurai imaji-abstrak di buku, divisualisasikan dengan “film dan pengakuan-pengakuan” itu. Mulai perawakan-karakter sepintas Herman Lantang, Aris tides, badil dan, barangkali, Perempuan-perempuan yang deket dengan Gie; termasuk Maria. Dan bagaimana, komparasi, karakter Soe antara buku itu dan pengakuan temen sejawatnya. Nyaris sama, sempurna.

Soe Hok Gie saya cermati nyaris sempurna: orang yang punya konsep, semerta mengurai-mengaplikasikan konsepnya di dunia Nyata, sesuai dengan kondisi yang paling aktual. Di mana “pemikiran utuh begitu pun pergerakan mempunyai karakter”, sedikit insan manusia yang mempunyai karakter seperti ini. Lebih baik menyalakan Lilin satu dari pada mengutuk keadaan. Tapi Gie tidak: kedua-duanya. Mengutuk keadaan, semerta menyalakan lampu, bukan hanya lilin.


***
Semangat isi buku itu selalu aktual, seperti tertulis di atas: Korupsi, politik praktis yang busuk dan membangun generasi muda yang “tak cengeng”. Hal ini terlihat ‘suci’ kala diiringi kesetiaan sejauh-jauhnya pada kejujuran dan keadilan, dan itu sudah dilakukan Soe. Lebih baik diasingkan-dicaci dari pada setia pada kemunafikan, begitu katanya, Soe. Dalam tulisan lain: hanya ada dua pilihan dalam keadaan seperti ini, yaitu Idealis atau apatis. Rasanya aku memilih yang pertama.

Demonstrasi, akan selalu muncul dalam keadaan seperti itu: korupsi menjamur ke mana-mana dan “para politisi-nya serba busuk”, dan di sisi yang bersamaan rakyatnya menjerit ‘lapar’. Meski dengan motif dan bejibun kepentingan yang berbeda. Mulai dari angkatan ’66, peristiwa Malari, ‘tanjung priok’, reformasi ’98 dan, di era kekinian: kasus cicak vs buaya dan Centurygate. Semerta perubahan-transisi gerak mahasiswa Indonesia, berkembang dengan pola yang nyaris sama: dari Idealis menjadi oportunis. Sedikit sekali yang tetep teguh pada idealismenya. Baik itu angkatan ’66 atau pun ’98, sama. Selain di buku itu, banyak fakta-fakta yang begitu mengejutkan, Ilmuan yang sekarang dipuja-dielu-elukan tak lebih dahulu di dapat dengan proses ‘menjilat’. ‘Harian’ Ibukota yang masih eksis, juga demikian; sedang keukeuh dengan idealisme terpental lalu diberedel. Dan satu lagi: Revolusi-reformasi Indonesia tak lebih hanya berpindahnya kepentingan golongan satu ke yang lain. Sedang ‘lapar’-nya rakyat tak lebih alat instrumental saja. Hanya itu, tak lebih. Hal itu, barangkali, terjadi di “cicak vs buaya dan Centurydate”.

Kalau boleh saya membaca sejenak, akhir dari ‘centurygate’ akan ada ‘dagang sapi’ lagi. Entah itu di pansus atau di resaffle menteri nanti... , Susilo bambang Yudoyono yang kebetulan Presiden RI sekarang, beliau itu orang baik, tapi tragis dan sepi. Terlalu sering berkomentar dengan bahasa tubuh yang tergesa-gesa, tak jarang ada kesan marah-kesal, dan ini tak baik bagi beliau: kepala negara dan kepala pemerintahan, sungguh(?)

‘Dagang sapi’ secara politis, bisa dilihat, tak lebih karena ketidakpuasan atas ‘jatah’ partai koalisi. Partai apa itu, saya tak tahu. Sedang ‘centurygate’ alat instrumental untuk itu. Selain fakto adu kekuatan ‘spekulan’ besar untuk tetep mempertahankan bisnisnya, dengan membunuh musuhnya. Itu sudah terlihat. Dalam keadaan seperti ini, gerak langkah partai dengan karakternya masing-masing. Partai yang sudah puas dengan ‘jatahnya’ tentu tenang, meski sesekali cuap-cuap. PKS dan PPP contoh yang jelas kelihatannya. Sedang Golkar, PAN, dan PKB setidaknya getol untuk ‘merecoki’, menguak skandal century bahasa apik-halusnya; tentu dengan motif-kepentingan yang cenderung beragam. Hal ini begitu cantik dimanfaatkan, sebagai Instrumen, oleh PDI Perjuangan-Hanura dan Gerindra untuk menaikkan citra partainya. Melakukan fungsi kontrol katanya. Begitukah lugunya, saya tak tahu?

Namun, kalau boleh berharap-mempunyai ingin kuat: semoga skandal century, centurygate bahasa ‘ngerinya’, semoga berakhir dengan baik. Transparan, tanggung jawab, fair dan cepat itu bukan hanya ‘slogan lipstik’; barangkali, tanpa tendensi kepentingan busuk itu tereliminir dengan sadar. Dan terpenting, aliran dananya jelas dan tabungan nasabah kembali dengan sebagaimana adanya. Itu saja, mungkinkah(?)

Dan pesanku untuk oknum, partai dan golongan yang terlibat di skandal century, selain harus melalui hukum positif yang berlaku: pertama, oknum siapapun yang terlibat, silakan lenyap di dunia publik. Tak perlu “renge’an” anda muncul di publik lagi dan jalani hukuman dengan baik, agar Indonesia bisa tersenyum. Kedua, kepada Partai politik —apapun partainya, baik itu partai pemerintah, oposisi, bahkan partai Islam tulen sekalipun—silakan bubarkan saja partai itu, membubarkan diri itu lebih baik. Tak perlu ada partai yang tega merampok uang rakyat, selain visi-misi pendirian partai politik itu sudah tercederai. Sungguh? Ketiga, golongan: silakan hidup damai di bumi butera Indonesia, tapi silakan bubarkan saja golongan itu. Termasuk Ormas, sayap kanan-kiri partai, Yayasan-yayasan tak bernilai sosial itu dan lain seterusnya. Kemudian, silakan Indonesia melaju bak ‘burung burok’: cepat dan terarah. Sedang, kita, generasi muda, tak perlu cengeng.

***
Kembali ke Soe Hok Gie, semangat-spirit yang ada pada diri Gie: jujur pada keadilan dan kebenaran dengan lurus dan sejauh-jauhnya akan selalu dirindukan khalayak; selain yang punya seperti itu sedikit, nyaris tak ada. Di samping itu, perawakan-karakter seperti Gie, saya bayangkan, sangat kesepian dan, sungguh, capek. Sungguh, patut, kasihan. Kendati demikian itulah perjuangan, dan selalu dicari.

Benar Gie bukan malaikat, suci. Tapi totalitas dan kesadaran setia pada keadilan dan kebenaran itu, sungguh, patut diapresiasi. Pertanyaan terlintas: berapa banyak Mahasiswa, politisi, intelektual dan Ulama yang memiliki spirit layaknya Soe hok gie? Jawaban spontan muncul: Ulama meniru Nabi Saw, Isa As dan Musa As. Lalu bukanya Nabi Saw, Isa As. dan Musa As. Itu pun totalitas dan penuh kesadaran setia kebenaran dan keadilan? Berapa banyak ‘mahasiswa salon’, Politisi busuk, dan pelacur Intelektual itu? Lebih dominan mana dengan Politisi-intelektual-mahasiswa Idealis? Tak perlu dijawab, tapi butuh dibuktikan.