Monday, October 26, 2009

Netralitas yang Terluka


Netralitas yang Terluka


Beberapa hari yang lalu saya membaca tulisan unik di sebuah media lokal Masisir (red: Terobosan, edisi interaktif, 26/08/09) dari salah satu senior Masisir: Iswan Kurnia Hasan—saya tulis ‘senior’ karena fakta objektif beliau sudah lama di sini, Kairo—dengan judul: Atas Nama Masisir.

Hemat penulis, tulisan itu menjadi titik kulminasi dari apa yang sering disebut ‘proses identifikasi’, dan lalu keharusan bersikap seorang politisi terhadap publik atau bahkan rival politiknya. Namun yang menarik, hal itu ditempuh dengan menampakkan ‘sesuatu yang tak tampak’ menjadi ‘tampak’. Saya sebut dengan ‘sesuatu yang tak tampak’ karena identifikasi tersebut berpijakpada gosip yang tak berujung asal; dengan sekarut-marut friksi yang mengitari. Tapi barangkali naluri seorang politisi akan mampu merasakan, atau boleh jadi sudah umum sebagai intuisi politik.

Melihat media massa lokal dan bahkan milis yang “rajin” menyoroti PKS, memberi satu titik simpul pada seorang Iswan: PKS itu ‘seksi’. Meskipun pada saat yang sama kritisisme terhadap media telah tercampakkan sedemikian rupa. Maka dengan polosnya ia menuliskan, ‘akhirnya PKS menjadi issue maker yang paling ampuh di Masisir’.

Di dalam tulisan ini, saya tidak ingin luruh dalam dilema pro-kontra opini politisi tersebut, tapi sebatas memakainya untuk pintu gerbang guna menguraikan hal lain sekiranya lebih perlu; tentu tak lebih dari subjektivitas penulis.


PPMI dalam Dilema Berat

Berawal dari pertanyaan: bagaimana dinamika Masisir, khususnya dalam wahana intelektual-akademis? Sebagian Masisir hampir sepakat menjawab ‘lesu’. Dan bahkan, mengalami ‘krisis’; meski secara matematis prestasi akademis terbilang naik. Lalu dilanjutkan dengan pertanyaan, bagaimana kondisi lalu lintas organisasi di Masisir? Bermacam jawaban terucap: ‘semrawut’, ‘tenang’, bahkan ada yang nyletuk: ‘sekarat’.

‘Lesu’, kata itu, mungkin, lebih mengacu pada budaya intelektual-akademis yang ironis. Banyak faktor yang bersinggung dan pastinya mempengaruhi kelesuan budaya ini. Semisal: pengaruh dunia maya, internet, dan, barangkali, program kerja Organisasi yang tidak inovatif-kreatif untuk membuat ‘greget’. Sehingga Masisir, secara massif-sadar, emoh berpartisipasi dengan program kerja yang tak greget dan kurang menyentuh khalayak itu. Akhirnya terjadi apa yang kemudian biasa terucap dengan kata ‘krisis’.

Pasalnya, hampir semua program kerja Organisasi di Masisir ini bisa ditebak: terlalu tambun diperuntukkan bagi Mahasiswa Baru (MABA). Akan tetapi pada saat yang sama keberangkatan Maba tak bisa ditetap-pastikan: selalu terlambat datang! Ini menjadi dilema tersendiri, bahkan akut. Tentu masih bejibun problema-friksi yang tak mungkin semua ditulis di sini. Namun setidaknya sudah mewakili, meski masih parsial dan hanya yang ‘tampak’ saja.

Dalam masa yang seperti ini, tentu PPMI sebagai organisasi Induk sedang menghadapi situasi yang tak nyaman dan dituntut untuk ‘tidak tenang’. Alias sesegera mungkin bergerak, bergerak ke depan! Sangat dibutuhkan inovasi-kreatif yang lebih baru, sebagai langkah awal, untuk menampung inklinasi dari Masyarakat yang kita sebut Masisir. Tak cukup menampung saja, tapi bisa menjadi ‘pengerahan tenaga-pikiran bersama’ dengan “melepaskan diri dari ‘ego’ masing-masing” guna mensukseskan apa yang telah disepakati.

Tentu tak mudah. Apalagi saat didaulatnya Presiden dan Wakil presiden 2009-2010 menyisakan tanda tanya dalam pikiran Masisir. Dan pada saat yang bersamaan pula, kala pelantikan berlangsung, terjadi insiden yang sedemikian ‘langka’ di dalam dinamika Masisir: anggota sidang Umum I ricuh meski hanya melalui ‘teriakan-teriakan’. Di samping itu, melihat masa jabatan yang sangat sebentar, satu tahun, dengan disertai bejibun program dan ritualitas kinerja yang harus terealisasi. Wajar jika saya tulis, PPMI dalam dilema berat.

Maka sangat dibutuhkan langkah konkrit kinerja semua elemen PPMI dari hulu sampai hilir sesuai sifat dan tujuan yang telah disepakati dalam AD-ART PPMI Mesir: PPMI Mesir bersifat Independen, akademis, demokratis dan kekeluargaan; membentuk mahasiswa yang bertakwa kepada Allah SWT dan memiliki kepribadian yang luhur, pengetahuan dalam, wawasan luas, kemampuan handal semerta kepedulian sosial yang tinggi. Hal ini diterjemahkan lewat program kerja, terlebih dahulu hendaknya, melalui kajian yang mendalam dan riset yang memadai. Jika memang program tersebut cocok untuk iklim Masisir, silakan terus. Akan tetapi jika perlu perubahan, sesegeralah berubah haluan menuju yang lebih progresif. Semerta itu hendaknya diracik dengan apik-cantik untuk disosialisasikan kepada khalayak secara merata; tentu bukan dengan pola sosialisasi satu arah, tapi lebih pada komunikasi aktif dua arah dalam porsi yang setara.


Peran Media dan Komunikasi Massa

Signifikansi peran media dalam memberi kesadaran publik atas opini, berita dan wacana kekinian, hendaknya dipahami secara baik. Berikut obyektivitas dan netralitas media terkait wacana-wacana yang dilontarkan. Maka mendramatisir, atau bahkan mempolitisir polemik media massa sebagai bukti ‘keterpesonaan’ publik pada PKS sangatlah tidak santun (baca: issue maker), sekaligus merupakan bacaan yang distorsif.

Maka dalam menyikapi polemik media massa, ataupun dinamika realitas harus netral dan independen. Dalam artian, menghindari reduktifikasi-reduktifikasi yang mungkin muncul dari subyektivitas atau bahkan dorongan kepentingan tertentu atas pokok masalah yang ada.

Keberpihakan media tertentu pada satu hal: khalayak. Ia netral, sekaligus independen. Selebihnya, melanggar kode etik. Dengan begini, wajar jika ada kalangan berpendapat bahwa media massa sebagai salah satu pilar tegaknya demokrasi. Dengan diikat melalui etika yang sebegitu, maka media sangat membantu berjalan lebih cepat: apa yang telah diprogramkan dari Organisasi di Masisir ini bisa ‘sukses’ dan sempurna sesuai rencana. Mulai dari media Senat dan Kekeluargaan, sebagai misal, sampai Suara PPMI. Sebagai perimbangan tentu Makar, Terobosan, dan Infomatika memiliki peran vital.

Semoga tak ketinggalan, sesuatu yang tak kalah penting, Komunikasi Massa. Hal di atas bisa diterima kala dikomunikasikan dengan baik. Dengan performa komunikasi yang tentu harus baik pula.

Dalam ranah bahasa, sederhananya terdapat dua catatan penting: santun dan benar. Dikatakan ‘benar’, jika ada informasi sebuah berita, misalnya, ‘kematian-kelulusan’; tak boleh dengan penyampaian ‘sakit-masih menggantung’. Berita sebanyak lima kalimat tak bisa direduksi menjadi dua saja, apalagi menjadi ‘provokasi’. Dan itu hendaknya disampikan dengan ‘santun’. Sebuah kekeliruan, atau perilaku kejahatan, yang terbingkis dalam bahasa santun sangat mungkin akan menjadi racun. Sedang hal benar kala tak santun dalam pola komunikasinya, akan merongrong validitas dan kepercayaan: percaya bahwa itu benar. Maka, ‘baik’ itu harus meliputi: benar dan santun.

Pun ketepatan komunikasi. Kapan berbicara teknis-terperinci, ada saatnya konsepsi. Bagaimana ber-komunikasi dengan diplomat, tentu berbeda pola komunikasi dengan rekan sejawat. Dengan diplomat sangat butuh ‘selingkuh bahasa’ dan, banyak, menyaburkan, tapi memahamkan kedua belah pihak. Sedang teman sejawat, lebih rileks dan tak naik pitam meski cerewet. Pun dengan politisi, pola komunikasi pasti berbeda.

Politisi adalah penggerak Partai Politik. Apapun partai politik itu, penggeraknya: politisi. Maka sedikit mengingatkan: jangan meleset dalam melihat partai politik, tak terkecuali partai berideologi Islam. Tak boleh kita mengimani itu. Begitu pun kepada setiap politisi: sebagai politisi mereka punya target-target politik; mereka punya partai, mereka tak ingin partainya mengecil, tentu ingin semakin tambun-membesar. Di saat yang bersamaan, aura gerakan parpol di Indonesia paham betul kehendak masyarakat Indonesia, mirip penonton film-film hollywod: filmnya happy ending, aktor utamanya menang dan yang lain entah ke mana. Itulah yang tersirat dari tulisan senior Iswan Kurnia, setidaknya dalam paragraf terakhir dengan sangat piawai meracik komunikasi massa yang runtut dan sistematis; meski pengakuannya, itu belum ketemu jawabannya. Aneh (?)

Sebelum titik perpisahan sedikit saya hendak menuliskan: semua manusia punya latar belakang masing-masing, dan berbeda pada akhirnya. Tapi bukan berarti menjadi sebuah keharusan untuk pecah, rapuh, atau pun membangkang. Malah sangat bisa menjadi kekuatan, baik itu yang bersifat transidental maupun yang lain, Imanen. Memulai dengan paradigma: heterogen itu kekuatan, tentu berpijak-bijak pada ‘pengerahan tenaga-pikiran bersama yang bulat’ dengan ”melepaskan diri dari pertengkaran-pertengkaran” tanpa melakukan simplifikasi-simplifikasi yang prinsipil. Indonesia bersatu dengan bejibun perbedaan, apalagi hanya seklumit potret dari Masisir.[]


Ronny El Zahro
Mahasiswa fak. Usuluddin Al Azhar
Baru Tingkat II
NB: Tulisan ini dimuat di Buletin LOkal Masisir: Terobosan