Sunday, March 22, 2009

Refleksi Pesantren Afkar (20/03/09)


Pantulan Pesantren Afkar;
Dari Masa Pra-Jaya-Gelap Islam, Sekarang(?)

Kemarin, kebetulan, saya ikut ‘Pesantren Afkar’—media diskusi rekan-rekan Afkar, salah satu majalah PCINU Mesir—di Sekretariat NU Mesir, Bawabah II Nasr City, Cairo-Egypt. Menarik. Sungguh sesuatu yang beda, apa yang ditawarkan Rekan Afkar semua, dari metode diskusi dan diktat-formula pembelajaran yang dimunculkan. Dalam artian, itu kesan saya mengikuti diskusi kemarin, 20 Maret 2009 di hari jum’at yang penuh ‘barokah’ itu.

Diskusi bertema Sejarah peradaban Islam, dari pra Islam sampai sekarang, dengan titik tolak ‘kitab’ yang dipakai: ‘Al-Fikr Al-Ârobi wa Makanahû Fî Al-Tarîkh’, alih bahasa dari buku ‘Arab Thoughts and Its Place in History’ anggitan De lace O’laery. Semakin semarak tentu, karena antusiasme Afkarian tidak dipertanyakan lagi disambut pula mentor ini kali: K. Ahmad Gynandjar Sya’ban alias masyhur dipanggil rekan Atjeng. Beliau adalah senior afkar, dan sekarang menjadi kontributor beberapa media Nasional dan reporter Resmi NU Online di Kairo-Mesir dan sekitarnya.

Dalam sejarah peradaban, ungkap Atjeng untuk mengawali presentasi, sesuatu yang wajar dengan apa yang disebut saling keterpengaruhan dan, barangkali, takluk-menaklukan. Terbukti, salah satunya, dahulu, Romawi takluk pada Sasania-Persia, Yunani dengan Romawi; beberapa Imperium besar lainnya: Abraham, Suryani, Hindia dan di Ujung timur sudah ada Cina. Juga, ketika terjadi penaklukkan, di saat yang sama-niscaya akan terjadi asimilasi-akulturasi budaya-peradaban. Saling tarik ulur, Hegemoni dan, mungkin, tak jarang toleransi antar sesama. Itu untuk pra Islam, sambil menunjukkan peta dengan alat video-visual: "History of Religion" dan "Map of Imperial in Middle East".

Kala itu pula, sudah berkembang, Filsafat di Yunani. Sistem administrasi yang teratur di Romawi. Agama paling Tua di Hindia, beberapa capain-capaian lain yang digjaya kala itu. Dalam Filsafat, tak jarang kita mendengat Ariestotelian, helenistik(Red: Helenisme), dan aliran-aliran Filsafat lainnya. Di Sasania, juga udah ada toleransi-egaliterian pertama dalam sejarah Dunia: Syrus yang kala itu menganut Agama milik Zoroaster, mani’, Ia membebaskan rakyat untuk memeluk agama-kepercayaan apapun yang diyakininya. Hal ini disokong, menurut Syrus, semua agama tak lain-tak bukan hanya “jembatan” untuk menuju sang Maha ber-cahaya, yang Maha Tinggi: Tuhan Yang Maha Esa. Sedang pintu-jembatan-nya bisa melalui berbagai macam jalan. Lain sisi, Romawi, kala itu secara bersamaan, kerajaannya menerapkan “Trinitas Kristiani” sebagai madzhab resmi Negara. beda 360 derajat dengan kepercayaan Kristiani di Timur: Semenanjung Arabia yang kala itu masih Virgin-perawan memeluk Agama Kristen: Monotheisme. Maka meraka bukanlah yang mencetuskan Tuhan Allah, Yesus( nabi Isa dalam bahasa umat Islam) dan bunda Maria itu adalah satu entitas. Menurut O’laeri, kepercayaan-pemahaman itu sarat sekali dengan pengaruh Filsafat Helenisme dan Tradisi Barat kala itu. Sedang di timur, yang masih perawan itu, berkeyakinan: Tuhan Allah itu adalah Tuhan, Dzat yang maha Tinggi; Bunda Maria dan Yesus itu tak lain hanya Ibu dan Anak manusia Biasa yang diberi derajat yang “khusus” Oleh Tuhannya. Sang Dzat Yang Punya-Buat Jagad raya. Tak ayal, ketika Islam berkembang di Timur, Semenanjung Arabiya, Islam Mudah dipaham-diterima oleh Agama-agama samawi.

Arab, suatu wilayah, bias dikatakan tertinggal-tandus; “ndeso” dalam bahasa jawa. Di awal abad ke 6 Masehi, Ia, Arab, mulai di lirik. Mulai diperhitungkan setelah lahir-diberi petunjuk Oleh Sang Dzat Yang Maha tinggi: Muhammad ibn Abdullah. Dalam kesendiriannya dia mulai berenung-berfikir akan kemajuan. Akan kearifan-kebajikan yang seharusnya, sampai “petunjuk” meresap-merayap dalam sanubari. Di sokong pula “tanda-tanda” dari biarawan-pendeta agama Samawi: Waraqah ibn Naufal salah satunya. Didapuklah kemudian Ia pengemban risalah terakhir dari “Sang Dzat Rahman-Râhîm”.

Tak ayal, sekelebat Arab menjadi lirikan yang menarik. Menjadi salah satu alternative peradaban yang patut untuk diperhitungkan. Mulai dari sisi Ekonomi, sosial-Masyarakat, dan stabilitas politik yang belum pernah tercermin sebelumnya: sistem Syura. Meskipun wahyu Illahi di tangan kanan, dan hadits di sebelah kiri. Dan sebagaiman Syrus, Ia memerintah dengan adil-tranparan; mungkin, bimbingan wahyu. Menyebarkan Ilmu dengan penuh sabar-tegar. Tanpa ada paksaan sama sekali, apalagi darah menetes. Syahdam dalam sekejap, Arab benar-benar jadi menarik-molek. Bertolak dari yang sebelumnya, tandus-primitif-tak jarang perang antar Kabilah.

Setelah ‘kanjeng’ Nabi Saw. Berserta sahabat, lalu Umayah berkuasa. Berkuasa melalui ‘darah’: perang siffin dan jamal menjadi bukti Konkrit. Juga, pergolakan Politik yang kesekian setelah arbritase Syaidina Usman Ra. Muawiyyah, penguasa pertama wangsa Umayyah, juga mengganti dengan sepihak pola-formula pemerintahannya: dari Syura-Baiat menjadi Sistem kerajaan; menurut Al-Baghdady dalam karya monumentalnya: ‘Ahâdits Al-Dunya’, suatu system pemerintahan-kekuasaan Politik yang tak pernah dikenal Oleh Orang-Umat Arab.

Dalam Khilafah wangsa Umayyah, memang terjadi capaian-capaian yang tidak bisa kita kesampingkan: perluasan Wilayah yang akut. Arabisasi wilayah Timur tengah, dari mulai semenanjung Arabia sampai Mesir dan Persia. Arabisasi: baik dari administrasi, Gubernur, dan kebijakan Politik: Arab oriented. Lain sisi, sebagai Oposisi, lahirlah Golongan Sufi-Zuhud-Teolog: Hasan Al Basri. Selain Hasan, juga muncul Murji’ah, cikal bakal Muktazilah, Khawarij dan beberapa sekte pinggiran lainnya. Hasan, selain menjadi Oposisi wangsa Umayyah, Ia juga menelorkan Konsep Teologi, yang kemudian pergolakan Secara Konsepsi pun tak terelakkan. Kesadaran Teologi-secara konsepsi pun Muncul. Meski mash sederhara: sabar, “Manzilah Baina Manzilatain”, Khasab, dan peribadatan Amali lainnya. Hal ini, juga sebagai kritik kepada penguasa kala itu; bahwa Islam itu lebih dekat pada ke-sederhanaan, kesahajaan, dan kearifan. Bukan otoriterianisme, Borjuis, Foya-Foya dan seolah, pemimpin sebagai Tajjaliy Tuhan-Kanjeng Nabi.

Wangsa Umayyah Runtuh, berganti Abbasiyyah. Ia berpindah dari Semenanjung Arab ke Cordoba: Spayol sekarang, menjadi Umayyah Jadidah. Berubah secara signifikan, baik dari system pemerintahan: dari Arab Oriented menjadi Otonomi—akibat kecemburuan Umat Islam Non-Arab. Sentralistik menjadi, bisa mengakomodir kepentingan secara merata luas-lebih baik.

Capaian lain, selain dalam segi pemerintahan, peradaban Ilmu yang tak bisa terbantahkan. Segala macam Ilmu pengetehuan. Baik dari Islam sendiri: tafsir, fikih-usul Fikih, Hadits dan lain hal, juga Ilmu-Ilmu serapan: Filsafat, Ilmu teologi, kedokteran Fisika, Eksakta, biologi dan lain hal lagi. Penerjemahan besar-besaran juga sangat baik dalam perkembangan Ilmu pengetahuan kala itu. Baik dari Yunani, Suryani, Persia Kuno, Romawi dan Bizantiyum. Sungguh tak bisa dibayangkan. Muncul pula Ulama-Ilmuan Kondang: Imam Syafi’i-Abu Hanifah misalnya sebagai representasi Ulama Fikih, al Khawarijmi representasi Ulama Eksakta, Al Kindi-Al-Farabi-Ibn Sina representasi Filosof kala itu. Dan masih bejibun Ulama.

Di saat yang sama-bersamaan, di Cordova ada Wangsa Umayyah Jadidah. Ia-mereka tak kalah Apik dalam segi peradaban-pengetahuan. Baik dari segi tafsir, Fikih, filsafat dan lain hal. Muncul pula Ulama-Ilmuan Kondang. Mulai Abu Dawud, Al Syatibi sampai Ibnu Rusyid. Di bawah peta Abbasiyyah, juga muncul representasi Ulama-Ulama Syiah: Dinasti Fatimiyyah. Sungguh tiga Imperium besar: Abassyiah, Fatimiyyah dan Umayyah Jadidah. Wajar kalau ini bisa dibilang puncak dari peradaban Islam. Pengetahuan Islam Pula, yang sekarang menjadi Mimpi Umat Islam di Jagad Raya ini.

Dalam waktu sebentar Imperium ini hancur. Bejibun kebanggaan pun punah tanpa bekas. Di barat, wangsa Umayyah Jadidah, di serbu tentara Isabella dan Ferdinand. Di timur, Abbassyyah, serangan dari dalam oleh tentara saljuk dari Turki dan diporak-porandakan Jengis khan: tentara Mongol. Sedang Fatimiyyah ganti Formasi dari Syiah menjadi Sunni: Dinasti Ayubiyyah. Di Barat terjadi Apa yang layak-masyhur disebut Inkuisisi: kalau tidak mau masuk Kristen mati dengan cara dipenggal. Kemudian semua hasil peradaban Islam diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Spayol-Inggris dan perancis. Di Timur hancur lebur tanpa sisa meski kemudian Jengis Masuk Islam: berucap ‘Syahadatain’. Sedang Ayubiyyah bersibuki menahan tentara Salib.

Baru setelah beberapa dekade, Islam (tepatnya peradabannya) “berganti kulit”: Abbassyiah menjadi Turki Utsmani atau Ottoman, Ayubbiyah menjadi Dinasti mamluk dan di barat tinggal puing-puing yang berganti Simbol: dari Islam menjadi Kristeniani. Di sinilah titik tolak kemunduran Islam. Dari segi Pengetahuan, dari muallaf menjadi Syarah, talkhisan dan kemudian dikomentari lagi. Hampir tak ada karya Ulama skolastik yang orisinil capaiannya sendiri. Pemerintahan yang sangat, boleh dibilang, Otoriter. Wajar, barangkali, dikata Abad Gelap bagi umat Islam kala itu.

Di barat, pengaruh Rusdiyan sangat kental pada Rennaisance. Awal mula pencerahan di Eropa; Aufkalrung dalam bahasa Afkarian. Penerjemahan nomenklatur itu sangat sarat pengaruh dan bisa terasa sampai saat ini. Tak aneh mereka, barat, berterima kasih pada Umat Islam: khususnya Ibnu Rusyid dan beberapa rekannya. Atas gagasan, Ide pencerahannya: Rasionalitas.

Sedang tugas kita saat ini, menurut saya: mengambil spirit pencerahan Islam di Abad silam. Bukan untuk menjiplak masa lalu dibawa ke masa sekarang, lebih dari itu: bagaimana kita menyerap spirit Pencerahan, dari rasionalitas, irfanî, Humanisme, dan beberapa hal positif untuk di bawa di masa sekarang. Ingat, hanya spirit bukan jiplakan. Jadi, bagaimana kita bersikap proposianal terhadap kejayaan masa lalu kemudian ditransformasikan, seperti kata Husein Muruwwah, di masa-zaman sekarang dan akan datang. Bukan yang lain(?)


Monday, March 9, 2009

Berkait Plagiator


Ada Plagiator, Aku Curhat(?);
Seklumit coretan dari “aku”

Barusan, saya membaca beberapa tulisan: minimal tiga tulisan. Kurang lebih, dalam tulisan itu tertera beberapa hal yang kiranya mengharuskan ‘aku’ meng-kerinyit-kan kepala berkait topik-isi tulisan: kurang lebih tentang plagiasi. Plagiasi di sini, sesuai yang saya baca dalam tulisan itu, bukan ide, bukan kutipan lalu di beri rujukan, bukan pula berkait tentang judul. Tapi plagiasi bersifat “copy paste” hampir 90
% tulisan. Dua tulisan selanjutnya, berkait tang-ga-pan dan re-aksi “pasrah diri”. Pasrah, lalu meminta maaf. Salut.

Dulu, ketika saya baru di up-grading di Afkar sekitar tahun 2006, ada salah satu presentator membahas berkait tentang itu. Mas Aang Asy`ari namanya: dia yang memaparkan berkait kelindan tentang plagiasi. Kala itu, saya yang baru datang ke sini, di negeri ini (red: Mesir) belum tahu bagaimana baiknya menulis(?) bagaimana harusnya bersikap dalam hal berkait tentang tulisan(?) dan, bahkan, belum tahu dan belum pernah menulis. Apa itu menulis(?), diberi materi tentang itu yang menurut hemat saya bukanlah tema yang ringan. Namun, saya berusaha mengikuti. Di presentasi itu, mas Aang berpendapat, untuk penulis baik-layaknya menjauhi sejauh mungkin apa yang disebut plagiasi. Itu kejahatan terbesar berkait tentang tulis-menulis. Lalu, penulis sangat dituntut untuk itu. Maka, kala menulis beberapa kali kita mengkutip, baiknya, jangan sampai melupakan untuk menyertakan rujukannya. Ini bagian dari proses kita untuk lebih baik dalam hal tulis-menulis, di samping kejujuran intelektual berperan di sini. Itu waktu, saya yang masih ‘culun’, manggut-mangut saja. Hanya meng-iyakan. Barangkali(?)

Sedang, di tahun 2007 M., saat Afkarian juga up-grading—angkatan 2007-2008 M—, kak Mawhib juga sempat membahas tentang plagiasi. Kata kak Muhib, sebagai penulis plagiasi hal yang paling buruk untuk dilakukan. Di samping “mematikan” akal, itu juga bisa di sebut “penjahat” Intelektual. Sedang dalam ber-proses, kita selayaknya untuk tidak mendekat dengan kata itu. Apalagi melakukan.

Plagiasi pun, masih kata kak Muhib, ada beberapa corak. Dia mencoba meng-elaborasi dari tulisan-tulisan beberapa Wartawan-penulis handal salah satunya adalah Farid Gaban—wartawan senior yang pernah “nongkrong” di tempo— yaitu, mulai dari plagiasi yang hanya berbentuk Kutipan tanpa data yang dirujuk sampai plagiasi yang bersifat Ide. Model kutipan mungkin sudah ‘mafhum’ kalayak, tapi pola plagiasi Ide ini yang kadng kala dikesampingkan. Misal, saya sedikit mencontohkan, kak Muhib kemarin bilang:” Ron, aku mau nulis tentang ‘A’ dan saya mau kirim ke media ni h, kamu punya tambahan Apa tidak? Saya menjawab. Tapi kemudian saya juga menulis tentang “A” juga dan saya kirim ke media juga—meski beda media—, itu pun, kata Farid Gaban juga di-Amini oleh Kak Mawhib: termasuk plagiasi. Tapi hanya dalam ide, meski masih belum ada ke-bersepakatan dalam hal ini. Sala tidaknya belum jelas. Menurut kak Mawhib, Justru ini yang menjadi puncak Plagiasi. Fatal sekali. Itu katanya, mungkin(?)

Di milis, minimal yang saya ikuti, ini hal juga menjadi ‘barang’ sensitif. Dari penulis kroco, sampai penulis senior-kawakan. Setidaknya saya juga menemui kasus ini: juga di tiga kasus di Milis. Di Jurnalisme, Kmnu 2000 dan, sekarang, barangkali, di PMIK; milis, yang katanya, terbesar di Kairo-Masisir. Meski belum ada “survey” tentang ini, hanya asumsi bersama saja.

Pola bersikap dari beberapa Milis itu pun ber-beda. Di Jurnalisme sang plagiator dikeluarkan dari milis. Di Kmnu 2000 hanya dihujat habis-habisan: mulai dihakimi yang bersifat halus-kasar, sampai dicari tahu dari mana dia menulis, tulisan apa aja yang di plagiat. Juga tidak berhenti di milis. Bahkan, sampai di Multiply-blog-nya pun di selidiki: apakah tulisan ada tulisan yang diplagiat di sana? Celaka-hancurnya, sang penulis yang tulisannya di plagiat juga ikut dan aktif di milis itu. Di KMNU 2000. Sedang untuk Di PMIK belum tahu(?) sepertinya ‘member’ milis ini juga belum banyak yang mempermasalahkan. Atau memang tidak dipermasalahkan.

Kalau saya boleh berpendapat, kita harus bersepakat: plagiasi adalah hal jahat. Harus kita kutuk itu. Tapi, selain kita memberikan “catatan”, memberi nilai merah akan hal itu, baik-layaknya kita juga memberikan solusi-solusi; meski saya bukanlah penulis handal-populer-terkenal. Khususnya untuk penulis pemula seperti saya ini. Sedang untuk solusi, penulis awal layaknya betul-betul memahami tata-cara pengutipan: pemakaian ‘in-note’, ‘end-note’ ataukah, hanya, barangkali, pakai ‘foot-note’, atau barangkali, kutipan langsung-tak langsung. Beserta hal teknis berkait tentang itu. Semisal, problem penulisan Kutipan, catatan kaki, dafar Pustaka (kalau mau menulis Buku) dan beberapa cara tentang metode yang disepakati—karena setiap kelompok-penerbit punya juklak sendiri-sendiri, meski ada kebersepakatan secara umum-massif.

Alfien Qorrina, rekan perempuan saya( mahasiswa UGM jogja semester akhir), yang kini sedang menulis tentang “Pasal Global dan Krisis Finansial”, kata dia ketika chating pada saya: menulis skripsi itu tidak memakai Foot-note. Tapi ketika presentasi skripsi, bimbingan pada dosen, lalu ketika mengajukan tulisan, di situlah kita dituntut kejujuran intelektualnya. Karena semua rujukan, di bawa dan harus sanggup untuk membuktikan: bahwa kita tidak ada kutipan tanpa rujukan, alias tidak ada plagiasi.

Maka, kembali berkait PMIK, kalau memang sudah ada comment meminta maaf ya…, dimaafkan. Tapi, sedikit ‘catatan’ kesungguhan serta komitmen untuk tidak mengulangi lagi itu sangat penting. Salut juga apresiasi buat Rekan Irwan yang bersedia capek untuk mengecek tulisan tak ketinggalan menegur pun dengan baik-hati. Tidak re-aksioner lalu gagah berani mem-‘perkosa’ kesalahan sang plagiator. Sungguh arif rekan saya ini.

Untuk moderator, saya ikut mendukung “sedikit catatan” dari rekan Irwan yang ditujukan kepada Moderator. Dan saya juga meminta, jika memang “member” telah mengakui diharap jangan dikeluarkan dari milis seperti di milis Jurnalisme. Mungkin, di Forum Pembaca Kompas Juga. Dan bagi “member” lain kita jadikan ini bagian dari sejarah. Hanya proses sejarah. Sekian, mungkin?

Tulisan di atas: refleksi dari rekan milis.di Milis PMIK KAiro. Berkait kasus plagiasi.