Monday, February 23, 2009

Saksi Hidup Bom di Dekat(Masjid)Husein


Turmudzi; Saya Pun Hampir Menjadi Korban

Sore kemarin, Selasa 23 Februari 2009, menjadi hari yang sangat menakjubkan bagi Turmudzi Muchtar, salah satu mahasiwa Indonesia di Mesir yang bertempat tinggal di daerah Husein. Bermaksud menunggu rekannya, ia duduk di taman depan Masjid Husein. Ia menunggu sembari membaca buku, juga diselingi bermain dengan anak kecil yang duduk di sampingnya. Tepat pukul 18.30 waktu Kairo, ia dikejutkan ledakan yang dahsyat —setidaknya menurut dia. Turmudzi pun beranjak pelan dari tempat duduknya dan bahkan hampir jatuh akibat getaran ledakan itu.

Ada apa ini? Tanpa menunggu waktu, banyak warga yang teriak-teriak, “Bom!!!Bom!!! Lari lari!!! Seketika ambulans pun berdatangan. Ibu-ibu teriak, “Anakku…Mana anakku?” turis-turis pun kocar-kacir. Suasana yang sebelumnya adem-ayem, berubah seketika. Beberapa kafe remuk. Depan masjid yang semula sunyi-khusyuk untuk Ibadah serta-merta ditutup. Tidak diperbolehkan sama sekali orang masuk. Mencekam-menyerikan, setidaknya ini yang bisa mewakili dari apa yang telah disampaikan Turmudzi.

Para korban langsung dibawa ke dekat masjid. Sedangkan sebagian korban yang ‘cidera parah’ segera dilarikan ke Rumah Sakit Husein. Karena tidak bawa tanda pengenal sama sekali, baik paspor maupun karneh (Kartu Mahasiswa), di samping cari selamat-aman, Turmudzi bergegeas pulang menuju rumah. Ia ketar-ketir, was-was ketika syurthah (polisi) bersiaga. Tentunta sebagai warga asing, Turmudzi bisa saja tertangkap, walau hanya sekedar untuk dimintai keterangan. Bukan karena tidak mau bersaksi, tapi lebih karena cari aman saja. Ketika berjalan menjauh dari lokasi, Turmudzi masih sempat melihat polisi yang segera memasang pagar betis sebanyak tiga baris dengan posisi melingkar di daerah kejadian. Sisanya menyelamatkan dan membawa para korban menuju ambulans. Kursi dan meja di depan kafe-kafe dibersihkan untuk mempermudah evakuasi dan penyelidikan.

Masih dalam kondisi trauma, ketika diwawancarai reporter numesir.org, Turmudzi mengungkapkan, ketika dia berjalan kurang lebih 150 M dari lokasi, ia mendangar satu lagi ledakan bom. Ia seketika lari ke rumah karena memang sudah hampir sampai. Benar saja, menurut Kolonel Mahmoud, memang ada dua bom. Yang pertama meledak pada pukul 18.30 WK (Waktu Kairo) di samping kanan kafe Ahwah Zahra. 20 menit setelahnya, bom berikutnya meledak ketika polisi tengah mengevakuasi korban. Kolonel Mahmoud menjelaskan, bom kedua ini meledak di depan kafe yang berjarak kurang lebih 5 M dari lokasi bom pertama. Ketika ditanya akan ada bom susulan lain, beliau menyatakan bahwa pihak kepolisian sudah mengantisipasinya. Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada tanda-tanda keberadaan bom susulan.

Kedua bom termasuk skala kecil, kerena getarannya hanya mencapai jarak 20-30 M. efek ledakan juga hanya mencapai 5 M. Sedangkan suara didengar dalam radius 150-200 M. Ketika dikonfirmasi, warga di daerah Bâb al-Sya’riyyah, Syâri’ Gamaliyyah, dan sekitarnya yang berjarak sekitar 400 M dari lokasi ledakan sepakat tidak mendengar bom sama sekali. Hingga berita ini disampaikan, tercatat 22 korban. 4 orang meninggal —satu meninggal di tempat, 18 lainnya cidera. 2 orang meninggal warga Arab dan 2 lainnya Eropa. Sedang korban yang cidera, baik berat maupun ringan, 11 orang berwarga negara Prancis, 4 orang Spanyol, dan sisanya Arab. Kuat dugaan 3 pribumi dan sisanya Arab Saudi.[


Investigasi Bom di (Sekitar) Masjid Husein


Bom Di(Sekitar) Husein, Dari Tilp sampai Tahanan;
Seklumit Investigasi Premature

Ketika aku naik Bis ABC Hijau ( sejenis bis Kecil di Mesir) menuju Babu Sya’riyyah dari Darmadhas, rekan saya, Rouf mendapat tilp dari Bibot, salah satu anggota LMINU, dimintai data berkait tentang berita hangat. Saya bertanya:”ada apa Ouf?” Tanya saya, masjid Husein di Bom. Dan saya diminta data dan, kalau bisa, sekalian meliput beritanya. Ungkap dia sambil lesu, juga hampir tak percaya. ‘ masak sih’(?)

Sampai ‘Babu Sya’riyyah’ bergegas, saya dan rekan saya, Rouf, berjalan dengan durasi cepat sambil mencari Televisi di samping saya bertanya kepada setiap warga yang ditemui dengan penuh harap mendapat info valid dan meyakinkan: apakah masjid Husein di Bom? Bukan masjid yang di bom, tapi di depan café dan, hampir, polisi juga menjadi korban ketika bom susulan meledak, ungkap serentak warga di café sambil melihat Jazeerah.

I

Bergegas jalan menuju rumah Rouf untuk menaruh tas dan beberapa Buku yang dipinjam dari rumah Mas Yunus—senior Sasc, anggota Mîzan study Club. Ternyata, di rumah bertemu dengan Turmudzi yang lagi asyik bercerita dengan rekan-rekan rumah. Usut demi usut, dia pun hampir menjadi Korban. Alhamdulillah dia selamat: karena ketika Bom meledak di saat berjalan jarak 10 m dari tempat kejadian. Sambil wajah me-merah, dan selimut tebal merah warna-warni melilit di tubuhnya, dia melanjutkan ceritanya sampai selesai.”côk-jancok-Asuuu…!!!—ungkapan kesal-syukur khas jawa, alhamdulillah Gusti Allah isik sayang karo aku”. Ungkap dia ke rekan-rekan.

Setelah mendengar tuntas-selesai ceritanya, kami dan Rouf bergegas menuju tempat kejadian. Jangan lupa bawa tanda pengenal, karneh ( tanda pengenal mahasiswa Al Azhar) atau Paspor, kelakar Turmudzi pada kami. Dan hati-hati. Jaga mata dan sikap ketika ke-di-sana.

Bener saja, baru berjalan sampai di dekat Rumah hampir setiap Pojok jalan dan tikungan ada polisi. Minimal-Rata-rata tiga orang (polisi) setiap tikungan. Mulai syari’ Gamaliyyah, berjajar sampai tempat kejadian. Sepuluh meter sebelum tempat kejadian kami diperiksa dan di Tanya, sekitar lima menit. Mulai dari asal—baik tempat tinggal maupun Negara Asal, tinggal di mana (dari mana) dan sekaligus, sesuai dengan saran Turmudzi, diminta menunjukkan tanda pengenal. Lancar. Tidak ada masalah. Dan nyampai sana(tempat kejadian) tinggal dua lapis baris Polisi, beserta ‘Bedil’ siap tembak dan pentungan di tangan dan saku-pinggang-nya..

Berkat bantuan warga setempat dan kemurahan hati pihak kepolisian saya bisa masuk melewati lapis barisan depan. Kami bergabung berdiri dengan banyak reporter-wartawan; baik negeri maupun Mancanegara. Terlihat, ada juga yang wartawan dari Eropa dan China Untuk luar Mesir. Tepat pukul 20.00 Waktu Kairo kami sampai di tempat kejadian. Dua ambulans terakhir sempat terlihat; mungkin, membawa korban cidera yang di bawa ke Musytasyfa Husein. Dan dari arah berlawanan ada Mobil-mobil putih, yang ungkap warga, itu mengangkut turis menuju Hotel mereka: sekitar 7 mobil. Di samping di tengah tempat kejadian ada dua mobil (kepolisian) yang tersisa.

Tak lama kemudian saya dan Rouf berkenalan dengan Sarah dan Ibunya. Mereka bekerja di Dekat Husein jarak 10 m dari tempat kejadian, juga bertempat tinggal di Husein.Sesuai keterangan dia dan diamini banyak warga, Bom meledak pukul 18.30 Waktu Kairo. Tepat abla Isya’. Sebelum Isya’. Warga juga menyesalkan sekaligus mengutuk kejadian ini. Pernyataan ini dikuatkan Syech DR Muhammad, beliau adalah salah Imam Masjid dan petinggi Di masjid Husein. Beliau juga menambahkan, “Ini adalah persoalan Besar. Baik bagi Negara(Mesir), Agama(muslim) dan, apalagi jika dikaitkan dengan persoalan politik”. Apa ada sangkut-pautnya dengan Palestina? “Hanya Tadi yang bisa saya (Syech Dr. Muhammad) berikan, selebihnya tidak tahu”, ungkap beliau sambil menutup pintu Masjid. Ketika saya dan beberapa Wartawan Ingin masuk, la’ah. Jangan, bukanya tidak memperbolehkan tapi sesuai Ro`îsyul Bilâd tak diperkenankan masuk masjid selain pengurus Masjid. Pengemis ini pun tidak—karena ada satu pengemis yang sedang menangis di pojok karena trauma tapi tidak ada satu warga pun yang peduli.

Tidak berselang lama, ada dua mobil datang. Satu mobil polisi dan meyerupai Ambulans satu-nya. Seketika para wartawan pun menghampiri. Tapi mereka hanya gigit jari. Dan di dalam mobil pun siapa tidak ada satu pun yang tahu. Anehnya, ini juga diikuti penurunan, beberapa Kamera: satu kamera Shoucting di samping Timur Masjid, di atas Hotel, dan satunya lagi di atas lorong bawah Tanah menuju Universitas Al Azhar. Sontak sepontan, para wartawan pun nyemprot-protes. “Ada apa ini (?), kami ingin memberitakan secara terbuka. Kami ingin memperlihatkan Mesir Bukan Negara ‘Teroris-Radikal’. Ini tidak akan menyurutkan pemberitaan ‘kami’”, teriak para wartawan—baik laki-laki maupun perempuan— sambil beberapa ada yang lari untuk menyelamatkan jepretan Foto dan, barangkali, kaset Video. Dalam hati aku menggumam, Dan aku pun baru membuktikan: memang Mesir masih belum terbuka Untuk pers. Untuk Koran-media dan pemberitaan pun tak sembarangan.

Dari tengah-di-ke-depan taman, datang anjing Ri tin-tin sebanyak lima ekor. Tiga menuju saya, berputar-putar dan sambil serius menciumi tanah disekitar TKP, tepat 15 meter di depan café-taman, beserta alat pendeteksi Bom. Dan dua menuju depan Masjid Husein. Ternyata, anjing bertugas mencari bekas Bom dan, Mungkin juga, jejak sang empunya Bom Di depan Husein, keduanya pun sepakat berputar-putar di depan samping timur masjid: Barangkali, mungkin lebih dikarenakan ada bekas Darah yang ber-cecer, dan sedikit juga bekas-bekas Bom—meski berbentuk hampir debu. Beberapa ahli Bom beserta 5 bungkus Plastik,di dalamnya ada bekas-bekas Bom, beserta tangan berbungkus dengan cepat-sigap mencari dan mendeteksi.

Benar saja, ia (Anjing dan, beserta bantuan alat pendeteksi) menemukan Beberapa pecahan besi dan dua berkas kain hitam berbentuk seperti tas. Dari situ, juga kebersepakatan komentar dari banyak warga setempat, bahwa kuat dugaan Bom berada di tas Hitam. Ditaruh di depan café: samping kanan Café Ahwah Zahrô`, dan beberapa Café lainnya: Abu Hamzah, Abu Mâzân, layaly el Husein Since 1919. sampai café al Mâlikîy. Itu bom yang pertama. Sedang bom lanjutan, masih simpang siyur. Ada yang bilang: bom dilempar dari Atas Hotel; dua puluh menit setelah bom meledak dan bejibun polisi datang.

Kapasitas Bom masih tergolong kecil: efek ledakan hanya sekitar radius 5-10 meter. Sedang getarannya 30-50 meter dan suaranya mencapai radiasi 150-200 meter. Tapi untuk pantulan benda yang terkena bom bisa mencapai depan taman, alias 7 meter. Bukti konrkrit ada bekas kursi yang hancur sampai depan taman. Untuk kualitas Bom, setidaknya, membelah kursi yang terbuat dari beton di depan taman menjadi tiga. Dan beberapa percikan bebatuan bekas kursi yang hancur. Tapi anehnya, rak tempat coca cola, pespsi, fanta dan shof drink’s lainnya, di samping kanan bom, di depan café Ahwah Zahro, tidak pecah. Bahkan masih gagah berdiri utuh. Aneh…barangkali(?) tapi yang pasti, satu café Porak-poranda. Depan-tengah-belakang kena semua.

Dengan ‘mental nekad’ aku please Call me Pinum Afkar demisioner, miqdam makfi (koordinator LMINU 2008-2010), Mami Maria El Fauzi dan beberapa rekan lainnya: yang rumahnya deket TKP guna meminjam Camera, meski sudah melihat tidak diperkenankan. Tidak berhasil. Semua bilang tidak punya. Makfi bilang, Camera NU tidak di NU: dibawa mas Atjeng dan Muhib ke Robewa. Makfi Tilp mang Inu, dia Tidak di Buuts. Syaekhu tidak diangkat. Mami Maria tidak punya Camera, begitu juga rekan lainnya. Sambil pulang ke rumah Rouf, kami masih berusaha mencari pinjaman Camera. Dengan segala cara; akhirnya, tidak dapat juga.

II

Sampai di rumah, sambil menyeruput say hangat, aku bertanya: ‘ ada yang punya Camera Digital? Wah nggak Punya e. Kalo HP ada Turmudzi. Tanpa peduli aku ambil nasi, karena lapar, kembali ke kamar. Berseloroh: wah bisa-kan Hp ne tak bawa untuk mendokomentasikan kejadian ini? Wah iso-iso, bawa aja, sahut Turmudzi. Jangan Lupa sambil jepret rumah sakit dan korbannya. Seep, entar dulu. Aku istirahat bentar, sambil melihat jam tangan: masih pukul 10.30 Waktu Kairo. ngluruske sikil(meluruskan kaki) saut aku diiringi makan.

Setelah istirahat 20 menit, saya pamitan pergi lagi sambil membawa Hp Turmudzi. Saya pergi dengan Subhan Azhari( aktivis Muda Lakpesdam). Jalan sampai Husein, langsung-sontak kami Mem-foto bekas-bekas kejadian. Bukti konkrit kejadian. Tapi Subhan, setelah minta Foto sekali dia bergegas Pulang: karena ternyata lupa tidak bawa tanda pengenal. Baik Paspor dan Karneh.

Mulai dari bercak Darah di depan Husein. Masjid Husein yang tutup dari tadi setelah BOM meledak. Kerumunan warga yang menyaksikan penyelidikan. Polisi yang berbaris. Café-café pun tak luput dari jepretan Hp yang aku bawa. Lokasi yang di Bom. Bekas kursi yang patah. Kantor tugas Polisi sampai Mobil Ambulans dan beberapa Mobil polisi. Sampai ketika seorang berkumis hitam-tebal mendatangi aku. Mendekat-membekap aku dan membawa saya ke ruang tugas. Sambil menyita HP Turmudzi yang aku bawa, kemudian dia mematikan Lampu ruangan. Sontak seketika tubuh aku bergetar-grogi. Sambil was-was. Lebih takut lagi kalau HP itu di pecah-banting ke lantai. Itukan bukan HP saya.

Ijlis friends, fadlolû!!!( silakan duduk rekan). Kata itu yang pertama kali terdengar di ruangan. Sambil dia menawarkan syai (Teh) ke saya. Sudah ada satu anggota juga bersiaga di ruang tugas. Wah aku sadar, tertangkaplah aku. Nekad, eh.., ketangkep juga. Senyum-kecut-ku dalam hati.Where are you from? Mênêin Enta? (dari mana kamu). Tanpa banyak ‘bacot’ aku pun langsung menunjukkan karneh aku. Meski masih ‘dihujani’ bejibun pertanyaan, tapi memang Al Azhari ‘sakti’. Volume-model Tanya berbalik 180 derajat. Dari kasar menjadi kalem. Hp pun diberikan langsung. Tapi, aku disuruh, dengan kontrol polisi itu, men-delete semua foto dan, sambil menge-check rekaman di dalam HP. Dengan bosan aku tetap meladeni bejibun introgasi yang kurng bermutu, sekaligus mutar-muter di situ mulu. Tak ketinggalan tas hitam saya digeledah. Setelah 45 menit lebih 15 menit, aku baru diperkenankan pergi.

Tak mau ketinggalan moment, saya pun Tanya, bisa minta foto berdua (saya dengan kolonel); aiwa-boleh. Kami foto, dengan ‘jepretan’ rekan satunya. Selesai foto: bagaimana keadaan sekarang. Aman. Sesuai kendali, jawab polisi yang baru saya kenal itu, Kolonel Mahmud namanya. Bintang dua. Di Tanya berkait bom:” Bom dua kali meledak, pertama, tepat di depan café, 20 menit selanjutnya: setelah kami datang, meledak lagi. 5 meter di depan tempat awal. Sedang untuk korban, masih menurut Kolonel yang juga di amini banyak warga, hingga berita ini tercatat 22 korban. 4 orang meninggal— satu meninggal di tempat. 2 orang meninggal warga arab dan 2 lainnya Eropa dan 18 lainnya cidera. Korban cidera: 11 dari Francis, 4 kewarganegaraan Spayol dan lainnya Arab. Kuat dugaan 3 pribumi dan satu sisanya Arab Saudi.

Sambil agak kesal; aku pun kembali ke tempat tugas polisi, sembari bertanya: kenapa lainnya tidak di tangkap sekaligus di-delete fotonya? Sembari senyum, tenang itu sudah menjadi peraturan. Tidak akan tersisa mereka yang membawa kamera dan Hp. Sudah ada yang bertugas untuk meringkus, jawab Kolonel sambil senyum-kecut. Hari ini mamnu’, silakan foto tomorrow. Diberondong Tanya lagi, sampai Nomor Hp-nya, dia dia saja sembari bilang: I am Very-very Busy, please tomorrow.

Aku keluar ruangan; menuju Musytasyfa Husein. Masih ingin Info lebih. Sontak ketika saya ingin masuk, dengan sedikit Bohong: menjenguk Rekan yang sedang sakit di dalam. Dan beberapa lobi, tidak diperbolehkan. “silakan datang besok pukul 09.00 pagi waktu kairo. Rumah sakit baru Buka, sekarang tutup; meski banyak pasien yang dirawat di sana. Meski aku juga menunujukkan kerneh, mereka pun tak percaya.

Di sekitar tempat parker, bergerombol beberapa Orang pribumi. Dua group. Setelah aku datangi dan Tanya, ternyata mereka dari media Ahrom dan al Misriy al Yaoum, katanya. Meski aku pun tak percaya. Saling tukar info pun terjadi. Hasilnya sama. Tidak jauh beda: baik dari korban, kejadian dan juga di sitanya foto-foto dan, beberapa rekaman Video. Beserta tiga bule yang berjarak 2 meter.

Berasa tak dapat info tambahan aku pun ber-sepakat kembali ke Husein. Kaget seketika sampai sana, tidak ada satu pun kameramen, atau hp men-jepret TKP. Benar Kolonel tadi. Entah ke mana mereka(?) penjagaan pun diperketat. Lingkaran barisan Polisi, yang semula, deameter 50 meter, sekarang bertambah menjadi deameter 70-100 meter kurang lebihnya. Hampir saja aku tak bisa pulang ke rumah Rouf; karena jalan telah ditutup. Berkat kolonel tadi, aku bisa menerobos. Baik sekali dia; syukurlah. “Silakan kembali saja ke rumah, tidak ada gunanya mencari perkembangan sekarang”, ungkap kolonel sambil menggandeng saya menerobos pulang. Akhirnya aku pun pulang dengan tidak mendapat info berarti, tapi pengalaman luar biasa menghinggapi. Sampai rumah kurang lebh pukul 02.00 dini hari. Sambil bercerita, apa yang telah aku jalani.ke sana kemari, canda tawa dan ejekan pun tiba. Tak terasa aku pun bangun pukul 08.00 waktu kairo. Tidak tanpa berucap do’a dan tak terasa kalau aku sudah tidur. Sungguh.

Sunday, February 22, 2009

Pesantren Afkar

Afkâr; Ganti Formasi dan Rapar Redaksi

Majalah Afkâr, selasa (20/02) menunjukkan ‘taring’-nya dengan mengadakan pesantren Afkâr dan Rapat Redaksiaonal di Sekretariat NU, Bawabah II Nars City, Cairo, Egypt.

Acara turut hadir senior Afkâr: Mikdam Makfi, Lutfi Anshori dan, juga spesial ikut hadir Ahmad Ginandjar Sya’ban (mas Atjeng), yang nota bene kontributor resmi beberapa Media Di Indonesia untuk kawasan Mesir dan sekitarnya. Di samping begitu antusias Afkarian —sebutan Khas untuk staf Redaksi Afkâr— hadir, dan begitu ‘jitu’ memberikan ide, Tanya-jawab dan ‘turut aktif’ ketika mencipta suatu keputusan.

Sesuai rencana, kumpul ini kali membahas beberapa agenda Afkâr ke depan. Di mulai dari Pesantren afkâr yang membahas berkait tentang ‘ganti formasi’ diskusi. Sedang, dead line terbit dan Tema yang akan diangkat untuk edisi ke depan (red; edisi 53) menjadi bahasan utama kala rapat redaksi.

Pesantren Afkâr ber-ganti ‘Formasi’ diskusi dari pola diskusi tematik menjadi model bedah buku dengan menggunakan sistem kelas. Di dukung pula standart yang jelas guna meraih hasil diskusi yang lebih kualitatif, di samping standart yang dicanangkan lebih bisa dievaluasi setelah kajian usai. Pengambilan keputusan penting ini tak lain tak bukan: respon positif akan apa yang telah diwacanakan oleh ketua tanfidziyah ketika rapat pengurus beberapa waktu lalu. Itu yang menjadi spriti awal. Setelah rapat, para ‘penjaga gawang’ Afkâr rapat intern beberapa hari dan akhirnya mencapai titik klimaks, keputusan akhirnya pun sesuai yang disebutkan: dari diskusi tematik, ke bedah buku dengan model sistem kelas. Harapan ke depan rekan-rekan afkâr punya modal lebih seimbang-kuat dan bisa memanfaatkan dengan maksimal segala metode-fasilitas yang telah ada, dan ‘keluar’ bisa mengembangkan secara lebih luas-mendalam.

Usai pensatren Afkâr, rekan Khozin, pimred Afkâr 2008-2009 langsung memimpin rapat redaksional setelah afkârian shalat Maghrib berjama’ah. Dalam rapat pimred menjelaskan kapan afkâr terbit dan judul tema penerbitan ke depan: edisi 53. “insya Allah tanggal besok(21/02) cover sudah bisa masuk percetakan, dan kita, maksimal, tanggal 25 bisa terbit”, papar Pimred. Sedang untuk judul ke depan, masih papar khozin, setelah debat alot sesama afkârian—karena afkâr selalu mengedepankan azas: Egaliter, inklusif, terbuka dan ‘komunikasi dua arah’— kita bersepakat untuk mengangkat tema: Turats Muktazilah. Pengambilan tema ini, masih ungkap Pimred, diharapkan bisa menciptakan stereo type baru, khususnya kalangan Nahdliyin: lebih sumeh terhadap lain pihak, di samping memang percikan kebenaran itu selalu disetiap lorong udara, alias di mana aja. Di samping kita juga ingin mengapresiasi peradaban mereka (red; Mu’tazilah) secara lebih objektif-mendalam-luas, yang akhirnya sebagai warga Nahdliyin tidak ‘najis’ apalagi dilarang: ketika membaca karya-karya dari orang Muktazilah. Ini penting, karena stereo type yang berkembang seolah bagai “Air dan Minyak” padahal bukan seperti itu harusnya. Ungkap pimred dengan lugas ketika dimintai keterangan.

Usai penentuan tema kemudian dilanjut menentukan para penulisnya. Dari mulai diskursus sampai Hawamys. Islamologi diamanahkan kepada Lakpesdam sedang untuk ke-indonesiaan rencananya meminta dari Indonesia: Muhammad Al Fayyad. Setelah usai me- list para penulis, baik dari Afkar maupun rekan Luar, kemudian dilanjut penutup. Acara ditutup oleh rekan Ronny dengan membaca Ummu Al-Kitab dan seraya berucap: Alhamdulillah Robb al-‘Âlamîn.


Thursday, February 19, 2009

PCINU dan Partai Politik; Refleksi dari Milis NU Mesir

Sedikit Bertanya-Berwacana;
NU dan Partai Politik (Khususnya “Anak Kandung”)


Melihat gelagat-geliat milis yang ramai nun dekat di Nu mesir ini, tak bisa dilupakan dan perlu untuk disebar-luaskan bahwa ini jasa rekan Irwan. Habib Irwan al Yamani. Juga didukung penuh oleh pak Muchlason, Lc, ketua Tanfidziyah. Di mana Milis Ini di los dengan catatan Regrestasi dan memberikan nuansa terbuka demokratis sehingga para milister bisa saling tukar ide, sharing informasi dengan tetap berpatok sopan santun, etika diskusi yang elegan. Istilan Habib Irwan: tolong menolong dalam hal baik, dan saling mengingatkan sesama milister ketika ada yang ganjil tercipta. Sehingga suasana kondusif progresif tercipta. Ini sesuai keputusan Forum rapat kemarin. Terima kasih rekan Irwan, terima kasih banyak Habib.

Corak diskusi beberapa hari ini, yang menarik menurut saya, tentang bayan Syiyasi PCINU Mesir. Tersurat-tersirat dengan keluarnya Surat “sakti” itu kemilau NU kiat mengudara. Sikap netral-jelas dari NU bersinar dan, dengan bukti ketokan Palu sebagai tanda sahnya keputusan itu.

Secara garis besar isi surat “sakti”: PCINU/ NU secara organisatoris tidak mendekat pada salah satu partai POlitik apapun. Meski ‘anak Kandung’. Dan memberikan setiap warga NU untuk memberikan hak Politiknya sesuai kehendaknya sendiri. Tanpa ada paksaan, dorongan dan Imbauan untuk condong-dekat dengan salah satu partai manapun. Harus sesuai hati Nurani. Bukan kepentingan pragmatis sesaat. Maka Untuk partai anak kandung wajar kalau merasa “Ditampar-dikebiri” karena dia seolah tidak mendapat legitimasi untuk merayu NU secara Struktural lagi. Kalau ingin suara banyak dari warga NU ya silakan Paham-dekatkan partai anda ke warga. Dan ini menjadi problem besar dari partai: baik dari segi logistik, teknis, spekulasi dan bebarapa hal kecil lainnya yang tentu ini tidak sedikit memakan materi-duwit. Tentu. Lebih banyak, minimal, tinimbang -99 kemarin.

Lain waktu, lain tempat. Waktu 99, 2004, sampai 2009 tentu bukan waktu sebentar. Jatuh bangun, naik turun partai telah terlalui. Tak jarang pula kader partai yang ‘lompat’ pagar. Lari dari partai PKB ke PPP. Dari ka’bah ke PKNU. PKB Gus Dur ke PKNU juga tidak sedikit. Itu untuk “anak Kandung”. Lebih-lebih ke tetangga. PDI Perjuangan Oneng(Rieke Diyah Pitaloka, kader terbaik PKB) sebagai Per-misalan. Dan juga pinggiran PKB pun koalisi LOkal. Begitu Juga tempat, Mesir yang nota bene dihuni 5000 lebih mahasiswa, ternyata, tentu menjadi sasaran Bidik para Elit Politik. Selain suara, barangkali, Image juga bermain di sana. Mahasiswa Al aZhar.

Tapi, ketika kita bertanya sejenak: arifkah kita meng-ha-ki-mi partai sesuai Aliran, Kedekatan Emosional, apalagi digiring untuk mencontreng salah satu partai. Arif-bijaksana-ber-etika-kah rekan-rekan? Baikkah untuk pendidikan POlitik kita? Kita sebagai Mahasiswa? Lebih-lebih dikunci-dihadapkan hanya pada partai Anak kandung-tapi sempalan. Sungguh tidak arif.

Kemudian, di milis Ini, juga berkecamuk beberapa problema. Meski sebenarnya masih dalam lingkup Partai Anak kandung:PKB-PKNU. PKb yang Nota bene senior di sini(masisir), setidaknya, punya strategi tersendiri untuk meraup suara NU khususnya MAsisir. Tak ketinggalan PKNU, apalagi, setelah Daulat PROF. DR. ALWI Syihab yang melantik langsung. Tak ayal menjadikan sebagian manusia silau akan hal itu. Hampit tak bisa melihat warna apa yang mendekat. Huwa-huwa. Sama-sama hijaunya. Alhamdulillah sudah clear: PKNU Partai baru yang akan ikut pemilu 2009 lahir ber-azas Alhlusunnah wal jama’ah, dan NU(PCINU Mesir) salah lembaga Ormas Istimewa Luar NEgeri PBNU di Indonesia. Meski sama Hijaunya tapi beda alam Aplikasi perjuangan. Alhamdulillah. Semoga kebingungan tidak terjadi lagi kepada warga NU. Semoga(?)

Yang belum terdengar PKB. Info sementara yang beredar, katanya, malah banyak-sebagian kader PKB yang ‘mlumpat’ ke Pknu—semoga tidak ke-cantol dan selamat kala tiba di tanah. Menarik. Sahkah? Secara hak itu sah-sah saja, tapi ketika kita telisik dari ideologi, azas partai sangat terlihat kepentingan sesaat-pragmatis. Misal, kalau benar, PKB ber azas Pancasila. PKNU ahlu Sunnah wal jama’ah. Bagaimana menemukan TITIk temu, antara keduanya. Tentu sekilas terlihat PKNU lebih Eksklusif dibanding induknya(PKB). Sedang untuk kader, ada juga yang ber-argument bahwa PKB sudah tidak berpihak pada NU. Katanya? Tapi, pkb di sini tak menunjukkan taringnya sampai sekarang, minimal, tulisan ini saya buat.

Kalau pun boleh, apa relevansi PKNU yang ber-azas ahlu sunnah wal jama’ah dengan solusi Problem KE Indonesia-an. Yang ibarat Perahu itu tinggal kelem-nya saja. Azas ini mencerminkan PSikis rakyat guna meraup suara sebanyak-banyak saja, atau menjadi jalan untuk menyelesaikan segala problema yang ada. Juga berikan contah. Semisal, bahan tambang(BUMN), Global Warming, krisis Finansial, dan bejibun Problem yang kiranya dinisbatkan pada seseorang tak ayal jika dia akan BUNuh diri. Bagaimana wajah KOnkrit ketika menggunakan Ideologi itu guna menyelesaikan problema yang ada?

Selanjutnya, terkait berkelit kelindan dengan paham Ahlu Sunnah itu sendiri. Berwajah seperti apakah Paham itu kala menjadi Partai. Tentu ini sangat berbeda secara ‘ayu’-nya dengan NU. Bukan karena apa, dari casing nya saja sudah beda: PKNU partai, sedang NU Ormas. Ahlusunnah Post-Modern seprti Apakah: kembali ke masa lalu, atau akulturasi masa lampau dengan era ke kini-an.

Sebelum-sesudahnya, tulisan ini bukan meng-kerdil-kan PKNU atau partai
”Anak kandung”. Dan tentu, bukan berarti pula Partai lama di sini( MAsisir) dengan serta-merta dia menjadi Partai Masisir. Wajar jika ada yang menganggap itu claim. Apalagi berkait dengan musa’adah. Tapi setidak-seyogya-nya dengan adanya dialog: baik berupa tulisan, milis, dan beberapa argument penting dari temen-temen jadikita saling tahu-mengetahui satu sama lain. Jelas mana anggota partai, mana yang masih “perjaka-perawan” dalam partai Politik. Ingat “partai politik”-bukan Politik. Dan saya pun sepakat perubahan positif dalam structural pemerintahan, untuk saat ini, melalui lembaga Negara yang lebih nyata. Salah satunya melalui Pemilu. Dan bagi semua warga selayaknya menggunakan Hak-nya sesuai dengan Hati NURANI. Bukan ‘Komando’, apalagi aliran. Dengan cara nyata, kita menjadi Pemilih Aktif, atau dengan Gol-put Aktif. Bukankah begitu rekan-rekan?


Potret Secercah dari Puisi Sultan

Refleksi Seklumit Baca Puisi Sultan;
Kita Menjawab-berkoar-Kampanye untuk Siapa(?)


Sebelumnya, mohon maaf. Saya kurang memahami titik point puisi yang sangat sarat makna itu. Dalam dari segi subtansi, hati-hati ketika memilih kata. Setidaknya itu pengertian minimal yang bisa aku ambil. Aku serap. Sesuai pesan yang ingin dicapai yang memosting, “semoga bermanfaat”, kata bung Mus’ab.

Lepas dari Konteks puisi, untuk hal yang dilakukan Sultan, minimal ketika memimpin Keraton Jogja, sungguh sangat bisa dijadikan ‘titik’ untuk perubahan Positif Di jogja. Keratin Ngayogjokarto Hadiningrat. Sultan bisa secara konkrit meng-elaborasi secara lebih dalam-luas antara tradisi, budaya dan seni lokal tanpa melupakan kebutuhan kekinian. Terbukti, Sultan masih bisa mempertahankan tradisi lokal, seperti sekatenan. Lain sisi, Jogja juga menjadi Kota Pendidikan. Banyak Profesor, politikus, guru bangsa lahir dari Jogja. Paling penting, Sultan tidak POligami; menurut saya.

Dalam ranah Politik, Sultan terkenal Santun-sopan dan elegan dalam menghadapi problema. Baik issue sensitive, semisal dibatasinya jabatan Gubernur, juga issu dia ‘lengket’ dengan partai lain; republican.” Lha wong saya didukung, ya gpp terima saja, silakan aja. Tapi saya kan masih kader Golkar, maka saya harus taat pada peraturan(AD/ART)”, ungkap Beliau.

Jalan liku, setidaknya kata itu ketika yang bisa ditulis untuk menggambarkan langkah Sultan menuju RI-1. alias presiden(Calon Presiden; capres). Hal ini bukan dikarenakan kurang credible, atau kualitas Sultan dipertanyakan, tapi lebih teknis partai. Di samping baying-bayang “Jusuf kalla” yang kuat Di Golkar. Pertimbangan lain, dan ini diamini semua partai: menunggu hasil pemilu legislatif.

Jusuf kalla: menjadi baying-banyang bukan, menurut saya, karena ingin menggencet. Tapi memang wapres kita ini selain kuat secara karakter, juga sudah teruji. Hal ini didukung komunikasi politik dia yang bagus: bukti konkrit perdamaian untuk Aceh, stabilnya perekonomian secara makro dan mikro itu juga tidak lepas dari dia. Selain memang sudah menjadi kontrak POlitik antara Presiden Yudoyono dan Jusuf Kalla—segi keamanan, politik dan pertahanan nasional Itu presiden, wapres Ekonomi, Kesejahteraan, kesehatan dan bahan Tambang( kurang lebih seperti ini). Sedang untuk segi Mitos: untuk men-cairkan Mitos Presiden tidak harus Dari Jawa. Tercatat: presiden Soekarno sampai sekarang semua dari Jawa.

Bagaimana jalan Sultan ke depan? Masih berliku. Di samping, sepertinya, memang semua partai tidak Pe-De untuk memproklamirkan calon resmi Presiden dari partai. Secara resmi(selain PDI perjuangan). Bukan hanya deklarasi. Belum lagi ada koalisi “Agak” Poros Tengah, koalisi Pelangi, dan komunikasi Politik yang, terkadang, kalo terus diAmati, dicermati: hanya bisa berkata “menjemukan”.

Bagaimana Tidak(?) coba perhatikan, Banteng didekati Padi dan bulan sabit. Beringin “disowani” Ka’bah, ‘bumi bintang sembilan’ sempalan menggagas Koalisi Lokal. Belum lagi perang Iklan. Partai ‘putih’ gasak-rata semua partai. Oposisi menonjolkan kegagalan pemerintah (secara Ekonomi, khususnya), partai Pemerintah meng-counter. Sekilas terlihat biasa saja. Tapi kalo kita Tanya lagi, menurut Sultan” terkadang di kala sepi, pernahkan kita ditegur oleh batin seraya berkata, apakah itu sudah benar”. Berfikir dengan hati lebih cerdas dari apapun”. Belum lagi caleg ‘melempem’ ngakunya super. Caleg kader ngaku-nya untuk rakyat. Dan celakanya semua ngaku “bisa”. Secara sah-nyata keliahatan Pragmatis; Yang penting kepilih dulu, realisasi program pinggiran entar dulu.

Sedang, hemat saya, tidak cukup berhenti dengan berkoar “saya bisa”, apalagi ngaku bisa. Saya siap tapilebih dari itu. Mana program kerja partai untuk menyejahterakan Indonesia. Sejahtera secara fisik, ekonomi, politik, sosio-budaya(menjamin tidak akan terancam budaya transfer yang tidak senafas dengan Indonesia, meski ini klise) dan secara mental-rohani-psikis. Apa program menjamin UUD pasal 33 sepakat kata “Menguasai” atau “Memiliki”. Re-strukturisasi apakah berani dilakukan. Bagaimana Ekonomi ber-pihak pada rakyat. Sekali lagi berpihak pada rakyat. Rakyat kecil. Bagaimana membina stabilitas politik di Indonesia dengan diiringi pertumbuhan ekonomi yang Mumpuni: pemilihan Bupati, Gubernur, walikota tapi kok yang miskin tetap miskin. Kaya semakin rakus- beringas menindas. Menggurita. Timpang jadinya(?)

Sedang Untuk Ideologi partai yang jelas. Yang Nasionalis gmn coraknya, Yang Islam bagaimana Etikanya, Sosialis-NasionaliS-Religius apakah sudah Egaliter-ber-agama. Bukan bermaksud meng-kotak-kotakkan, tapi memang konsekuensi. Apalagi partai dakwah—buat iklan ‘panas’ lain pihak, dikritik jangan terlalu re-aktif dong(?). Etika nya harus jelas; menurut saya. Ideologi Islam pun juga harus jelas, Islam yang seperti apa, madzhab mana. Bagaimana sikap terhadap Impor beras, EKonomi pasar, apakah Ideologi ini akan “disusupkan” alias akan bisa merubah Ideologi Negara: dari pancasila(pakai ‘P’ kecil) menjadi islam(dengan ‘I’ kecil juga).

Apalagi caleg. Apakah mencukupkan diri dengan membagi kalender berselorok, contreng nomor ini ya. Atas bawah sama. Yang sejuk, bisa dipakai tidur dikala siang, “pohonnya” rindang. Atau, yang ada “kyainya” biar berkah: urip mujur rejeki lancar ndoyo akherot. Tidak cukup pula dengan sombako, serangan farar, bahkan dikader untuk memilih partai tertentu. Tapi lebih dari itu. Dengan standart minimal, apakah dia(caleg) tahu betul fungsi-manfaat-konsekuensi lageslatif. Apa kebutuhan rakyat pada Distrik pemilihannya? Apa metode dan ‘fungsi control’ ketika dia terpilih nanti ketika menjadi DPR/DPRD apalagi Presiden. Dan, bersihkah uang caleg untuk kampanye(?)

Saya salut pada Muetia Hafidz(caleg dari golkar, sayang bukan daerah Luar Negri): secara vulgar-terbuka dia jujur kalau sampai sekarang sudah habis 200 juta. Ini belum apa-apa. Zulkifle(wagub Banten yang gagal) dari PKS lebih dari itu. (Ini bisa diceck langsung di today’s dialog minggu ini). Dan secara sepakat, semua caleg yang hadir kalkulasi Uang untuk kampanye secara ideal—terlepas uang itu dari mana, baik dari perusahaan, keluarga, saudara, “bola liar”—itu satu milyar. Satu milyar. Sekali lagi satu milyar. Pikirkan satu orang satu milyar, sedang jumlah caleg 11.000. berapa uang yang hilang, kabur dan mubazir. Sedang rakyat kita masih banyak yang kurang mampu. Sekolah masih mahal. Pendidikan yang katanya digratiskan sampai Universitas nyata masih juga banyar. Masih ada biaya, mahal lagi(?) ketua komisi pendidikan(?) sungguh masih timpang. Kemudian, apakah kita bagian dari solusi atau menambah ruyam(?) solusi: buka lobang tutup lubang, atau yang bisa membuat desa menjadi kekuatan(?) bagaimana rekan?




Wednesday, February 18, 2009

Nasheer Hamid Abu Zaid

Kritik Hermeneutika Nasheer:
Dicaci juga Dipuji

Lakpesdam yang notabene salah satu lembaga di PCINU Mesir yang bergerak langsung di bidang pemikiran dan isu paling mutakhir-kekinian; kemarin, Minggu (15/2) telah mengadakan diskusi regular perdana ba’da Ujian term I: melanjutkan ‘Mega Proyek’ sebelumnya: Kritik terhadap pemikir Kontermporer. Diskusi perdana ini berada di Aula Sekretariat PCINU Mesir yang bertempat di tengah Bawabah II dan III, Nars City-Cairo, Egypt.

Kali ini, pemikir yang disandingkan untuk dikelupas di acara diskusi: Nasir Hamid Abu Zaid, dengan judul makalah” Kritik Atas Logika Hermeneutika Nasir Hamid Abu Zaid”. Rekan Abdul Rouf hadir sebagai presentator dan tampuk moderator diamanahkan kepada rekan Irwan Masduqi, yang kebetulan koordinator Lakpesdam periode 2008-2010. diskusi diikuti Intern Pegiat Lakpesdam—meski ada beberapa yang izin akibat ‘sakit’, karena pergantian Musim yang akut. Turut hadir sebagai tamu spesial: rekan senior Lakpesdam dan sekarang mendapat amanah menjadi koresponden beberapa media cetak untuk zona Timur-tengah, Ahmad Ginandjar sya’ban (Atjeng), dan M. Hasbi, Web. Master PCINU Mesir sekaligus merangkap sebagai Menteri Informasi dan komunikasi (Info-Kom) di PPMI Mesir periode 2009-2010.

Diskusi dimulai pukul 16.00 waktu Kairo, dibuka langsung oleh rekan Irwan selaku Moderator: memaparkan secara universal-global berkait dengan pembahasan.”Nasheer Hamid adalah pemikir garda depan yang prolefik sekaligus unik-Energik di belantara dunia Islam. Semua tak bisa ingkar akan Ini, terlepas ideologi dan permasalahan yang mengitarinya. Dengan mega proyek: membahas, meneliti lebih mendalam-kritis Imam Syafi’I, Al-Asy’ari “diserasi-selaraskan dengan Mu’tazilah”. Sedang, diranah Tasawuf-falsafi Ia konsen pada “mengkawinkan” al-Ghazali dengan Syaikhul Akbar: Ibn Arabi agar lebih sejuk-serasi. Bukan sebaliknya, seram dan saling berlawanan”. Tanpa memperpanjang kalam, dan menegaskan bahwa tugas moderator: hanya mengatur jalan diskusi sekaligus menyambung ‘logika’ rekan-rekan agar diskusi teratur dan lebih linier. Maka pemahaman dari audiens pun lebih teratur, dan menyerahkan waktu presentator untuk lebih mengelaborasi lebih jauh-luas.

Menyambung ‘logika’ dari moderator, rekan Rouf, meng-amini apa yang telah disampaikan moderator, dengan melanjutkan metodologi Nasheer.” Benar apa yang disampaikan rekan Irwan, mega proyek itu didekati dengan metode Hermeneutika yang bersifat ekletik, ketimbang tunduk-patuh pada salah satu ‘madzhab’”, ungkap Rouf. “Hal ini tidak lepas dari latar belakang hidup beliau, ditopang keresahan beliau dengan perkembangan dunia Islam yang lebih terlihat sangar. Kurang Humanis dan lebih sering Uforia-mimpi indah masa klasik, bergerak regresif, dan tak jarang eksklusif” lanjutnya.

Nasheer nota bene anak petani, mujur bisa karena keuletannya Ia bisa merasakan pendidikan dari Timur-tengah (red; Islam) di Universitas Kairo sampai ke Barat.: Universitas Pennsylvania dan Philadelphia USA. Tak ayal, selain mengenal Al-Jurjani, Zamakhsari, Imam Syafi’I , Al Ghazali dan bejibun Ulama besar, Ia pun tak asing dengan Hustel, Berkeley, Heigdheger, Derrida dan Gadamer. Di Timur lazim mendengar istilah ‘Ta’wil dan tafsir’ kemudian ia elaborasi dan kembangkan lebih luas-jauh dengan memakai pendekatan “Hermeneutika yang bersifat Ekletik; meskipun ia pernah dituduh Marxisian dan Gadamerian”. Terlihat pandangannya pada Islam lebih inklusif. Tak jarang juga mencerahkan. Setidaknya, itulah gambaran seklumit-sedikit di buku-buku beliau: mulai Naqd al-Khitab Al-Dîn,Isykaliatul Qira’ah wa Aliya al-Takwil yang bermuara pada Mafhum al Nash:Dirasah Fi ‘Ulûm al Qur`an.

Berkait issu paling sensitif di Nasheer: coretan dia tentang Munstaj Tsaqofi. Seolah ia meyakini bahwa Al-Qur’an sebagai ‘teks’ adalah buatan manusia (red;produk budaya) bukan kalam Illahi. Padahal—dituntut lebih cerdas dan cermat untuk mengkaji ini— menurutnya, peradaban Islam adalah, barangkali, peradaban teks. Artinya kemanapun lari-perginya peradaban Islam secara sah-pasti akan kembali ke titik nadzir: teks. Teks menurut Nasheer adalah Al-Qur’an dan al-Hadits setahap setelahnya. Al-Qur’an secara sah, bahkan jelas-lugas Nasheer mencoretkan bahwa Ia merupakan kalam Illahi. Artinya turun dari ‘langit’. Namun dalam perjalanannya pasti dia bersentuhan, baik langsung maupun tak langsung, dengan ‘konteks’ yang mengitarinya. Baik secara pemahaman, maupun pola-tata cara-etika-budaya yang berkembang dalam ranah sosial masyarakat kala itu. Dan di situlah terjadi ‘komunikasi aktif’ dua arah, antara al-Qur’an sebagai tajjalî teks-wahyu Tuhan dengan ‘konteks’ yang mengitarinya. Sehingga dalam “larinya” teks selalu terjadi evolusi penafsiran, dan dealetika ‘campur tangan’ liyan itu tidak bisa dipungkiri.

Sedang berkait keresahan Nasheer: menurutnya dalam formula paling mutakhir Umat Islam secara massif mengalami beberapa kesalahan-kerancuan yang sangat akut, baik dalam pola pikir pemahaman maupun perilaku kehidupan sehari-hari. Dalam Naqd Al Khitâb al Dîn, ia menguraikan secara gamblang dan tranparan. Di antarannya: banyak kalangan yang tidak bisa membedakan, mana yang Profan dan mana yang Sakral. Mencampuraduk antara pemahaman Agama dengan Agama, seolah keduanya ini sama-serupa. Tidak arif dengan budaya luar. Seolah akulturasi Budaya, pemahaman ‘liyan’ itu najis. Dan bejibun formula regresif yang menghinggapi ‘jantung’ Umat Islam.Ini tidak bisa dibiarkan. Maka konsep yang solutif harus dicari. Dan Nasheer salah satu yang menawarkan.

Tapi Nasheer bukan malaikat. Pasalnya, Ia hadir bukan tanpa cacat. Tak ayal, banyak catatan yang bisa dituangkan kala membaca Nasheer dalam karya-karyanya. Semisal, kala mengkritik Imam Syafi’I ia telihat ada sentimen negatif, bahkan bisa dibilang terlalu memojokkan, sehingga dalam karyanya terlihat kurang obyektif. Dalam pembahasan Ibn Arabi dan al-Ghazali, ia kurang konsis dalam ranah pendekatan. Ia mencampuraduk antara De metodologi (menerima yang berbau Mistik) dan De mistifikasi. Artinya dalam kajian Al-Qur’an dia lebih De mistifikasi., atau kata lain: meng-ilmiahkan Al-Qur’an. Ini yang menjadi argumen Imâroh menuduh Nasheer salah satu pegiat Marxisme dalam ranah kajian Al-Qur’an. Sedang lain sisi, kala membahas sufi-falsafi ia berwajah De Metodologi. Tunduk patuh padanya, tak jarang menggerus segi ‘prinsip’, tanpa mempertimbangkan segi-segi rasional-kontekstual yang Ia kumandangkan sebelumnya.
Setelah Tanya jawab. Orasi dari masing-masing pegiat lakpesdam, kemudian moderator yang juga koordinator mempersilakan senior lakpesdam, Ahmad Ginandjar sya’ban(Mas Atjeng) untuk memberikan ‘wejangan’, pengalaman dan beberapa “catatan penting” berkait seklumit sedikit tentang lakpesdam. Dalam wejangan-nya, secara global: pegiat lakpesdam memang selalu luar biasa, baik dalam ranah pemikiran maupun ketajaman analisa. Tapi lari dari itu, hendaknya kita juga mempersiapkan ‘jalan’ guna menyalurkan ide genial kita agar dikemudian hari memberi berkah kepada Umat bukan malah sebaliknya: umat salah paham. Mengingat masyarakat (Indonesia) kita sekarang lagi ‘Goncang’ baik dalam Pemikiran, sosial masyarakat, apalagi dalam hal Ekonomi. Tak ayal sangat dibutuhkan ‘Nafas’ seirama yang menyejukkan dari luar. Khususnya dari rekan-rekan Lakpesdam. Tak ayal kontribusi aktif-positif sangat ditunggu guna melepas ‘dahaga’.

Kemudian, acara ditutup dengan pembacaan Ummul Kitab, juga koordinator mengingatkan agar lebih aktif-tekun dalam belajar. Baik menganalisa maupun memperdalam pembacaan. “Kita diskusi lagi tanggal 25 Februari, dengan mega tema Kritik pada Ahmad Khalfullâh. Pemateri rekan Subhan. Jangan lupa persiapnnya lebih matang juga serius” begitu kelakar beliau.



Saturday, February 14, 2009

Pesantren Afkar

Berkait Pesantren Afkar;
(Perdana-ke Depan)


Setelah kemarin saya menulis 'seklumit-sedikit unek-unek terhadap afkar', maka, menurut hemat saya, sangat perlu sekaligus urgen untuk membuat suatu, katakanklah, pembuka untuk 'roda' afkar ke depan lebih sistematis. Tapi, sesuai apa yang telah diamanahkan oleh Afkar kepada saya untuk membawa pesantren afkar satu tahun ke depan, masa pemerintahan mas Ilan-Khozin: maka saya lebih fokus untuk menulis terkait itu—pesantren afkar.


Ketika rapat Tanfidziyah, ketua tanfidz, di awal februari, melempar semacam 'bola liar' untuk diamanahkan kepada afkar, terkhusus kepada pesantren afkar: membuat metode sistematis guna kader NU ke depan, dengan penuh harap, kita bisa tetap bertahan menjadi icon Intelektual; bukan hanya secara individu-individu warga NU tapi bisa terkoordiner; kompak-serempak. Sehari setelah rapat, langsung seketika"penjaga gawang" afkar, mulai junior sampai senior(pengurus) , mengadakan rapat intern guna membahas lebih mendalam 'bola liar' dari ketua tanfidz.

Setelah rapat beberapa hari. Begitu alotnya, alhamdulillah afkar telah menelorkan beberapa kebijakan, katakanlah, untuk menindaklanjuti wacana di atas. Di samping, afkar juga telah meng-evaluasi sistem afkar yang selama ini berjalan; khususnya pesantren afkar.

Pesantren afkar, yang selama ini menggunakan metode diskusi , secara simple bisa digambarkan, dengan memberi tugas kepada afkarian untuk membuat makalah, dengan tema yang telah ditentukan; juga lebih sering mengekor pada tema afkar ketika terbit. Setelah dievaluasi, kiranya metode ini kurang tepat. Hal ini bukan karena apa, tapi lebih pada subtansi dari diskusi itu sendiri. Selain persiapan dari afkarian, satu sama lain, tidak berimbang; tak jarang diskusi kurang mendalam-integral. Nah, untuk memberi solusi terkait hal itu, maka pesantren afkar ke depan akan menngunakan sistem kelas per-kelas. Meskipun awalnya hal ini untuk semua kalangan NU, tapi untuk tahap awal sistem ini lebih fokus pada afkarian.

Sistem kelas ini, tentu akan tergambar pada afkarian sebuah sistem yang membosenkan. Nah, sesuai usul dari para senior, kak muhib, mas atjeng dan makfi (pinum demisoner), kita harus menyiapkan suatu metode yang kelihatannya klasik, namun disuguhkan dengan bingkai yang memukau. Khususnya terkait hal yang bersifat teknis-praktisnya.

Untuk dari teknis-praktisnya: mentor, hidangan diskusi dan tempat-nya dengan pra-syarat yang telah disebut di atas: memukau, nikmat-lezat. Mentor; guna mengakomodir hal itu, maka kita telah memilihkan mentor, yang menurut standart-standart yang telah ditentukan, di samping itu, juga mempunyai emosional yang dekat-intim dengan para afkarian. Tentu juga disesuaikan 'hidangan'. Mentor, tentu sangat berkait kelindan dengan kurikulum, kolaborasi pemaparan diskusi dan metode yang 'anyar'.

Berkait dengan 'hidangan'(red; kurikulum), sesuai kebersepakatan, dalam tahap awal kita akan menyelesaikan tiga bidang: sejarah Islam klasik, pemikiran kontemporer dan, terakhir, dealektika kontemporer dan turats. Hal ini sekilas berat, namun, cukup dengan diwakili beberapa buku kita akan mengetahuai peta dan tata letak di mana kita akan lebih memperdalam, tentu sesuai yang kita mood (spesialisasi) untuk ke sana. Minimal untuk dasar pondasi kita sebagai insan akademis—untuk buku akan diberitahukan menyusul. Sedang, untuk elaborasi( berkait teknis-praktis yang lebih detail) dan metode yang 'anyar' akan dibicarakan dan didiskusikan lebih lanjut bersama afkarian ketika kumpul perdana pada tanggal 20 februari 2009—tak ada alasan untuk tidak datang, mohon dengan sangat pada semuanya, afkarian, untuk meng-kosongkan pada waktu yang telah ditentukan sesuai kesepakan. Sedangkan untuk masalah tempat, sepertinya, untuk tahap kali pertama kita maksimalkan untuk di sekretariat NU. Di samping pembahasan bia r lebih fokus-khusyuk, pertimbangan berselng-seling. Pasalnya, kemarin kita telah kumpul di luar Sekretariat.

Sedikit ulasan terkait metode pesantren afkar. Pesantren afkar ke depan menggunakan, seperti yang di singgung di atas, kelas-per kelas. Dalam hal ini, kita bagi dua. Alias dua tahap. Tahap awal, tentu pengenalan. Maka, kurikulum pun tak jauh melangit. Cukup sederhana: sejarah Islam klasik, pemikiran kontemporer dan dealektika turats dan kontemporer. Penekanan dalam tahap ini: analisa kritis afkarian, keseriusan untuk menyelesaikan tugas-tugas awal dan dasar pondasi dasar yang sama antara anggota.

Setelah tahap awal. Di rasa sangat urgen apabila penekanan dan akselerasi afkarian biar lebih berkembang, sangat perlu pembelajaran menulis yang digodok secara serius dan kontinyu. Maka, sambil melanjutkan misi awal, segi tulis menulis menjadi acuan selanjutnya. Sedan untuk teknis praktis yang lebih mendetail kita akan bicarakan lebih lanjut ketika kumpul. Lain sisi, kita juga akan mengembangkan beberapa kurikulum dan buku sesuai kebutuhan yang dibutuhkan.

Guna merealisasikan hal-hal besar urgen di atas, tentu dibutuhkan komintmen besar beserta keseriusan yang dalam. Ini bukan lahir dari afkar, tapi lebih dari itu, harus dimulai dari afkarian (alias individu-per individu)sendiri. Sedang metode, cara dan, beberapa stimulan di atas, katakanlah, berupa media. Hanya jembatan, untuk menuju shirâtal mustaqîm. Setelah lahir semangat-baru dari afkarian, tak ayal ke depan akan timbul-tumbuh gerak aktif afkarian semua. Maka, di sini, kami mewakili staf pesantren afkar, menerima dengan legawa-lapang dada hal-hal yang berkait usulan, kritik dan masukan-masukan yang lebih konstruktif.

Akhirnya, demikian dulu. Ini yang bisa saya tulis. Bisa saya ulas. Guna lebih membuka diskusi dan sharing ide sesama afkarian; maka sangat baik bila hal ini diteruskan untuk ditanggapi. Untuk masukan buat afkar khususnya pesantren afkar


Filsafat Dalam Islam

Menelisik Filsafat di dalam Islam



Prolog
Bermula sejak transliterasi berbagai literatur dan magnum opus filasafat Yunani di semua ranah intelektual kedalam bahasa arab pada masa kholifah al-Mansur di abad 8 M, Secara struktural dengan adanya asimilasi peradaban di atas, maka filsafat muncul di dalam islam meskipun secara nature dan culture filsafat sudah ada sejak zaman Nabi SAW.

Pada masa berikutnya, yaitu pada masa al-Ma’mun merupakan puncak keemasan kegiatan transliterasi untuk pertama kalinya buku-buku metafisika; etika; dan psikologi yang ditranslit ke bahasa arab. Dan semua literatur ditempatkan di perpustakaan terbesar di dunia pada waktu itu ( Baitul Hikmah ) yang bertempat di Baghdad. Kegairahan intelektual mulai mencapai zaman keemasannya, ditandai dengan muncul dan berkembangnya berbagai disiplin ilmu. Seperti psikologi, sosiologi, astronomi dan filsafat khususnya.


Tulisan sederhana ini merupakan sebuah edisi interaktif dalam kajian bersama rekan-rekan “Fosmake.” Dengan pokok bahasan yaitu mencoba untuk menelusuri arti definitif filsafat di dalam islam. Menelisik fase- fase filsafat di dalam islam sekaligus sedikit mengenai dialektika filasat dan agama. Dengan menyimpan harapan agar kita bisa memandang filsafat dengan obyektif dan sebagai motivasi pembaharuan yang merupakan proses abadi yang tidak mungkin dihentikan.

Definisi Filsafat
Apakah itu filsafat ? bagaimana definisinya ? mungkin pertanyaan ini yang pertama kali muncul ketika akan mempelajari filsafat. Secara etimologi filsafat berasal dari Yunani, Philoshopia, yang berarti Philo = cinta, dan shopia = pengetahuan, hikmah. Jadi, filsafat dapat diambil arti definitive sebagai cinta pada kebijaksanaan ilmu pengetahuan. Namun ketika kita tilik dari segi praktisnya, filsafat berarti alam pemikiran / alam berfikir. Berfilsafat artinya berfikir, tapi tidak semua berfikir disebut berfilsafat. Berfilsafat adalah berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh.


Adapun arti definitive dilihat dari kaca terminologi kita akan melihat beragamnya interpretasi di antara para filsuf; (i) Plato (427 SM-374 SM) seorang filsuf termashur, murid Sokrates dan guru dari Aristoteles, mengatakan filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang ada, (ii) Al-Farabi (870-956 M) filsuf terbesar sebelum Ibnu sina dan mendapat gelar “guru kedua”, mengatakan filsafat merupakan ilmu pengetahuan tentang alam maujud yang bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya, (iii) sedangkan Immanuel Kant ( 1724-1804 M) yang sering disebut raksasa pikir barat, mengatakan filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencangkup di dalamnya empat persoalan, yaitu: apakah yang dapat kita ketahui ? (dijawab dengan metafisika), apakah yang boleh kita kerjakan ?( dijawab oleh etika) dan samapi dimana pengharapan kita ? (dijawab dengan antropologi).
Beragam arti definitif diatas tidak mengindikasian antara filsuf satu dengan lainnya bertentangan, melainkan saling mengisi dan melengkapi. Tentu hal ini tidak lepas dari epistemologi, pisau analisa dan kondisi sosial masing- masing filsuf, dengan satu tujuan yang paling asasi yaitu pengertian dan kebijaksanaan.

Fase-fase Filsafat di dalam Islam
Henry corban dalam karya monumentalnya membagi filsafat didalam islam menjadi tiga fase, yaitu;
a) sejak awal datangnya Islam sampai meninggalnya Ibnu Rusyd (1198 M). pada fase ini di bedakan menjadi dua, antara masa sebelum penerjamahan yang mana umat muslim masih bercorak murni, yang masih dalam lingkup local dalam pemikiran dan belum banyak ide-ide yang segar untuk pencerahan islam pada waktu itu. Kemudian fase setelah kegiatan transliterasi yang di pelopori oleh Al-Kindi, pada fase inilah islam mengalami lompatan-lompatan peradaban dan ilmu pengetahuan dimana puncak kejayannya pada masa kholifah Harun al-Rosyd. Hal tersebut bertahan hingga tahun 1198 M di daulah Umayyah Jadid Cordoba. Setelah itu Islam kaah perang dengan pasukan-pasukan salib yang dipimpin oleh Raja Ferdinand dan Ratu Elizabert, lalu terjadi asimilasi dan transliterasi literature-literatur Islam ke bahasa latin di Shoqliyah (Sisilia) dan Thalithalah (Toledo). Akhirnya pusat peradaban secara otomatis berpindah ke barat pada waktu itu juga sampai sekarang.
b) Kebangkitan para theosof-theosof di negeri Iran. Lalu muncul aliran-aliran theosof yang terpengaruh dari metafisika filsafat yunani. Hal ini terbukti dengan munculnya tokoh seperti Ibn Arabi dengan Illuminasinya, al-Hallaj akan konsep al-Ittihatnya dan sampai masa stgnansi islam yang berlangsung kurang lebih selama 2 abad.
c) Fase ketiga, merupakan masa kebangkitan islam untuk melawan imperalisme dan kolonialisme barat. Sebab pada masa ini seluruh bangsa islam merupaka tanah jajahan. Kebangkitan islam pertama di koarkan oleh Jamal al-Din al-Afghani (1849-1905M), Muhammad abduh (1849-1905 M) dan lain-lainlain.

Penting bagi penulis untuk memaparkan salah satu pemikiran filsuf tiap fase-fase diatas guna memperjelas subtansi dari filsafat di dalam islam. Adapun fase awal, Ibnu Rusyd yang telah mengadakan pemaduan antara filsafat dan agama, bahkan melebihi filsuf-filsuf yang telah mendahuluinya. Berdasarkan ini, ia menyimpulkan bahwa antara filsafat dan agama merupakan saudara sesusuan yang bermuara pada satu muara yang bernama ‘kebenaran mutlak’.
Sedangkan pada masa ke-2, theosof yang masyhur pada waktu itu salah satunya Suhrawardi al-Maqtul yang mengembangkan konsep illuminasinya. Dengan mengelaborasikan teori filsafat plato dan emanasi yang dikembangkan oleh al-Farabi yang dijadikan sebagai dasar epistemologinya. Illuminasi, menurutnya merupakan suatu fase yang sangat menentukan perkembangan pemikiran islam sebagai produk logika yang dikembangkan oleh madzhab Ibnu sina, sementara di sisi lain ia mengembangkan filasafat plato.

Untuk fase terakhir, kebangkitan islam dipelopori oleh beberapa tokoh yang antara lain; (1) Jamaluddin al-afghani, seorang sarjana politik asal Afghanistan. Sebagai penganjur koreksi pengetahuan agama islam yang bersifat tradisional,’kolot’, untuk disesuaikan dengan kondisi kekinian. (2) Muhammad abduh (1849-1905 m), seorang murid dari al-afghani sekaligus mufti besar mesir yang amat terkenal dengan pemikirannya meremajakan pengetahuan islam klasik. (3) Muhammad iqbal; seorang theosof, pujangga dan filsuf dari Pakistan. Dalam pemikiran beliau, rekonstruksi pemikiran dalam islam adalah sebuah keniscayaan yaitu dengan pisau analisis antropologis-historisnya guna melakukan lompatan-lompatan pembaharuan dalam struktur tradisi pemikiran umat islam. Khususnya India atau Pakistan.

Epilog
Realita sekarang tentunya sangat diperlukan renungan filosofis guna menjawab problematika zaman, yang mengharuskan setiap generasi berdialektika dengan zamannya dan memberikan jawaban yang relevan sesuai dengan konteksnya. Upaya revitalisasi fisafat di dalam islam bukan hal yang aneh lagi bagi para ulama dan pemikir islam. Meskipun hingga saat ini pandangan umat islam masih pro-kontra untuk masalah filsafat itu sendiri, apakah filsafat diperlukan di dalam islam dan identitasnya merusak akar-akar esensial agama islam (?). Dimanakah sebenarnya letak permasalahannya? Mari kita diskusikan!



NB : tulisan ini, juga dimuat di blog : Fosmake.blogspot.com



Membincang seklumit berkait “Tempe’”;

Untuk:Punggawa Partai dan Simpatisan


Terhitung dari sekarang, memang pemilu sebentar lagi. Tidak sampai 2 bulan ke depan. Di milis, media: baik cetak maupun elektronik selalu lumer iklan; kampanye. Iklan partai: mulai yang bermasyarakat dalam arti me-rumput, tak jarang juga yang kontroversial.

Di mesir, masisir, sampai sekarang tercatat tensi politik sudah mulai meningkat. Mulai dari membuat kiasan, semisal seperti “Tempe”, juga mengeluarkan bulletin. Di samping ada juga yang baru menjadi simpatisan partai. Salahkah? Tidak. Sah-sah saja. Saya secara pribadi itu merupakan pilihan. Sikap politik seseorang yang mempunyai hak politik sebagai, konsekuensi logis, warga Negara.

Di milis, sebagai simpatisan partai, menurut saya, hendaknya ketika mengkapanyekan dengan langkah yang lebih konkrit. Entah itu berupa promosi program kerja. Visi misi. Dan langkah solutif untuk mengatasi berjibun problema di Indonesia. Itu yang belum saya lihat dari: simpatisan, anggota dan juga pengurus partai di Masisir.

Yang ada, sepengetahuan saya, hanya ‘menjual’ kebaikan-kebaikan partai, meskipun bukan semua khalayak menganggap itu baik. Wajar bila ada yang menganggap itu klaim. Bahkan tak jarang malah membuat “sakit hati” objek yang pernah ditolong. Nolong kok pake pamrih, di umbar-umbar lagi(?). Dan hampir semua partai bersepakat ketika kampanye, beriklan dan promosi ke “bawah” dengan pola-model yang serupa. Bisa di-check: Di media.

Saya, sebagai warga Negara yang belum baik, setidaknya perlu mengetahui apa saja yang menjadi iming-iming jika saya memilih salah satu partai itu. Semisal Pks. Paling sering memosting. Paling sering dihujat-dibela. Dan tak jarang “mengaku” representasi partai yang bersih.

Di milis ini, mungkin, bagi yang merasa simpatisan, pengurus, jenderal dan anggota partai ini: guna memberikan keterangan yang lebih jelas terkait partai ini. Bukan sekedar professional, bersih dan peduli, tapi lebih dari itu. Apa program konkrit ke depan. Semisal persoalan barang tambang(emas, timah, batu bara, gas dan lain-lain). Apa sikap partai tentang perekonomian global(pasar Modal, krisis ke-uangan, dan sikap kepada “pengusaha”?. Sikap tentang ideology Negara( apakah sudah mengakui Pancasila sebagai azas final Indonesia?). Global warming? Bagaimana langkah politik berkait kelindan dengan pemekaran wilayah, pemilu dengan system suara terbanyak, dan keterwakilan perempuan. Apakah dengan keterwakilan perempuan, tapi tidak menempatkan perempuan di nomor atas, malah nomor sepatu: sah wajar wajar kah?Bagaimana kampanye dengan santun? Bagaimana mendekati sesama konstituen, berkompetisi sesama partai dengan menjungjung tinggi sopan santun? Dan lain hal, yang sekiranya lebih konkrit daripada berkampanye dengan tajuk ‘ Tempe’. Bukankah begitu.

Saya juga bertanya: berkait kelindan dengan warna. Apa arti warna bagi Pks? Kuning itu warna partai siapa?

Masisir, sebagai representasi mahasiswa Muslim yang shalih, secara maklum bisa ditebak afiliasi ke partai Islam. PKB, PKNU, PPP dan beberapa partai lain. Apakah POlitik seperti Itu? Fahri HAmzah, sudah bukan saatnya politik Aliran. Dan ini diamini elit politik. Sepatutnya kita mencermati kata-kata ini. Apa kondisi social masyarakat kita sudah bisa menerima kata itu. Fanatisme apa memang sudah luntur lebur adanya? Saya lihat masih belum. Masih belum. Bahkan Di mesir sekalipun.

Apakah benar? Asumsi saya sampai sekarang, setidaknya, mungkin bisa dilihat dengan kasat mata, bisa dipastikan warga Indonesia yang di mesir secara massif lebih condong ke partai yang ber azaskan Islam. Terbukti PKS dan PKNu. Setidaknya ini salah satu bukti, di samping memang masih jarang partai lain yang membuka cabang: atau memang tidak diperbolehkan sama Undang-Undang? Suara miris-sinis pasti dating ketika orang ber-afiliasi dengan partai Non- Muslim. Kok ber afiliasi, baru diobrolkan ringan aja sudah dihujat. Salut juga pada rekan yang berani berafiliasi dengan partai Non-islam(nasionalis-religius atau sosialis-religius).

Sedikit-seklumit pandangan saya terhadap partai. Partai:alat untuk mencapai kekuasaan secara structural di Pemerintahan(legislative, dan eksekutif). Dia hanyalah alat. Jembatan. Dan konsistenkah partai tersebut, menurut saya, harus visi misi dan pola partai itu yang menjadi ukuran. Bukan Individu perindividu. Semisal: ada yang masuk panti pijat, korupsi, menerima grativikasi, itu bukan salah partai secara mutlak, namun individu. Partai hanya kena Imbas. Image. Akhirnya, image buruk pun melekat-merekah.

Lain sisi, saya, juga mencermati, adanya kecondongan untuk bergabung tanpa ada penjajakan secara serius. Dua partai yang hampir menjajaki secara serius, tapi masih gagal. Partai Kuning dan merah. PDI perjuangan dan Golkar. Gagal total. Dan menurut hemat saya sepatutnya gagal.

Sedang koalisi paling canggih terdengar: golkar dengan PPP, PKS mendekat ke PDI perjuangan, koalisi poros tengah jilid II. Itu sebagian kecil contoh. Tentu dari sample yang tertera, PDI perjuangan dengan PKS, atau Golkar dengan PKS itu yang paling menarik untuk dilihat. Pasalnya, PKS yang sering ‘mengaku’ paling Islam(atau representasi partai bersih) mendekat dengan partai Merah, PDI perjuangan di mana secara image representasi sosialis di Indonesia: partai ne wong cilik. Bisa dipertemukan, hanya dalam lingkup kepentingan bersama. Meraih kursi presiden dan wakil. Menyandingkan Ibu Megawati dan Pak Hidayat; dengan mengorbankan bejibun hal prinsipil di partai. Ideology tentu menjadi catatan yang menarik(Islam VS (Image)Sosialis)—banteng yang makan padi dan kapas, atau memang bersedia dimakan? Di samping PDI Perjuangan harus legawa dengan perkataan pak Tifatul tempo lalu.

Sedang untuk Golkar, sulit. Hal ini lebih dikarenakan, apa yang menjadi target Golkar sendiri, dan lebih sering Golkar lari ke sana kemari. Ini yang menjadi catatan penting. Semisal, Golkar bersedia Koalisi dengan DEmokrat ketika 80% kursi menteri dikasih ke dia. Bila ini terjadi dengan PKS dan mau, gmn kata kader? Dikemanakan kader2nya? Meskipun PKS sadar dia partai baru. Baru juga mau ke kursi capres-cawapres. Yang tidak bisa saya bayangkan, di Masisir, bung Mus’ab bersalaman dengan para kader PKS. Kalau bung Mus’ab tentu mau(bukan subjektif, lebih dikarenakan saya kenal beliau). Tidak tahu untuk kader pks yang mengkuyo-kuyo bung Mus’ab.

Sedang, untuk pemilu legislatif. Sepertinya, jamak dari masisir yang abai dengan pola pemilu 2009. Pemilu bukan partai yang lebih penting, tapi tokoh. Mengingat suara terbanyak yang menjadi pijakan: sesuai keputusan MK. Jadi, sekiranya, rekan-rekan tidak mau Golput, maka carilah tokohnya. Partai urusan lain. Di samping memang sudah tidak terlalu penting. Menurut saya. Kecuali rekan-rekan yang telah menjadi anggota partai. Bagi yang menjadi “bola liar” seperti saya, sebaiknya melihat2 dulu, mana tokoh yang kelah dicontreng. Mana yang senafas dengan ideology bangsa. Bangsa Indonesia. Mana yang Konsis memperjuangkan rakyat. Tokoh mana yang dalam perjalanan Hidupnya bersih, merakyat dan hebat. Bisa mnyejukkan rakyat. Bisa mengkontrol pemerintahan ke depan guna lebih baik. Pasalnya, apa gunanya kita memilih partai kemudian tokoh yang terpilih malah tidak kualitatif. Rugi 180 derajat. Juga, tidak begitu penting partai nya bersih atau Tidak, asal tokoh nya bersih. Juga tidak begitu penting ideology partai, asal tokoh nya bisa dipertanggung jawabkan. Bagitulah pola pemilu 2009? Menurut saya.


Sunday, February 8, 2009

Komunikasi Aktif Rekan Baru Lakpesdam

Dealektika Akal-wahyu, Sufi pinggiran dan Feminis Terpasung;
Lima di dalam Satu (Rekan baru)

Lakpesdam, Sabtu( 15/11), menggelar kajian Reguler-nya. Kali ini, kajian hadir dengan format yang berbeda: Kritik atas Kritik Pemikir Kontemporer sebagai “mega proyek”, kali ini dijeda dengan adanya seleksi anggota ‘anyar’. Tak ayal jika pemateri, yang biasanya hanya satu orang, ini kali hadir dengan jumlah yang membengkak; lima orang.

Adalah Mey Rahmawati yang mengkaji feminisme; Nawal sa’dawy sebagai misal; Nur Fadlan dan Nova Burhanuddi mengkaji geliat sufi pinggiran (terpancung); Al-Hallaj dan Suhrawardi sebagai misal; dan terakhir, rekan Hadidul Fahmi dan Mulyadi dengan tema besar: dealektika akal dan wahyu dengan misal Hasan Basri. Dilakukan dalam waktu yang bersama, ini lebih terkait pada efesiensi waktu; selain ini memang tradisi.

“Kita sengaja mengadakan seleksi secara bersamaan, hal ini lebih dikarenakan guna efesiensi waktu dan tradisi Lakpesdam tahunan (dalam menyeleksi)”, ungkap rekan Irwan Masduqi (Koordinator 2008-2010). Terkait syarat yang diajukan dan prosedur yang harus dilalui untuk anggota (rekan baru) beliau berkata: “Awalnya kita undang mereka untuk hadir kajian, dengan tenggang waktu akan terlihat keaktifan dan komitmen mereka untuk mengikuti kajian; di sampang pola baca dan kualitas baca juga menjadi pertimbangan yang tak kalah penting. Kemudian, mereka kita minta untuk membuat makalah (seperti hari ini); mempresentasikannya. Jika mereka memenuhi standar, maka akan kita ikutkan dalam “mega proyek” dan menjadi anggota tetap. Sedang yang masih belum cukup, menjadi anggota tidak tetap.” Lanjutnya.

Pukul 17.00 kajian dimulai. Masing-masing presentator mendapat waktu sepuluh menit untuk mempresentasikan makalah. Riuh, meriah, mengalir renyah, dan tanpa mengurangi konsentrasi. Tentu tetap kondusif meski lima presentator sekaligus.

Kaum sufi, acap kali, paham yang ‘ambigu’ dan korban eksekusi penguasa lekat pada mereka. Al-Hallaj dan Suhrawardi al-Maqtul adalah bukti konkrit. ‘Wihdatul Wujud’, wacana yang cukup kontroversial kiat melakat al-Hallaj. Bahkan kuat dugaan, beliau telah menjadi inspirasi salah satu wali di tanah Jawa, Syech Lemah Abang. Pada narasi jalan hidup—Al-Hallaj dan Syech Siti Jenar— meski secara geografis berbeda, namun mirip dalam paham sufistik. “Pun akhir hidup keduanya yang bernasib sama; bahkan sebab-musabab Intiqôl-nya sama. Di pancung oleh penguasa kala itu.” Jelas Nur Fadlan dengan nada getir-mencekam.

Sementara mengenai Syekh al-Isyrâq, seorang sufi asal Persia ini, secara lebih dalam dikupas oleh Nova Burhanudin dalam makalahnya. Sufi bernama lengkap Syihabuddin Yahya Al- Suhrawardi al-Maqttul hidup di abad 6 H. Dengan mengakomodir segala macam aliran (filsafat), parepatetik an sich dan ‘gnostik an sich’, Suhrawardi berniat melestarikan pola pikir Filsafat yang didaku lebih ‘pas’ dan demi melanjut peradaban; khususnya “falsafî” (Henry Corbin; 303,1998). Kuat perkiraan, budaya falsafî berpindah ke Persia pasca wafatnya “Imam agung parepatetik” (Ibn Rusyd), di Andalusia. Namun dengan corak dan bentuk yang lain. Semula, Parepatetik yang berdasar pada akal an sich, setelah di tangan Suhrâwardi bercorak lebih akulturatif antara akal dan ‘hati’; lebih masyhur dengan paham Iluminasi. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu sebab pihak pemerintah pada masanya, Shalahuddin al-Ayuby, naik pitam. Jargon ‘paham sesat’ menyeruak-menghimpit. Dengan disertai dalih ‘ini-itu’ akhirnya beliau mati dengan misterius (dipantung, dibunuh di dalam penjara, atau bahkan dibakar).

Dialektika akal dan wahyu menjadi maklum dan ‘wajar’ di era sekarang. Apalagi, hal ini mempunyai akar sejarah yang kuat. Islam sebagai misal. Di era Nabi saw. memang semua keputusan sentris pada beliau. Ini wajar. Namun kalau kita tilik keputusan-keputusan yang diambil oleh Nabi, semua berdasar wahyu dan akal; serta kemaslahatan. Dilanjut, Khâlifah Umar ra., beliau pernah mengambil keputusan yang benar-benar melampaui teks (al-Qur’an). Yakni terkait had potong tangan pada pencuri dan pemberian Zakat pada Muallaf. Hal inilah yang kemudian menjadi dalih ‘akal’. Keputusan bisa diambil secara Rasional–kontekstual, selagi kemaslahatan tercapai; akhirnya hukum tidak hitam-putih.

Berjalan waktu, muncul berbagai aliran dalam tubuh Islam. Dalam Ilmu kalam: Muktazillah (Qadariyyah), Sunni, Syi’ah, Khawarij, Murji’ah (Jabariyyah), dll. Di bidang Fikih, muncul beberapa madzhab, di antaranya, Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hambaliyyah, dan Hanafiyyah. Begitu juga pada ranah filsafat, yang terpengaruh dari Yunani, akhirnya memunculkan aliran Masyriq dan Maghrib. Hal ini bukan menjadi batu sandungan, tapi justru memperkaya khasanah keilmuan Islam. Sebagai bukti bahwa kuasa akal tak layak, dan tidak pernah samasekali terjadi, ditunduk-bekukan di hadapan teks.

Semisal, Hasan al-Basri (Sunni), yang berselisih paham dengan rekan Muktazillah berkenaan dengan diskursus ‘Murtakib al-kabirah’. Memang terdapat interpreter yang berlainan dan akut. Bahkan, kala itu tidak ada kemungkinan toleransi satu sama lain; berakibat saling ‘klaim’. Bukan perbedaan yang kita ambil, melainkan semangat ijtihad dan semangat mendialogkan antara akal dan Wahyu secara maksimal; serta semangat menghormati perbedaan satu sama lain. Inilah kiranya kunci pokok untuk kita hidup di Zaman Postmodern, sekarang ini. (Hadidul Fahmi dan Mulyadi)

Isu terkini, ramai dan lagi hangat di bumi Arab: Feminisme. Nawal sa’dawi, untuk konteks sekarang, berada di garda depan; terkhusus di Mesir. Beliau yang nota-bene seorang Dokter, politikus, dan, juga penulis ulung. Esai-esai beliau memberi inspirasi, tersendiri bagi orang Mesir; khususnya perempuan. Dia meneruskan ‘mega proyek’ Bapak feminis, Qosim Amin: menyetarakan derajat perempuan baik di publik maupun di agama. Di depan Publik, niscaya, perempuan hadir dalam kancah politik, sebagai misal, dan bersejajar dengan laki-laki. Sedang di ranah agama (pemahaman agama), dia mengkampanyekan monogami, menolak kekerasan dalam rumah tangga, dan memberikan pendidikan layak bagi kaum perempuan.

Berat tentu guna meng-goal-kan proyeknya, semangat pembacaan kritis-rekontruksif—kalau perlu Dekontruksif— sejarah keagamaan, khususnya di era Risalah, adalah “harga mati”; ditempuh dengan pendekatan dealektika-materialistis. Ini terbukti bahwa dia merekontruksi kembali sejarah peradaban Mesir kuno, era Nabi: semua hadir hampir dengan wajah yang benar-benar berbeda. Sedang pendekatan yang diambil—dealektika-materialistis—terlihat dalam pola penulisan: melawan hegemoni pemerintahan dengan menampilkan ‘wacana pinggiran’ dan dalih Humaniora (kemanusiaan), diperkuat keterpengaruhannya, pada Jaques Lacan yang nota-bene-nya adalah pemikir Marxisme dalam ranah psikologi.

Akibat ‘ulah’ ini, Nawal merasakan ‘gelap’-nya penjara. Lebih lanjut, tulisan-tulisannya membuat geram—bahkan sempat keluar Issue ancaman untuk dibunuh— semua pihak, baik para perempuan Mesir yang shock culture, pemerintah, dan bahkan Ulama-ulama; Al-azhar khususnya. Kendati demikian bukan menjadi sandungan bagi Nawal, malah jadi ‘Cambuk’ tersendiri untuk menyebarkan ide-idenya. Hasilnya, kesetaraan gender di Arab, khususnya Mesir, sudah menampakkan ‘buah’.( Mey Rahmawati)

Setelah kelima rekan baru mempresentasikan makalah, moderator yang kali kesempatan ini dibawakan oleh saudara Nora Burhanuddin, mempersilakan rekan-rekan Lakpesdam untuk memberikan catatan—secara isi maupun teknis makalah, menambahkan dan, mungkin, ada yang menawarkan pembacaan ‘baru’; dengan tenggang waktu tujuh menit untuk setiap anggota.

Beberapa rangkuman kritis dari rekan-rekan: terkait fokusnya pembahasan, proses editing makalah, referensi dan beberapa catatan kecil yang menyertai. Makalah bagus kala pembahasan fokus serta pendekatan yang dipakai jelas. Semisal, dalam penulisan al-Hallaj, kita tidak bisa melihat mana yang fakta dan mitos. Di samping pendekatan yang di pakai masih kabur; makalah terlihat seperti cerpen. Itu misal-nya.

Di lain itu, proses Editing perlu ada perbaikan; memang dalam editing makalah penulis harus cermat, sabar dan teliti. Ini modal sekaligus tantangan yang harus dimiliki penulis. Di makalah rekan-rekan (baru) masih perlu banyak perbaikan. Di samping latihan se-sering mungkin menjadi “wajib ‘ain”, ini, harusnya, dilakukan secara otodidak dengan maksud menanamkan kemandirian dan, kemudian, mempunyai karakter tersendiri dalam menulis, selain tidak melulu bergantung pada Editor. Kemudian, hal-hal teknis perlu menjadi perhatian tersendiri: dalam menuliskan kata yang berimbuhan—antara yang dipisah dan digandeng— serta kata serapan yang di Indonesia-kan.

Perspektif, penting. Baik dalam pandangan dan konteks yang di alami: Pra syarat rasional-kontekstual. Ketika kita menuliskan sesuatu, apalagi konteks yang ditulis di zaman klasik, konteks ke-kinian urgensi tersendiri. Kita harus mampu menghadirkan nilai-nilai yang bisa dikembangkan untuk zaman sekarang. Misal, pola pandang Hasan Basri, mungkin, cocok kala itu. Sedang sekarang ada perubahan, ada paradigma penafsiran yang lain, ‘baru’, bahkan tidak-sama dengan penafsiran kala itu (terjadi proses melampaui). Guna mencapai ini, maka, teks (al-Qur’an dan al-Hadits) beserta tafsiran-tarsiran-nya harus ‘berpacaran’ dengan displin keilmuan Modern: sosiologi, antropologi, psikologi dan, barangkali, masih bejibun disiplin ilmu yang lain. Bukan untuk proses desakralisasi agama melainkan, agar, penafsiran-penafsiran agama itu kontekstual-rasional dan se-irama-mesra dengan zaman; saling keterkaitan.

Diskusi diberhentikan mengingat waktu yang cukup malam, sementara Rekanita Buuts putri juga harus pulang. Kemudian diteruskan beberapa kalam dari Koordinator (Irwan Masduqi): apakah hari ini diskusi terakhir, mengingat, PPMI sudah tutup kegiatan? Silaturahmi antar kawan diskusian harus lebih dierat! Dan administrasi uang Buku, harap segera dirapikan.

Untuk hari diskusi, setelah menimbang, memperhatikan, dan dengan diperkuat kesepakan rekan-rekan semua: diskusi terakhir besok, selasa 25 November 2008, dengan grand tema “kritik atas kritik Tafsir Muhammad Syahrur”. Kemudian guna melekat-eratkan silaturahmi antar anggota, Lakpesdam akan mengadakan Rihlah maktabah selepas ujian term I. Dan untuk Buku Lakspesdam, bagi rekan-rekan Masisir yang belum dapat, Insya Allah dalam minggu ini sudah bisa tersedia, dan bisa dibeli di sekretariat PCINU Mesir; karena ada cetakan II.

Diskusi berakhir pukul 20.30. bagi kawan yang “merokok” harap jangn tergesa-gesa meninggalkan sekretariat, karena ada titipan Rokok Indonesia dari Abah Robith Qosidi(koordinator Lakpesdam 2006-2007); gratis. Juga, minta do’anya, Insya Allah, sabtu(29/11), akan melangsungkan akad nikah. Semoga diberi kebahagiaan dan tertular pada kita semua kelak. Amien.


Mengkritik kritik Akal Islam Arkoun

Rabu, 05 November 2008, Lembaga Kajian Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) mengadakan kajian Reguler dalam mega proyek-nya “Kritik atas Kritik Nalar Islam”: dengan mengkaji para pemikir garda depan kontemporer kemudian dianalisa-dikritik dengan berbagai sudut pandang epistemik. Sebelumnya Lakpesdam mengkaji Kholil Abdul Karim, koordinator demisioner sebagai presentator, M. Mawhiburrahman, Lc, dikaji dalam sisi sejarah dengan pendekatan Dealektika Materialistis-Historis. Muhammad Said al-Asymawi, teh Nikmatul azizah sebagai pengkaji-nya, mencoba menilik konsepsi dan(atau) analisa Politik Asymawi, terkenal dengan pemikir sekuler Mesir, menggunakan pisau analisa Filologi-linguistik dalam timbangan nalar yurisprudensi Islam. Lah, kali ini urut ketiga kajian lakpesdam dalam “mega proyek”-nya, mengkaji M. Arkoun, tema besarnya “Kritik Atas Kritik Akal Islam; kecacatan Epistemologi Muhammad Arkoun”, Faiq Ihsan Anshori sebagai presentator, bertempat di sekretariat PCINU Mesir, Bawabah II.

Kajian dimulai pukul 15.45, moderator kali ini, Saudara Irwan Masduqi— Koordinator 2008-2010—memberi gambaran global terkait dengan Arkoun, sebelum kawan Faiq presentasi. Arkoun pemikir prolefik, juga menjadi kiblat pemikir “Liberal”, terkhusus Indonesia. Kumandang Ijtihad paling “anyar” dan pembacaan Al-Qur’an dengan semangat “kebebasan” slogan maklum, tak asing, terdengar dari Arkoun. Tapi tak adil, mungkin juga, tak pas kalau kita membaca Arkoun hanya dengan se-potong-potong, hanya berkutat kumandang pembaharuan dan Ijtihad tanpa memahami-nya secara proposional; mengambil nilai manfaat-nya secara selektif-rasional. Jika pra-syarat ini tak terpenuhi tak ayal, bukan pembaharuan dan segudang slogan menyoal hal ‘tadi’ terimplementasi, malah akan tercipta “taklid baru”. Biar lebih jelas-lugasnya, tanpa berbasa-basi lama akhi Irwan mempersilakan kawan Faiq mempresentasikan makalahnya; dengan durasi waktu tiga puluh(30) menit.

Di awal presentasi, kawan Faiq share kesan membaca Arkoun, hanya kata ini yang tepat bisa mewakili, “jatuh Cinta”; meski rumit di bahasa tak jadi kendala berarti. Karena kita akan dikenalkan, ditawari bejibun metode “ayar” dari Barat, dengan tanpa selektif melihat madzhab pemikiran, diperlihatkan begitu besar-kaya khasanah Islam dipandang dengan sudut pandang yang lebih pas, setidaknya menurut Arkoun, dengan maksud agar Islam bisa “berjalan seiring dengan Zaman” dan tidak lekang dari “masa”.

Guna meng-goal-kan maksud baiknya Arkoun mengenalkan Proyek: “Kritik Nalar Islam”, dengan meminjam seperangkat “alat pendekatan” dari barat: Historis dan Antropologis(Humaniora); lingustis, semiotika dan sastra; tafsir Logika-leksiografis; dan terakhir tafsir Ideologi-teologis keimanan, untuk kemudian diterapkan dalam wilayah kajian ke-Islaman(Arkoun: 2001). Maka tak aneh jika dia banyak terpengaruh para pemikir barat semisal, De Sausure(linguistic), Levi Strauss(Antropologi), Lacan(psikologi-strukturalis), Foucault(Epistemologi), Gaston Bachelard(strukturalis), Jurgen Habermas(post-marxisme), Derrida (post-modernisme) dan masih bejibun pemikir yang memberi warna dengan ciri khas masing-masing pada-nya.

Dalam “mega proyek”-nya, semangat dekontruksi terlihat dominan, membongkar nalar dogmatis dan Ortodoks dalam agama (Islam;red) dengan jalan menggagas Islamologi Aplikatif: membangun ulang pola baca terhadap turats Islam(Al-Qur`an, Hadits—teks primer—, dan teks-teks keagamaan—teks sekunder). Ia harus dibaca secara kontekstual dan rasional; turats penting diguna untuk “bercermin” dengan maksud menemukan problem solving namun tak berlaku untuk diikuti; hanya jadi pijakan. Lalu, secara epistemik, Arkoun menawarkan, mengikut Foucault, memperluas nalar “yang tak terpikirkan” menjadi nalar “yang terpikirkan”, ini konsekuensi logis di era kontemparer.

Yang menarik, Arkoun, meski banyak mem-bebek ke Barat tapi tak jarang Ia mengkritik para orientalis abad 19. Mereka, menurut Arkoun, dalam membaca Islam hanya berhenti pada Metodologi antropologi, Filologi dan historisisme klasik; dan enggan berkiblat pada metode yang ter-anyar. Sehingga berimplikasi Islam tampak kering dan tak ‘nongol’ ruh progresifnya. Maka tak ayal, dalam kajian Al-Qur`an misalnya, hanya Noldekh yang dia anggap representatif.

Kendati demikian Arkoun bukan “malaikat” yang suci dari kritik, bebas dari cibiran.Bejibun juga kritik yang disematkan padanya. Diantaranya: Retakan Epistemologi dengan bukti terlalu gampang “melompat” untuk metode pendekatan yang dia pakai; akhirnya terlalu semena-mena dalam menggunakan metode, fatalnya menyalahi logika metodologi itu sendiri. Ini kritik paling tajam dan mendasar, di samping itu juga minim akurat dalam referensi; masih ambigu dalam hal mana Objek kajian dan subjek kajian dan juga bias kepentingan Ideologis. Kritikkan ini terlontar dari beberapa pemikir juga: Ali harb, Mukhtar al-Fajjari dan Ron Helber.

Setelah kawan Faiq selesai presentasi, moderator langsung mempersilakan kawan diskusian mengemukakan Argument hasil bacaan masing-masing; sehingga nampak lebih dialogis. Dari kawan-kawan: Arkoun harus dibaca secara termat dan proposional. Hal ini terbukti selektif-nya Arkoun ketika membaca dan mengkaji dialog antar agama, maka dia menggunakan sosiologi epistemik: bahwa setiap agama ada unsur kesamaan dan bisa di dialogkan dengan berdasar asas toleransi dengan melepas untuk saling meng-klaim terhadap kebenaran Mutlak. Sedang inter-agama(Islam; red), Ketika ia ingin mendamaikan Akal Syi’ah, Sunni, dan Muktazilah, misal dalam hal mitos, Arkoun menawarkan antropologi sebagai metode pendekatan: bahwa setiap mitos harus dilihat dari manfaat yang dimunculkan pada masyarakat, bukan dari rasional atau irrasional-kah mitos itu.

Kemudian, gugatan atau, mungkin, pertanyaan, sah tidak-nya seorang pemikir “lompat” metodelogi (?) di sisi lain juga banyak kawan yang mencoba mendekati Arkoun dengan Hermeneutika, pun ada yang menggugat metode yang digunakan: relativisme adalah suatu metode yang men-dewakan sikap destruktif; anti pada kemapanan. Sehingga diskusi tambah “hangat” sehingga mengharuskan ada sesi ke-dua.

Dalam kalam akhir-nya, kawan Faiq menjawab gugatan, hasil bacaan dan beberapa ide yang sekiranya menambah, menguatkan dan mungkin ada yang, barangkali, baru. Dan sekedar info, meski istilah “liberal” disematkan pada-nya, tapi ia seorang yang religius dan komitmen pada Agama yang ia anut; dengan bukti Naz`ah Al-Ansanah Fî al-Fikr al-Arâbiy, sebagai respon positif terkait issue yang marak berkembang seputar humanisme, pluralisme dan counter terhadap tuduhan yang ditunjukkan kepada Islam; teroris.

Setelah berakhir, kawan Lakpesdam tidak langsung selesai, tapi kemudian rapat sebentar seputar buku yang baru terbit. Penertiban administrasi, rencana launching dan penambahan cetak buku menjadi agenda utama rapat. Dilanjut pembagian tugas diskusi untuk mendatang, insya Allah, akan mengkaji tema: Sufi-sufi yang terpancung dan relasi akal dan wahyu, Muktazilah sebagai misal. Kawan-kawan baru pengkajinya (15/11/08).

Ketika, Saudara Irwan Masduqi(Koordinator) ditanya bagaimana diskusi regular kali ini? “Diskusi hari ini alhamdulillah lancar, kondusif dan kawan-kawan pro-aktif, kendati demikian masih ada sana sini yang perlu dibenahi, semisal bacaan yang lebih mendalam, pembelajaran analisa yang sekiranya kunci pokok dalam “mega proyek” ini sehingga ketika mengkritik tak berhenti pada perangkat analisa dan “subjek kritik”, melainkan melesak masuk pada “jantung” yang harus dikritik; maka diskusi tak hanya berhenti pada sesi kedua, barangkali, akan ada sesi ke-empat” katanya.



Afkar Perdana

Afkar Pembuka(-an);
Wejangan Para Senior “Mengalir”

Tercatat, terhitung semenjak 30 Januari 2009, Imtihan Term I selesai. Banyak organisasi(Ormas, Kekeluargaan, study club, bahkan PPMI sendiri) bergegas membuka Kegiatan; tak terkecuali Afkar.

Kemarin, Selasa (04/02), resmi membuka kegiatan dengan mengadakan jalan-jalan bareng dan sharing Ide ke Ma’rodl. Dalam acara ini turut hadir seniot afkar; baik yang masih di Kairo(Mesir) maupun di luar(Belanda): senior Munirul Ikhwan yang melanjutkan study di Leiden, Belanda; senior Mawhib yang baru menyelesaikan program S1 di Al Azhar Kairo-Mesir dengan taraqum jayyid, dan senior Ginandjar Sya’ban(Atjeng) yang beberapa waktu lalu ‘berganti status’ dan, sekarang koresponden NU Online untuk kawasan Timur tengah. Dan tentu, juga afkarian hadir begitu antusias setelah genap satu bulan ‘cuti’ untuk Ujian Term 1.

Acara dipandu oleh Editor Afkar(Miqdam Makfi) dan dibuka langsung oleh Pinum afkar 2008/09, saudara Ilan Muhammad. Lalu dilanjut ‘wejangan’ dari para senior.Kesempatan pertama, oleh moderator diserahkan kepada yang baru ‘berganti status’, mas Atjeng. Lalu Kak Mawhib dan, terakhir, sekaligus pamungkas, diserahkan kepada Kak Munir Ikhwan. Acara ditutup dengan beberapa patah kata dari Pimred (Khozin dipo) guna memberikan gambaran utuh-rinci agenda afkar ke depan.

Dialog, Nostalgia “Para Senior”
Setelah usai prakata-sambut kepada afkarian, dengan memberi ucap-selamat karena telah menyelesaikan Imtihan. Pinum Afkar, saudara Ilan, juga mengingatkan, meski dalam nuansa liburan para afkarian jangan abai dengan tugas dan tanggung jawab; tetap dipertahankan semangat afkarian: membaca dan menulis, mungkin, bisa ditambah optimalisasi itu. Kemudian Pinum memberikan gambaran global aktivitas kerja afkar untuk jenjang sampai menjelang imtihan term II mulai, namun dari semua itu, ada yang tidak boleh hilang: semangat dan konsistensi afkarian, tetap berpegang slogan: Canal Ide Segar.

Diawali moderator memperkenalkan satu sama lain para senior, kecuali kak Mawhib(bukan karena Apa, tapi udah pada kenal semua) pada afkarian semua; beserta sedikit gambaran kiprah para senior di Afkar; NU secara Umum. Kemudian mempersilakan Mas Atjeng, yang mendapat kesempatan pertama dari moderator, untuk memberi ‘wejangan’ pada afkarian semua.

Saudara Atjeng: diawali dengan Tanya, mang tahun ini afkar jadi GAM (Gerakan Anti Madam)lagi? Mungkin, Tanya ini muncul, karena masa beliau di Afkar tidak ada Madam sama sekali, tapi malah menjajah madam di tempat lain. Sambut tawa dari semua afkarian setelah nyletuk tanya Mas Atjeng tadi, menceritakan nostalgia di Afkar sampai ‘berganti status’; sekaligus pengalaman beliau di Tanah air sampai ke Kairo lagi. Menurut pangalaman beliau, berikut analisa cerdas: “Afkar sebetulnya mempunyai Potensi yang besar untuk meraih sesuatu yang lebih dari sekedar selama ini”. Lanjut Mas Atjeng, ini terbukti, sekarang Afkar sudah mempunyai Web site yang cantik, majalah yang sarat dengan kualitas, baik segi luar(cover,lay out, dan tanggapan bersahabat dari Masisir) pun juga dari segi subtansi isi di dalam Afkar Itu sendiri. Disamping itu, kita(Afkar) juga mempunyai tenaga ahli yang bukan lagi banyak, tapi sudah menjamur. Nah, namun, terkadang kita kurang memaksimalkan itu semua. Kurang koordinasi satu sama lain, kurang saling mengisi. Namun, kesempatan masih terbuka lebar. Mumpung masih Di sini(Kairo). Ini bisa diperbaiki, dengan memaksimalkan semua yang ada di dalam lini-segi Afkar. Baik teknis maupun stimulan-stimulan yang berkait-kelindan. Di lain sisi, para ‘punggawa’ afkarian harus terus-menerus memacu diri guna mencari formula yang lebih pas-tepat untuk kelangsungan perjalanan afkar, yang lebih baik-manfaat, ke depan.

Sedang mas Mawhib, yang kebetulan mendapat kesempatan kedua, menceritakan tentang peran penting maktabah, buku dan, berikut ‘resep’ jitu untuk memaksimalkan itu semua secara sistematis.

Pertama, kata Kak Mawhib, di Kairo selain kita harus menyelesaikan tugas penting-formal di Al Azhar, baiknya kita tidak mengesampingkan sisi-arti yang bersifat “Kultural Positif”, salah satunya Maktabah dan Buku. Untuk maktabah, beliau memberikan gambaran situasi, tempat dan apa saja yang harus dilakukan ketika kita mau ke Maktabah. Semisal, untuk persiapan, paspor, Carneh, dan beberapa persyaratan untuk memasuki Maktabah(perpustakaan). Kemudian, dilanjut, memberi tahu pada afkarianssemua, tempat-tempat maktabah(toko buku) di Kairo, berikut beberapa buku-buku yang bisa didapat; di tempat tersebut.begitu juga di Ma’rodl sendiri. Semisal, di Hal 4B dan7, di samping Azbakiya, merupakan tempat wajib dikunjungi. Begitu pula di luar Ma’rold: madbulli di rob’ah dan Tahrir, sebagi misal. Meski buku-buku bagus, tapi juga harus hati-hati karena akan merusak “kantong”, alias cepet Bokek.

Sedang untuk sedikit-seklumit pasal buku, Kak Mawhib memberikan penjelasan berdasar jenjang tahun secara sistematis. Dari yang bersifat umum, sampai khusus. Untuk awal kedatangan, anak baru, baiknya kita membeli-membaca buku yang bersifat umum. Semisal, madkhol fî ‘ilmi falsafah, dan kitab-kitab tarikh: Fajrul Islam, Yaumul Islam punya Dr. Ahmad Amin sebagai misal. Kemudian, setelah ini tuntas, dilanjut merambah ke buku-buku kontemporer. Hal ini dimaksudkan untuk melatih sensitif dan kritis kita pada perkembangan paling mutakhir. Semisal, kitab Tarikhnya Arkoun, buku-buku Jabiri dan Husein Murûwah. Lalu, kita baru mengkritik mereka. Ini ditempuh setelah buku-buku kontemporer itu dilahap dengan matang; dan konseptual mendalam. Sedang untuk tahap terakhir, bagaimana pun, kita harus kembali ke Tûrats. Ini dimaksudkan, setelah kita mempunyai paradigma kritis-progresif, maka ketika kembali ke tûrats kita tidak “bernostalgia” dengan itu, tapi mencipta cara-pola baca baru. Dan progresif. Maka manfaat kepada umat akan lebih dari sekedar menelaah dan membaca secara literal-radikal, tapi lebih berasa dan nyata. Di samping itu kita tidak “matang” secara kar-bi-tan alias belum waktunya dan, barangkali, selesai dengan Khusnul khotimah, bukan sebaliknya.

Kesempatan berikutnya, sekaligus pamungkas, diserahkan pada Mas Munir. Seperti Mas Atjeng, beliau juga memberikan sedikit sejarah beliau di Mesir, khususnya di NU, sampai ke Negeri Kincir angin, Leiden-Belanda. Di mesir, beliau sempat “menggawangi” membawa Afkar selama dua tahun: di masa mas Danial dan mas Atjeng. Juga, menjadi pimred Nuansa di tahun 2005-06.di samping itu, diberi kepercayaan menjadi Sekjen(sekretaris Jenderal) PCINU Mesir 2004-2006; Di masa Gus Faiz.

Sedang untuk perjalanan sampai ke Leiden, ungkap beliau, ini tidak lepas dari “berkah” saya di Afkar dan NU sendiri. Di Afkar, karena salah satu persyaratan ke sana harus mempunyai Rekomendasi dari negeri study satu dan dua dari dalam negeri. Di Mesir saya, dengan bantuan mas Mawhib beserta rekan-rekan Afkarian, meminta ke Romo Hasan Hanafi. Untuk di tanah air, kebetulan, di sana ada Mas Khayyin( wakil ketua tanfidziyah di masa Pak Bukhori): Dengan bantuan mas Khayyin, saya bisa meminta rekomendasi dari pak Maskhuri(bagian pendidikan dan sosial budaya PBNU). Dan kurang satu, saya meminta ke pak Masdar Farid Mas’udi. Mengingat, tahun 2003 ada acara LP3M di Kairo. Dengan mengantongi tiga rekomendasi, dan menyempurnakan toefl sampai 550, alhamdulillah saya bisa berangkat ke Leiden, cerita Mas Munir dengan santun.

Belanda dengan Mesir tentu bagaikan Air dan Minyak. Tidak bisa ketemu. Namun bisa dikomunikasikan, tinggal kita yang menyesuaikan. Di kairo, menurut analisa Gramsci, otoritas tertinggi masih di pegang oleh Ulama alias agama masih menjadi prioritas. Di sana, entah nomor ke sekian. Untuk sistem, kita di Mesir(Al Azhar), paling-paling hanya dua bulan kuliah, itupun karena Ujian. Di sana, untuk yang study, mulai senin sampai Jum’at wajib kuliah. Itu belum ditambah bejibun tugas paper dan membaca untuk presentasi setiap pertemuan kuliah, maupun dengan dosen. Maka tak ada waktu santai selain hari sabtu dan minggu. Dan bisa dimengerti pula, banyak dari orang belanda(baik pribumi maupun non pribumi) sangat menghargai masalah privasi. Misal, tidak dengan mudahnya kita mempunyai nomor HP setiap rekan kita, kecuali yang sudah dekat. Sedang komunikasi aktifnya harus menggunakan Email. Terakhir, untuk budaya, di Belanda sangat menjunjung tinggi kesetaraan. Bagi orang Belanda Aib jika ada diskriminasi. Ada rasis. Apalagi fasis. Maka kedudukan dan keamanan di sana, bukan berdasar, orang itu dari mana, namun lebih ditekankan pada hak asasi manusia, dengan timbangan hukum yang berlaku. Apalagi demokrasi di sana sudah dewasa.

Setelah usai para senior menyampaikan “wejangan”, kesempatan tanya pun diberikan pada afkarian semua. Disambut antusias: terbukti mulai tanya yang bersifat internal, semisal, seklumit sedikit tentang afkar; gimana biar lebih baik. Dan juga sesuatu yang berkait tentang akulturasi budaya, tukar pengalaman dan lain-lain.

Setelah diskusi-dialog dengan durasi lumayan panjang. Acara ditutup dengan prakata penjelas dari pimred, Khozin dipo, yang berkait tentang afkar ke depan. Sekaligus memperjelas apa-apa yang telah disampaikan oleh saudara Ilan di depan tadi. Salah satu agenda afkar diwaktu dekat ini adalah afkat terbit minimal 3 kali sampai menjelang ujian dan penerbitan awal di tanggal 20 Februari, sekaligus kita akan kumpul untuk pesantren Afkar. Tapi untuk segi teknis akan dibicarakan lagi oleh para “penjaga gawang” afkar di belakang layar.

Potret (Majalah) Afkar

Sebermula— hingga kini—seberhingga

Kemarin, beberapa waktu yang lalu(04/02) telah kumpul bareng, kumpul perdana kita stelah Ujian Term I. Sedikit banyak kita telah temu kangen, sapa sana sekligus ke-sini. Dengan canda sedikit, mungkin, juga bicara serius, setidaknya itu semua membuat kita (para afkarian semua) bisa menghela nafas sejenak; Ditunjang untuk bersedia se-penuh hati untuk mengerenyitkan ‘jidat’, berfikir. Berfikir tentang afkar. Berfikir, apakah masih ada celah yang perlu “disumpal” di afkar? Instropeksi(?)

Setidaknya, kita telah bersama selama ‘empat’ bulan; ber-jalan. Kurang lebihnya, barangkali(?). Kita yang pertama melihat afkar dari “luar”(pakai tanda petik) tentu ada sedikit banyak “catatan” ketika kita(afkarian semua) ber-cengkrama langsung; alias melihat dari dalam(tanpa tanda petik). Langsung transparan tanpa penutup “kain” sehelai pun. Maka tentu, kadang kita lalai untuk memberi catatan di diri kita, sendiri. Di afkar tercinta. Malah “catatan” itu, alias otokritik yang membangun, mungkin, malah kurang dibudayakan. Mungkin, masih proses. Saya masih sangat maklum, mengingat kita baru di tengah jalan. Baru saja memulai. Ibarat “bunga mawar” belum merah merekah. Ibarat “cinta” itu masih menggantung. Atau, bahasa lainnya, belum “berganti status”; realis-nya. Tak ayal, masih bejibun waktu bisa kita maksimalkan.

Afkar: nota bene-nya, sebagai media pemikiran Islam ber-slogan ‘Canal Ide Segar’ memang selayak-patutnya tetap mempertahankan prinsip-prinsip yang bersifat primer. Semisal, untuk afkariannya, selalu berusaha keras, diimbangi tips-tips canggih-jitu, guna bisa mencapai apa yang bisa kita bilang sebagai kelayakan. Kita bilang sebagai ide awal kita gabung: bisa membaca, menganalisa dan menulis; begitu juga saya.

Membaca, merupakan pondasi dasar afkar untuk terus bisa tetap konsis-eksis dengan slogan “canal ide segar”. Syarat awal kita, dengan standard yang paling minimal, kita harus bisa bercinta dengan buku. Ini yang telah disinggung secara lugas-jelas oleh kak Muhib(Fas-alu Ahl Dzikri) ketika kumpul di Ma’rold(di taman depan Hall 6); disokong penjelasan yang, menurut saya, sangat baik untuk direalisasikan, dinyatakan. Baik dari segi pemilihan buku secara sistematis. Toko buku beserta letaknya. Dan, sedikit-seklumit yang ber-kait dengan perpustakaan di Kairo; dilengkapi “daleman”-nya.

Menganalisa dan Menulis, menurut saya, adalah re-aksi lebih lanjut dari ber-cinta kita dengan buku. Kita membaca tanpa menganalisa akan terjadi pembacaan yang eksklusif-ortodoks; alias cenderung monoton. Membaca dan menganalisa tidak diiringi dengan latihan menulis, maka ada separuh dari, sekali lagi menurut saya, Ilmu yang kita serap akan cepat hilang. Minimal lupa. Begitu juga kita akan me-rugi. Karena kehilangan keterampilan yang seharusnya kita bisa maksimalkan: menulis. Menulis, dengan berlatih menggunakan media Blog, worpress, dan, minimal buku harian(seperti: Ahmad Wahib), juga bisa menyegarkan Jiwa. Menulis bisa memberi harapan: kang Faizin(direktur SMA Tahun kemarin) Punya Filmnya. Filosofi menulis.

Maka ketiga kunci yang, katakanlah, penting; meski menurut saya, sudah seyogya-nya kita maksimalkan. Sudah selayak-mestinya tidak kita sia-sia kan. Mumpung kita masih di Mesir, Aji Mumpung. Pasalnya, kalau kita, jika tidak melakukan apa yang telah saya tuliskan: membaca, menganalisa dan menulis, maka termasuk orang yang me-ru-gi. Sekali lagi merugi. Barangkali(?). Ini, itu, bukan hanya dilakukan seketika, dan hanya ketika kita kumpul di tanggal 05 untuk SMA dan 20 (pesantren afkar dan rapat redaksi), namun lebih dari itu. Harus setiap kita ber-na-fas. Setiap kita, seketika, bola mata belum ter-tu-tup. Semangat seperti ini harus selalu ditanamkan, dengan bergegas saling mengingatkan jika ada yang te-le-dor.

Dalam segi teknis-birokratis, kita layak senang. Pinum dan pimred beserta rekan-rekan “punggawa” kita masih solid. Masih tetap selalu ceria dan energik. Kegiatan-kegiatan kita sudah selayak-lazimnya berjalan. Meski ada beberapa “catatan”, pasal ‘waktu’ sebagai misal. Tapi kita tetap solid. Baiknya, laiknya kita sebagai Team, barangkali, dari Afkarian semua selalu meng-kontrol kinerja masing-masing rekan. Masing-masing dari staf redaksi dengan job yang telah di tetap-tentukan, juga, tidak menutup kemungkinan ada proses saling mengingatkan dari sesama rekan afkarian; jika ada yang kurang ‘sreg’. Dan ini harus. Tepo seliro, tenggang rasa dan, dialog positif tetap diperjuang-tahankan. Jangan, saya harap, ada yang cepet “mutungan”. Baru sedikit ada catatan sudah mutung. Saya harap tidak ada di mental rekan afkarian semua. Semoga(?)

Sekiranya, saya akhiri tulisan saya. Sebermula-seberhingga yang tentu perlu banyak “catatan”. Pasalnya, banyak hal yang belum saya tulis secara lugas-jelas. Web site, formula ciamik tentang pesantren Afkar, dan penerbitan afkar yang kadang juga “ngadat”. Hal ini, tentu dibutuhkan ide, pemikiran dan langkah nyata dari kita, rekan Afkarian semua. Sekali lagi, Ide-pemikiran dan langkah Nyata. Nah, barangkali, guna saling tukar pikiran, atau sharing ide, bisa memaksimalkan Milis. Ketika bertemu; meski pun di jalan. Dan, saya sengaja, tidak terjebak dengan struktur-birokratis di Afkar dalam tulisan. Misal tidak bersibuki dengan, di mana Posisi Redaktur Ahli, Editor, dan beberapa yag lain; hal ini, bukan karena kurang “ber-sembah sujud-nya” alias kurang hormat saya pada mereka. Tapi, menurut saya, di dalam milis, kita harus memposisikan berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah; meski di dunia nyata berbeda. Tidak sesuai dengan konsepsinya. Diharapkan dengan ini, dialog bisa lebih cair. Bisa lebih rileks dan semua bisa menyumbangkan idenya tanpa ada “bayang-banyang”. Bagaimana rekan-rekan Afkarian? Ada catatan(?)